Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Bening

26 Agustus 2017   19:18 Diperbarui: 26 Agustus 2017   19:19 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah bening diwarisi dari pualam yang terjatuh di antara bebatuan kasar bergeletakan.  Kilaunya memancing ikan ikan seolah ada pesaing air sebagai tempat nyaman untuk berenang.  Air sekarang terlalu keruh.  Banyak dibubuhi oleh keluh dan peluh hasil perasan sampah yang tertumpah dari mana mana berantah.

Bening itu akhirnya juga memancing embun berlompatan menghampiri.  Tak ada yang sebening embun selama ini.  Ini tidak mungkin terjadi. Jikapun benar maka ini sungguh menggores hati.  Sudah sangat lama gelarnya tak terbantahkan.  Kali ini ada yang tiba tiba hendak menggulingkan.

Rasa penasaran membawa banyak kawanan melihat bening yang ini sebening apa.  Semua mata mau tak mau terbelalak.  Takjub pada bening ini yang datang mendadak.  Atau jangan jangan ini jelmaan ujung mata bidadari?

Seorang Kyai akhirnya didaulat.  Sebagai hakim pengadil ini sebenarnya bening dari apa.  Kenapa semua mata silau seakan dihalau.  Mengapa semua hati tunduk seolah takluk.  Jawab sang kyai singkat saja;

Itu bening dari tetesan terakhir cahaya bulan, saat Ramadhan....

Jakarta, 26 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun