Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menghargai Adat dan Budaya Lain

29 Juli 2015   16:34 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:22 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Borobudur kebanggaan kita

Semua negara tentu memiliki budaya yang berbeda, adat istiadat yang berbeda, serta cara pandang yang berbeda tentang banyak hal. Pernah suatu ketika saya jalan bersama teman saya orang Amerika, tapi aslinya ia itu berasal dari Irlandia (Irish). Nah, waktu itu tujuan kami adalah jalan-jalan ke Six Flags, tempat bermain yang mirip Dufan kalau di Indonesia. Apa sebetulnya yang akan kami kerjakan di situ? Melakukan survey untuk bahan sebuah tulisan yang akan naik terbit di sebuah majalah lokal. Setelah semua urusan kami di sana beres, tiba-tiba teman saya mungkin karena gembira tugasnya sudah selesai, ia secara spontan mengobok-obok, mengucek-ucek rambut kepala saya. Saya kaget luar biasa. Ternyata di Amerika hal itu sangat biasa, meluapkan kegembiran sambil pegang-pegang kepala orang. Dalam kebudayaan atau adat kita tentu saja hal seperti itu tidak dibenarkan. Artinya siapa sih yang mau rambut kepalanya diobok-obok? Pikiran saya masih okelah untuk menerima perlakuan seperti itu, tapi hati kecil saya sebetulnya berontak.

Lalu pernah pula pada suatu kesempatan lain, ketika saya lagi menuju ke Queens, New York, tentu saja dengan menggunakan terminal kereta api bawah tanah (subway) karena ongkosnya lebih murah. Nah, waktu itu penumpang yang hendak naik begitu banyak. Saking banyaknya, ada yang sempat terserempet jatuh, ada pula yang sampai kepencet hidungnya oleh karena begitu penuh sesaknya para penumpang yang berebutan naik. Tepat di depan saya ada seorang pemuda tinggi tegap berkulit hitam. Ia lagi jongkok memungut sebatang rokoknya yang jatuh, tiba-tiba entah kenapa seorang pemuda Asia yang lagi duduk tanpa sengaja menyenggol hidung dan mulut orang itu dengan kakinya. Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan.

Dengan amarah yang luar biasa keluarlah makian tak henti-hentinya dari mulut si pemuda yang wajahnya kesenggol itu. Seluruh makian khas orang Amerika tumpah ruah di subway itu. Ia sudah memegang lengan pemuda Asia yang sudah sangat gemetar ketakutan dan minta-minta ampun. Pemuda Asia yang kurus kerempeng itu terlihat luar biasa ketakutan. Keringat langsung membasahi jidat dan wajahnya. Namun itulah adat orang hitam Amerika, kalau marah ya marah! Dan sangat keras marahnya, tidak ada yang disembunyikan. Saat itu juga langsung diutarakan, meskipun harus dengan makian sekalipun. Itu sudah biasa di sana. Lumrah. Kalau di kita mungkin masih bisa lebih sopan dan santun ketika menegur atau memarahi seseorang. Kita masih memiliki budaya sungkanan. Mau bentak-bentak pun rasanya masih sungkan. Apalagi kalau yang datangnya dari Jawa keraton. Atau umpamanya bersua dengan orang Solo, Yogya, dan sebagainya. Tutur kata mereka terjaga dan sangat kalem.

Di New York, anak belasan tahun berkata-kata dengan sangat kasarnya, memaki, mengeluarkan kata-kata jorok bisa terlihat dan biasa terlihat di mana-mana. Apalagi kalau semisal Anda berjalan di daerah Bronx dan Brooklyn. Sudah sangat umum dan sangat biasa mendengarkan anak-anak di bawah umur berteriak-teriak dengan kata kasar dan jorok, saling memaki pada saat bermain-main. Pokoknya yang tidak biasa mendengarnya harus menebalkan telinga kalau jalan ke tempat-tempat seperti itu. Hal-hal seperti itu sangat penting kita ketahui, tentu tidak dengan maksud menirunya.

Bagi kita adat dan kebudayaan itu penting. Citra diri kita kadang terlihat dari apa yang kita tampilkan di umum. Apa yang kita ‘jual’ keluar untuk kemudian menjadi konsumsi publik, adalah menunjukkan siapa sesungguhnya kita. Dan di sisi lain, kita juga tidak bisa dengan serta-merta boleh menyatakan bahwa adat sayalah atau adat kitalah yang paling bagus, paling benar dan paling mulia serta terhormat.

Pernah suatu kali saya begitu ngototnya mempertahankan pendapat dan keinginan saya untuk memasukkan adat dan budaya yang saya rasa sudah sangat tepat ke dalam lingkungan kerja saya di Amerika. Namun apa hasilnya? Berhasilkah saya? Puaskah saya? Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan saya tidak berhasil. Malah banyak sekali benturan yang saling tabrak antara adat yang hendak saya paksakan dengan adat-adat lain di kantor saya yang sangat beragam karyawannya. Dalam lingkungan perusahaan tempat saya bekerja terdapat begitu banyaknya adat serta budaya bawaan dari masing-masing negara asal mereka.

Lantas apa yang kemudian terjadi? Apa yang saya paksakan adalah suatu kemustahilan. Akhirnya saya sadar, bahwa sekecil apa pun yang hendak saya lakukan, apabila itu berhubungan dengan upaya mengubah adat dan kebiasaan budaya setempat, pastilah kegagalan demi kegagalanlah yang akan saya tuai. Pertentangan dan hambatan jugalah yang akan saya peroleh, dan itu pastilah akan tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, pesan teramat penting yang dapat diperoleh adalah bahwa: Kita tidak boleh memaksakan keyakinan kita terhadap suatu budaya atau adat yang kita anut untuk pula menjadi bagian orang lain yang sama sekali tak sepaham dan memiliki latar belakang (origin) yang tentunya berbeda dengan kita.

Contoh kecil lainnya, ada teman saya orang Jamaica wanita bertubuh langsing, namanya Marcia, nah dia ini sangat senang memakan buah alpukat (Avocado) dicampur pake nasi, ikan, dan roti. Bagi saya ini lucu dan aneh. Kebiasaan itu menggelikan buat saya. Membuat perut saya terasa mual mau muntah. Mana ada alpukat dimakan pake roti dan nasi, itu menurut saya tentunya. Tapi menurutnya lain lagi, di negara asalnya alpukat dijadikan layaknya sayur. Malah ia justru berbalik menjadi heran dan ketawa terpingkal-pingkal ketika saya menjelaskan bahwa di negara saya alpukat itu buah, dan sering dibuat juice atau dicampur di es, pakai susu, coklat, atau bahkan kopi. Sering juga dijadikan bahan membuat es buah. Sama sekali tak masuk dalam alam pemikirannya. Ia heran bahkan mengatakan “you’re crazy man!” Itulah kebiasaan dan adat yang tak bisa dipertemukan. Kita memang berbeda, suka atau tidak. That’s the universal rule. Nothing can be done to change it! Berbeda itu sesungguhnya indah. Perbedaan-perbedaan itu akan semakin memperkaya kita. Jadi, kenapa yang berbeda itu mesti diseragamkan?

Pada aras yang lain, kita juga tidak usahlah dan tidak perlulah meniru-niru adat yang tidak familiar dengan kita. Adat, tradisi, kebiasaan, dan kebudayaan orang lain memang harus kita hormati tapi bukan juga supaya kita menirunya, apalagi kalau itu tidak sesuai dengan moral value kita. Apa contohnya? Begini, maukah Anda meniru adat istiadat berikut ini. Silahkan disimak. Pada jaman dulu bahkan masih berlaku sampai saat ini di beberapa tempat di India, bahwa janda harus dibakar bersama suaminya, jika suaminya meninggal duluan, ya tentu saja dengan maksud menjaga kesucian dan untuk menghindari si perempuan tersebut kawin lagi. Apa kita mau menirunya? Tentu tidak bukan? Ada adat dan istiadat yang sepatutnya dan memang sepantasnya kita pelajari, telusuri, dan kagumi tapi hanya sebatas itu, dan bukan untuk menirunya. Apalagi menirunya mentah-mentah dan bulat-bulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun