Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Langit yang Biru adalah Langit yang Bisu

28 Maret 2018   15:13 Diperbarui: 28 Maret 2018   16:34 7824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay)

Pesawat yang aku tumpangi berpapasan dengan segulungan awan sedang menari. Tarian ritual bagaimana cara menjatuhkan hujan. Tubuh-tubuh itu terlalu berat. Menyangga air dalam rahim yang menghitam.

Aku yakini. Elang tak akan sampai setinggi ini. Tapi aku merasa seperti elang. Menggaris langit dengan kisah perjalanan yang epik. Juga sedikit jalang.

Menjelajahi ruang-ruang waktu yang menyediakan tubuhnya untuk dipuja dan disumpahi. Langit biru adalah langit yang bisu. Bergelora hanya bila disentuh huru hara petir dan badai matahari.

Langit yang biru seperti air yang dalam. Menyediakan sekian banyak ketenangan. Menyimpannya dalam kesepakatan yang diam. 

Pesawat sedikit berguncang. Angin datang tergesa-gesa. Mungkin ada yang dikejarnya. Benar saja. Angin itu menyebarkan hujan supaya lebih merata. Membasahi keringnya bumi dan retaknya hati.

Ketika pesawat menurunkan ketinggian. Separuh rindu tertinggal di sana. Tempat aku bebas melamunkan angan agar bisa melayang. Menemui kisah-kisah bertebaran dari cinta yang hilang.

Separuhnya lagi aku simpan. Jika nanti ada saatnya aku benar-benar menjadi elang.

Sampit, 28 Maret 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun