Sebuah bening diwarisi dari pualam yang terjatuh di antara bebatuan kasar bergeletakan. Â Kilaunya memancing ikan ikan seolah ada pesaing air sebagai tempat nyaman untuk berenang. Â Air sekarang terlalu keruh. Â Banyak dibubuhi oleh keluh dan peluh hasil perasan sampah yang tertumpah dari mana mana berantah.
Bening itu akhirnya juga memancing embun berlompatan menghampiri. Â Tak ada yang sebening embun selama ini. Â Ini tidak mungkin terjadi. Jikapun benar maka ini sungguh menggores hati. Â Sudah sangat lama gelarnya tak terbantahkan. Â Kali ini ada yang tiba tiba hendak menggulingkan.
Rasa penasaran membawa banyak kawanan melihat bening yang ini sebening apa. Â Semua mata mau tak mau terbelalak. Â Takjub pada bening ini yang datang mendadak. Â Atau jangan jangan ini jelmaan ujung mata bidadari?
Seorang Kyai akhirnya didaulat. Â Sebagai hakim pengadil ini sebenarnya bening dari apa. Â Kenapa semua mata silau seakan dihalau. Â Mengapa semua hati tunduk seolah takluk. Â Jawab sang kyai singkat saja;
Itu bening dari tetesan terakhir cahaya bulan, saat Ramadhan....
Jakarta, 26 Agustus 2017