Rumah Simbah Si Mei
“Kring…. Kring…. Kring….”
Alarm ponsel milik Si Mei berbunyi tepat pada pukul 3.45. Si Mei, yang semalam tidur larut karena bercurhatan dengan seorang kawan, merasa matanya masih berat untuk dibuka. Dia berguling ke kanan dan ke kiri, mengejap-ejapkan matanya, dan melakukan gerakan-gerakan lain supaya tidak kembali tertidur setelah mematikan alarm.
Si Mei, yang bekerja di Bandung, sedang menginap di rumah Simbahnya di Kota Bekasi. Pagi ini dia akan kembali ke Bandung untuk bekerja menumpang kereta express Argo Parahyangan dari stasiun Bekasi.
Tak berapa lama, terdengar hujan lebat yang jatuh di atap rumah beserta angin. Mata Si Mei yang sebelumnya berat untuk terbuka langsung terbuka lebar.
“Wah, hujan…” keluhnya. Namun dia kemudian berfikir positif. “Ah, hujan lebat mah biasanya sebentar doank.”
Sekejap kemudian dia membereskan kasurnya. Melipat seprei dan alas kasurnya kemudian meletakkan kedua benda tersebut di almari. Si Mei kemudian turun dari kamarnya di lantai 2 dengan membawa bantal dan selimut yang sebelumnya diambil dari lantai 1 untuk dikembalikan.
Di lantai 1, Si Mei melihat Mbah Uti sudah sibuk memasak dan Mbak Akung duduk di sofanya.
“Hujan, Mei,” sapa Mbah Akung saat aku sampai di bawah.
“Iya, Mbah,” jawab Si Mei sambil meletakkan bantal dan selimut di kamar tidur lantai 1.
Dengan segera Si Mei mandi, solat, dan berganti pakaian. Setelahnya, Si Mei membereskan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung. Disela-sela beberes, Si Mei mendapat pesan singkat dari Si Al, kawannya yang tinggal di kabupaten Bekasi.