Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Pilkada DKI dan Isu SARA: Sebuah Simpati untuk Anies Baswedan

18 Mei 2017   18:49 Diperbarui: 14 Oktober 2017   02:16 2895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pilkada DKI Jakarta telah sukses menjadi drama politik dan fenomena nasional dengan isu agama sebagai nafasnya. Ibarat reaksi penguraian persatuan bangsa Indonesia dengan isu agama sebagai katalisnya. Ibarat perang sipil dengan isu agama sebagai garda terdepannya.

Berkaca dari situasi yang terjadi selama hampir setahun terakhir, dinamika politik terasa sangat stabil di awal periode tersebut, sampai pada bulan September ketika video unggahan Buni Yani menggegerkan dunia maya dan menyulut sentimen dan pertentangan antar agama dan ras. Media sosial turut menjadi pemicu semakin tajamnya silat lidah dan debat nirfaedah di dunia maya. Ya, zaman sekarang pertentangan semacam itu bisa berlangsung kapan saja. Dua orang yang saling tidak mengenal dan tidak pernah bertemu, bisa geger di dunia maya karena isu yang sebetulnya terlalu sia-sia untuk diperdebatkan, seperti isu agama mana yang paling benar atau ras mana yang paling dominan. Tetapi karena isu-isu sesimpel itu bisa menjadi isu-isu yang sesensitif itu, bangsa bisa terpecah-belah; keragaman menjadi penghancur, bukan kekuatan.

Balada politik ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai tokoh politik. Yang sampai sekarang terus disoroti tentunya adalah sang “penista agama”, sang incumbent Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pasca divonis dua tahun penjara, mereka yang menamakan diri sebagai silent majority giliran menggelar aksi besar-besaran di berbagai kota untuk membela Ahok mati-matian supaya bebas, setelah sebelumnya mayoritas yang duluan “berani buka mulut” menggelar aksi bela agama sampai berjilid-jilid, dan bisa dibilang mission accomplished.

Akan tetapi yang ingin disoroti penulis dalam artikel ini justru “sang pemenang”, yakni Anies Baswedan (dan sebetulnya juga Sandiaga Uno). Si rival petahana ini justru menjadi orang yang perlu dikasihani.

Mengapa justru Anies? Mengapa bukan Ahok? Bukannya Ahok yang dipenjara? Bukannya Anies sudah bahagia bisa “memecat Ahok” dari jabatannya?

Bukan berarti saya pendukung Anies atau pembenci Ahok. Di mata saya baik Ahok maupun Anies punya program-program kerja yang progresif dan mampu memajukan Jakarta. Keduanya sama-sama memiliki sifat negatif yang membuatnya kurang ideal untuk menjadi pemimpin Jakarta.

Tetapi kemenangan Anies di tengah situasi politik yang sedemikian panas justru akan menambah beban sang pemenang, terutama setelah nantinya secara resmi menjabat sebagai orang nomor 1 DKI Jakarta yang baru.

Karir Anies baik di dunia pendidikan tidak bisa dianggap sebelah mata. Predikat lulusan Amerika Serikat, rektor termuda, sampai menteri pendidikan pernah disandangnya. Aksi Indonesia Mengajar yang dicanangkannya membuat kiprahnya di dunia pendidikan semakin dihargai.

Namun ketika dirinya memutuskan untuk menantang Ahok di kancah Pilkada DKI, bagi sebagian orang nama baiknya anjlok.

Anies dianggap menang di Pilkada DKI Jakarta dengan kekuatan radikalisme Islam. “Ketika Anies-Sandi Menang dengan Kekuatan Islamis”, demikian headline berita BBC pasca kemenangan Anies 19 April 2017 silam. Entah Anies menginginkannya atau tidak, kekuatan kaum pembenci Ahok akibat kepeleset lidahnya di Pulau Pramuka berhasil membonceng kampanye Anies-Sandi yang menghabiskan milyaran rupiah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun