Mohon tunggu...
Misbahuddin
Misbahuddin Mohon Tunggu... -

Saya Mahasiswa dari kota pamekasan yang kuliah di Universitas Islam Malang mengambil Jurusan Pendidikan Matematika. Di samping kuliah UNISMA saya juga kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam di UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurangnya Kesadaran Multibudaya dalam Konseling di Sekolah

13 Februari 2017   05:56 Diperbarui: 13 Februari 2017   08:07 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurangnya Kesadaran Multibudayadalam Konselingdi Sekolah

Saya tertarik untuk mengulas lebih kepada konselingnya dari pada bimbingannya. Karena dalam benak penulis, menjadi konselor lebih sulit dari pada menjadi pembimbing. Konselor yang baik akan menggambarkan pembimbing yang baik pula.

Tulisan singkat ini untuk mengajukan pendapat pribadi terkait problema guru BK saat penulis terjun di salah satu sekolah menegah pertama (SMP) di kota Malang. Dan penulis tertarik pada pernyataan yand disampaikan oleh Moh. Surya (1975/23), mengatakan bahwa perbedaan bimbingan dan konseling yaitu:

Bimbinganadalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diridengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Sedangkan konseling merupakan suatu hubungan rofessional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya, sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.”

Sangat jelas perbedaan definisi di atas. Pembaca tentu akan berpikir lain dari pada penulis. Saya menganggap bahwa konselor itu lebih rumit karena capaiannya ruag lingkup hidup klien (dalam dunia sekolah disebut siswa). Tidak seperti capaian bimbingan yang sudah jelas dengan empat tujuan pemahaman yang ingin dicapai. Jadi target empat pemahaman tersebut menjadi indikator jelas tanpa ambiguitas dalam menjalani proses bimbingan tidak seperti halnya konseling.

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik. Jadi tanpa ada perbedaan mendasar bahwa konselor itu juga menjadi bagian dari seorang pendidik. Dan ketika sudah menjadi pendidik maka perannya juga kearah bimbingan. Sehingga seorang konselor dapat mencakup berbagai jabatan sekaligus.

Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008). Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut memberikan penjelasan secara singkat bahwa bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang integral dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan.

Permasalahan indvidu siswa dipengaruhi oleh perbedaan budaya dari setiap daerah yang berbeda dalam menyelenggaran tradisi di sekolah. Hal ini bisa terlihat dari perilaku individu siswa. Budaya yang dikembangkan siswa biasanya berasal dari berbagai faktor misalnya dari pergaulan  individu dalam lingkup keluarga, tetangga, sekolah dan masyarakat.

Dalam menghadapi dimanika siswa yang beranika ragam itu tentu sekolah membutuhkan yang namanya konselor. Antara konselor dan konseli tentu memeliki budaya yang berbeda. Jika konselor tidak memahami akan perbedaan budaya tentu akan timbul masalah baru dalam penanganan konseli.

Dengan demikian seorang konselor harus mampu mengenal dan memahami dari perbedaan budaya yang dimiliki setiap konseli dalam hal ini siswa. Sebagai seorang konselor profesional, harus mampu mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling dengan memasukkan isu-isu lintas budaya (Wolfgang, 2011).

Terlebih lagi Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam (Goodwin & Giles, 2003). Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun