Mohon tunggu...
Indah Shofiatin
Indah Shofiatin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas, Alumnus FKM Unair

Hidup hari ini, menang di hari nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tujuh Puluh Dua Tahun

19 Agustus 2017   20:43 Diperbarui: 19 Agustus 2017   20:46 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

17 Agustus. Tanggal yang sangat khas dan memorial bagi siapa saja yang menghuni negeri ini, Indonesia. 72 tahun lalu tanggal itu menjadi saksi dimulainya sesuatu bernama kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan. 72 tahun kemudian dan hari ini makna dari kemerdekaan itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi setiap warga negaranya.

Merdeka. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna 'berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu' untuk istilah ini. Sebuah negara dinyatakan merdeka bila memenuhi semua deskripsi dari 'merdeka' seperti yang tertulis di atas. Tentu tidak mudah menjadi sebuah negara yang mengayomi masyarakat dengan begitu baiknya hingga mampu berdiri sendiri, terlepas dari tuntutan atau paksaan pihak lain, bahkan tidak menggantungkan nasib politik, ekonomi, keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, dan semua aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat kepada pihak manapun yang mampu mengganggu kemandiriannya sebagai sebuah negara merdeka.

72 tahun dan sejenak membuka mata serta telinga. Kita menyaksikan negeri ini memiliki banyak tugas besar yang harus diselesaikan sebelum ideal kemerdekaan itu dapat dirasa dengan sesungguhnya.

Hari ini, APBN negeri ini terus dalam kondisi defisit tiap tahunnya. Negatif. Untuk menutupi defisit itu, pemerintah mengambil kebijakan menambah utang. Tidak tanggung-tanggung, per 30 April 2017 utang ini sudah menyentuh angka 3.667 triliun rupiah. Sebagai sebuah negara yang ingin merdeka sesungguhnya, sepatutnya kita dan pemerintah kita bercermin pada kondisi ini. Apakah baik bila neraca anggaran negara terus-menerus negatif? Sehatkah hal yang demikian itu bagi kemajuan ekonomi dan kedigdayaan negara? Lalu apakah mengatasinya dengan terus-terusan menambah utang hingga membengkak sebesar itu, adalah pilihan terbaik? Tentu sebagai negara merdeka yang percaya diri dan memikirkan nasib negerinya lebih dari dirinya, semestinya para pejabat negara merdeka ini tidak sibuk membandingkan utang kita dengan negara lain yang bangkrut atau hampir bangkrut. Atau mereka semestinya tidak sibuk memaklumi jumlah utang sambil mematok kepala setiap warga negaranya senilai 13 juta sebagai partisipasi dalam menanggung utang negara, bahkan bayi sekalipun.

Itu adalah jumlah yang besar, sekalipun utang ini ditanggung atas nama pembangunan negeri ini. Entah pembangunan sebelah mana, karena kontrak pembangunan infrastruktur telah diserahkan kepada swasta asing, hingga tol dan jembatan menjadi milik asing meskipun warga Indonesialah yang memakainya membayar. Bayaran yang mengalir ke kantong mereka, pihak swasta. Entah untuk pengembangan BUMN, yang telah ramai-ramai diswastanisasi, atau dibuat go public hingga kepemilikan sahamnya bukan hak utama negara lagi, tapi semua orang yang mampu membeli saham. Atau pembangunan entah apa yang mungkin saja luput tidak diberitakan besar-besaran oleh pemerintah. Yang memilukan, justru yang begitu ramai di hadapan masyarakat adalah kasus korupsi besar-besaran yang belum pernah berhenti dilakukan oleh para pejabat yang terhormat. Tidak hanya satu atau tiga kasus, sudah berapa ratus kasus yang telah disebut di media. Belum lagi yang belum tersebut atau belum ketahuan. Jadi, sebenarnya untuk siapa utang 3.667 triliun rupiah itu? Mengalir ke kantong para pejabat itu lewat korupsi atau memang untuk pembangunan negeri?

Belum lagi nasib pelunasan utang itu. Sampai kapan utang ribuan triliun disertai dengan bunganya itu selesai dicicil oleh negeri ini? Sampai generasi tahun berapa negeri ini dapat terlepas dari jeratan utang? Jangankan bebas, setiap tahunnya pemerintah melansir jumlah utang baru yang menambah beban hati rakyat negeri merdeka ini. Terus meroket naik. Bila utang terus melilit negeri ini, bisakah kita disebut negara yang lepas dari tuntutan dan tidak terikat sehingga layak menyebut dirinya merdeka? Bagaimana bisa merdeka bila untuk menstabilkan neraca anggaran saja kita terikat dengan utang kepada pihak lain setiap tahunnya. 

Di sisi lain, sumber pendapatan besar negara berupa pengelolaan migas dan mineral telah lama digadaikan kepada pihak swasta asing. Entah dengan alasan logis apa sehingga pemerintah negara merdeka kita begitu baik menyerahkan lebih dari 70 persen migas kepada pihak lain, padahal neraca anggarannya sendiri memerlukan setiap sumber keuangan segar yang dapat menyehatkannya. Sebaliknya, pemerintah serius meminta 13 juta per kepala warga negara dalam menanggung bersama utang dengan menggenjot sektor pajak. Warga negara yang telah merdeka ini diharuskan membiayai negaranya yang sekarat ekonomi karena gemuk utang, sementara sumber uang yang melimpah berupa kekayaan SDA (zamannya Soeharto menjadi sumber pendapatan terbesar negara) malah diserahkan kepada pihak swasta asing. Untuk siapa? Demi apa?

Apakah ini yang seharusnya terjadi pada sebuah negara merdeka?

Miris. Menangis. Setiap mengingat nasib negara yang diperjuangkan oleh para pahlawan kemerdekannya dengan darah dan harta mereka. Saya hanya tidak sanggup membayangkan apa yang akan saya sampaikan ketika mereka bertanya, "Bagaimana kondisi Indonesiaku yang telah kuperjuangkan mati-matian hari ini?". Tidak sampai hati saya menjawab pertanyaan mereka saat menyaksikan kejadian negeri ini. Bukan sibuk membuat negeri ini merdeka sepenuh-penuhnya, membuatnya melesat menjadi negara nomor satu dunia, membuatnya negara yang membanggakan para pahlawannya dengan kebaikan dan keuntungan, kita hanya bisa menyajikan neraca anggaran negara yang defisit dan jumlah utang 3.667 triliun yang melilit. Tidakkah kita malu? Bagaimana kita bertanggung jawab kepada mereka?

Hari ini, 72 tahun kemudian. Saya mengheningkan cipta sambil berdoa dan berharap. Berharap akan ada orang-orang baik yang peduli dan berani yang tampil untuk memperbaiki kesalahan punggawa negaranya, akan ada orang-orang yang tulus menanggung amanat kemerdekaan dan mengatur negeri ini dengan segala kebaikan yang menguntungkan, akan ada hari dimana kami secara ajaib melunasi semua utang, bahkan berubah menjadi negara yang surplus anggaran hingga dapat berinvestasi di negara lain, sebar hibah dan piutang kepada negara lain, dan secara menakjubkan merdeka dengan sepenuh dan seidealnya. Hari itu, entah berapa 17 Agustus lagi akan berlalu sampai hari itu, pertanyaan para pahlawan kemerdekaan akan terjawab dengan bangga, "Negeri yang Anda perjuangkan saat ini menjadi negara paling bercahaya di dunia. Terimakasih atas pengorbanan kalian".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun