Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Hidup

5 Agustus 2017   21:43 Diperbarui: 5 Agustus 2017   21:47 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak tahu dari mana kisah ini berasal. Siapa aku dan dari rahim mana aku terlahir? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Mataku kini terbuka melihat dunia yang teramat indah dan kacau, hanya itu yang aku lihat di mana-mana. Tangisan itu melengking di antara sudut-sudut kamar ini. Bayi merah dengan tali pusar yang belum dipotong itu menjerit kaku menatapku, aku tersenyum ramah padanya. Dia bayi hebat yang pernah aku temui, ia berani langsung membuka mata dan segera mengetahui perbedaan dunia ini dan dunia perut ibunya.

Sejenak kemudian ruangan itu sesak dipenuhi orang yang saling melempar tawa menyambut datangnya seorang insan mungil nan jernih itu. Beberapa orang dengan wajah khas bangun tidur, memasuki ruangan itu dan lekas melemparkan senyum pada bayi yang begitu indah. Bayi itu kini telah bersih dari darah yang tadi sempat mengeras pada kulit tipisnya. Sepasang mata tulus menangis haru memeluk bayi itu, melihat apa yang telah ia jaga selama sembilan bulan kini benar-benar ada dalam pelukannya. Seorang pria yang rupawan mendekatkan dirinya pada telinga sang bayi dan langsung mengumandangkan azan. Mata bayi itu membulat sempurna.

Sekarang gelap masih mengekang matahari supaya tak keluar terlebih dahulu. Aroma khas embun fajar masih tajam tercium olehku. Dingin masih melekat sempurna pada setiap inci ruangan ini, hingga menyentuh tubuhku yang langsung bersandar pada dinding. Bagaimanapun juga, aku tetap merasa hangat melihat senyum bayi itu yang bersinar mengalahkan mentari.

Deboya Fajar Arini. Orang-orang di ruangan itu berdecak kagum mendengar rencana nama yang akan diberikan pada bayi merah itu, kedua orang tuanya tersenyum puas. Mata bayi itu pun membulat bersemangat, terlihat puas mendengar namanya sendiri. Aku kemudian melambaikan tangan untuk kembali menyapanya, kali ini dia tersenyum dan membalas lambaianku dengan gerak yang kacau. Aku menahan tawa melihat semua bagian tubuhnya melambai padaku.

Waktu berjalan dengan manis menjunjung bayi merah itu lebih berkembang. Fajar, begitu orang-orang memanggilnya. Dia adalah anak yang sangat manis dan periang. Setiap juluran dari bagian tubuhnya tersirat ketabahan, keanggunan, dan kemuliaan. Ia mulai belajar duduk dan memulai ritual kuno itu. Di hadapannya sudah penuh dengan berbagai benda yang dipercaya semua orang sebagai simbol masa depannya.

"Ayo, Nak. Mau jadi apa kalau sudah besar?" Rayu beberapa orang tidak sabar menunggu Fajar supaya menyambar salah satu barang yang ada di hadapannya.

Fajar merayap di antara lantai keramik nan dingin ini sambil merangkak. Dengan tawa, ia memandangku dan mengambil sebuah kaca. Aku berdegup kaget melihatnya, semua orang justru bertepuk tangan melihat ritual itu telah selesai. Fajar lagi-lagi melambai padaku dengan senyum itu.

Waktu terus saja berubah tanpa bisa dikontrol maupun diminta. Kini Fajar sudah beranjak menjadi lebih cerdas, ia sudah menginjak usia 10 tahun. Matanya bertambah indah dan mengagumkan. Setiap hari ia selalu datang padaku dan bercerita banyak hal tentang bagaimana dunianya ini berubah. Aku sangat antusias mendengar semua ceritanya. Tentang bagaimana perjalanannya menuju sekolah yang sangat macet. Tentang bagaimana ada seseorang yang mengiriminya surat secara diam-diam. Wajahnya selalu bersemu merah saat menceritakan semua hal padaku.

Ia tak pernah lupa memperlihatkan tumpukan surat yang selama ini ia dapat dari penggemar rahasianya. Sampai suatu hari, ia berlari dan bergegas memelukku. Ia sekarang sudah menginjak SMP dan dia bertambah indah.

"Hari ini aku sudah resmi menjadi remaja, Mona!! Aku sudah memiliki kekasih, hari ini aku tahu siapa yang sejak SD mengirimiku surat." Ia tambah erat memelukku.

Kalian pasti bingung mendengar kata 'Mona'. Iya, Fajar memanggilku Mona. Ia sangat suka berduaan denganku di kamarnya dan dengan senang hati dia akan memainkan biolanya untukku. Dia tanpa berat hati selalu menceritakan apa yang dia tahu tentang dunia ini karena dia tahu aku tak tahu apa-apa. Aku yang bahkan tidak sanggup berpindah sendiri dari tempatku berdiri, apalagi kekuatan untuk keluar dari ruangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun