Mohon tunggu...
Mery Indriana
Mery Indriana Mohon Tunggu... Administrasi - swasta

penyuka senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bijak di Tengah Keberagaman

23 September 2017   07:01 Diperbarui: 23 September 2017   07:14 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman Indonesia - seword.com

Bijak diartikan sebagai mahir, pandai dan selalu menggunakan akal budinya. Lalu sudahkah kita bijak dalam kehidupan sehari-hari? Kalau diartikan mahir, bisa jadi kita adalah seorang yang mahir dalam bidang tertentu. Begitu juga dengan pandai dalam bidang tertentu. Namun apakah kita selalu menggunakan akal budi kita, baik itu dalam setiap ucapan ataupun tindakan? Pertanyaan ini relevan dimunculkan, mengingat banyak sekali perilaku masyarakat kita yang tidak sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki akal budi.

Karena terprovokasi isu komunisme di media sosial, sekelompok orang dengan beringas menyerang kantor YLBHI. Padahal mereka tidak jelas menyerang siapa dan kenapa mereka menyerang kantor tersebut. Aksi persekusi semacam ini, mulai marak di negeri yang katanya mengedepankan toleransi. Aksi main hakim sendiri selalu terjadi, dengan alasan menegakkan kebenaran. Lalu, kebenaran yang macam bagaimana? Kalau kebenaran itu sifatnya subyektif, tentu hal ini tidak dibenarkan.

Pada titik ini, bisa jadi mereka atau mungkin kita semua, tidak menggunakan akal budinya. Jika kita bisa menggunakan akal budinya, kita bisa tanya secara baik-baik dan tidak perlu langsung marah. Jika kita bijak, tentu kita akan bisa mengendalikan amarah dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih lembut. Itulah manusia. Dengan akal dan pikirannya, semestinya bisa memilah-milah dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Tidak perlu membuat kegaduhan di negeri yang tentram dan penuh ketentraman. Apapun latar belakangnya, apapun masa lalunya, semestinya kita bisa saling memaafkan, saling berdampingan dan bergandengan tangan. Semestinya kita bisa saling menata kehidupan yang lebih baik, tanpa harus mengumbar kebencian kepada kelompok tertentu. Stop kebencian, stop kekerasan. Yuk, saling menebarkan kedamaian. Karena Indonesia beragam, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak merasa benar sendiri, generasi yang toleran, dan generasi yang bisa menjaga perdamaian.

Meski Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi Indonesia bukan milik orang Islam. Meski pusat kekuasaan di Jawa, Indonesia juga bukan milik Jawa. Indonesia adalah milik seluruh warga negara. Tidak peduli agamanya, tidak peduli apa masa lalunya, sepanjang tidak menebar kekerasan dan teror, semuanya bisa hidup berdampingan di Indonesia. Jika dulu semua orang punya andil dalam merebut kemerdekaan, semestinya sekarang ini semua orang juga punya andil dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.

Mari menjadi warga negara yang bijak, yang bisa menggunakan akal budinya. Ingat, berbagai ancaman masih terus mengancam negeri ini. Ancaman radikalisme dan terorisme masih terus menghantui. Jika kita terus berkonflik di dalam negeri, negeri ini akan jalan ditempat. Negeri ini tidak akan maju. Sebaliknya, kita akan selalu diteror oleh kebodohan kita sendiri. Mari hargai keberagaman, karena negeri kita memang beragam. Seperti kata Gus Dur, keberagaman itu ibarat rumah besar yang didalamnya banyak kamar dan ruang. Pada saat setiap orang menempati kamarnya, mereka juga boleh melakukan apa saja tanpa mengganggu kamar lain. Namun, jika berada di ruang tamu, maka harus saling menghormati dan tidak membuat gaduh. Begitu juga dengan Indonesia. Semoga bisa jadi renungan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun