Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Balada Rumah Kaca

18 Agustus 2017   13:34 Diperbarui: 18 Agustus 2017   16:54 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sementara jalanan sedang membusa karena asap knalpot berjumlah tak terhingga menikami udara, pohon pohon di kanan kirinya megap megap hampir kehabisan nafas karena sesak dan panas. Awan yang mengungkung bumi menghalangi sinar matahari. Memberi catatan khusus mengenai efek rumah kaca yang semakin menggila.

Pengap ini benar benar pekat. Keringat sudah tuntas. Hidung dan paru paru pantas jika menggerutu.  Sungguh jemu keadaan sama sekali tidak membantu.

Panas yang terlalu panas ibarat mengintip apa isi api jika sedang meluapkan rasa cemas. Dingin yang terlalu dingin seakan mendekap salju beku selama berminggu minggu dengan tubuh tanpa baju supaya tahu seperti apa sebenar benarnya rasa pilu dan nyilu.

Rumah kaca terbaca sebagai bumi diselubungi oleh kaca tak kasat mata. Seperti tertidur dalam gua tanpa angin berisik masuk dengan leluasa. Rumah kaca di atas kutub, sama dengan mempersilahkan air bah untuk mengutuk. Tak mungkin ada lagi orang bisa bermimpi hingga selesai, jika nanti bumi terlalu cepat usai.

Jakarta, 18 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun