Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Tanpa Stigma

27 Juni 2017   22:10 Diperbarui: 28 Juni 2017   11:31 1765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di klinik tempatku bekerja, ada seorang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang menderita TB. Pengobatan yang dijalaninya adalah suntik streptomisin 750 mg tiap harinya. Suatu hari, dia datang dengan keluhan sesak nafas. Dia datang dengan kondisi muka yang membiru. Setelah mendapat pertolongan pertama di klinik, dokter menyarankannya untuk dirujuk ke rumah sakit namun pasien menolak.

Usut punya usut, ternyata dia menolak dirujuk karena rumah sakit tempat rujukannya, pernah memberikan pengalaman yang tidak enak pada si pasien.

“Saya ini gak punya siapa-siapa, tapi di rumah sakit itu mengharuskan saya untuk didampingi seorang keluarga,” Katanya. “Pernah perawatnya menyuruh orang yang sedang menunggui pasien kamar sebelah saya untuk juga menunggui saya.”

Aku bukan tidak mempercayai kata-katanya. Hanya saja hal itu memang sulit diterima. Masak iya orang yang mau berobat disitu harus ada yang nungguin? La kalau korban kecelakaan trus dia hilang ingatan gimana?

Dia kemudian bercerita bahwa layanan kesehatan sering menolak membantunya menyuntikan obat. Dia merasa karena dia menderita HIV/AIDS orang-orang jadi menjauhinya. Termasuk petugas kesehatan. Padahal orang ini menderita HIV/AIDS ceritanya kemungkinan karena kelalaian petugas rumah sakit tempat dia dirawat.

Mendengarkannya bercerita, membuatku teringat sebuah komunitas bernama Rumah Cemara. Rumah Cemara memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup ODHA, konsumen narkoba, serta kaum marjinal lainnya. Impian para pendirinya hanya satu. Indonesia yang bebas dari stigma dan diskriminasi dimana semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk maju termasuk ODHA dan mantan pecandu narkotika.

Entahlah, aku merasa, Indonesia tanpa stigma yang selalu digaung-gaungkan oleh Rumah Cemara sepertinya masih jauh panggang dari api. Liatlah apa yang seorang penderita ODHA ceritakan padaku. Bagaimana dia juga ditolak oleh petugas pelayanan kesehatan.

Contoh lainnya adalah, apa yang orang pikirkan tentang pecandu narkotika?

Seorang urakan yang jahat dan tidak tau diatur? Seseorang yang stres berat dan selalu bermasalah? Tau kah kita bahwa orang bisa jadi pecandu narkotika karena proses pengobatan dari penyakit yang dia derita? Tidak banyak kasusnya tapi ada.

Bila kita ingin ikut serta menciptakan Indonesia tanpa stigma, yang perlu dilakukan adalah mulai memahami. Kita harus memahami tentang ODHA, tentang NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif), tentang cara berkomunikasi, dan tentang cara menyimpulkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun