Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Bendera

18 Agustus 2017   00:37 Diperbarui: 18 Agustus 2017   00:39 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selebihnya biasa saja.  Hari ini yang istimewa adalah ketika udara melelehkan dirinya untuk mengibarkan sebuah bendera.  Bendera dengan warna sederhana.  Warna darah dan tulang. 

Bendera itu bergerak sembarangan di angkasa.  Tergantung ke arah mana angin sedang menuju.  Tapi tidak pada pendiriannya. Melindungi tanahnya yang coklat kehitaman karena seringnya dijamah letusan gunung api.  Melindungi airnya yang keruh kecoklatan karena bercampur lumpur namun cukup hangat untuk berkumur.

Waktu angin memutuskan kelelahan dan berteduh sejenak dari sengatan panas, bendera itu seolah tunduk dan kuyup.  Jangan keliru menafsirkan. Tunduk dan kuyupnya adalah bersiaga.  Bertiarap namun tidak gagap.  Termenung tapi siap mengaum.  Diam dan seketika bisa menerkam.  Para penyamun berhati lanun yang selalu mengintai jika lalai.

Sang Bendera memang tidak dikibarkan setiap hari.  Tapi jelas ada di hati.  Tidak diupacarakan setiap tanggal.  Tapi pasti bukan sebuah rasa cinta yang gagal.

Jakarta, 17 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun