Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin
"Saya tidak bermaksud membuat Anda cemas, Pak Walikota," kata sekertaris walikota.
Saat itu, Walikota dan sekertarisnya tengah berbincang tentang Pusat Rehabilitasi dr. Putra yang meminta dana tambahan. Sekertaris walikota yang cantik itu berusaha mempermainkan perasaan Pak Walikota yang terlihat tua dan lelah.
"Anda dengar sendiri kemarin dia bisa meminta jatahnya secara terang-terangan seperti itu," tambah sekertaris walikota mencibir dr. Putra. "Desas desus itu ada. Masalah, kalau dibiarkan saja bisa membesar dan nantinya akan sulit untuk diatasi."
"Intinya, kamu yakin kalau dr. Putra memanfaatkan semua ini untuk kepentingannya sendiri?" tanya Pak Walikota mulai terpengaruh dengan sekertarisnya.
"Itu yang saya dengar," kata sekertarisnya. "Proyek rehabilitasi itu hanyalah kamuflase dari rencana besar dr. Putra. Pusat Rehabilitasi khusus untuk hakim itu adalah semacam kamp konsentrasi untuk menguasai para hakim agar dr. Putra bisa mengatur semua keputusan hukum. Siapa yang menguasai hukum, dia yang akan menentukan kebenaran. Dan siapa yang menentukan kebenaran, adalah orang yang paling berkuasa."
"Bukankah aku yang berkuasa?" tanya Pak Walikota dengan heran. "Aku kan pimpinan tertinggi di kota ini."
"Kekuasaan bukan sekedar masalah kedudukan dan jabatan, Pak," kata sekertaris. "Tapi siapa yang punya kemampuan menentukan keadaan. Makanya kan ada istilah 'presiden boneka'. Presiden boneka boleh memiliki kedudukan dan jabatan. Namun dia tidak punya wewenang menentukan keadaan. Siapa yang menentukan keadaan? Ya, dalangnya. Dalam kondisi kita sekarang, siapa yang bisa menentukan benar atau salahnya seseorang di hadapan undang-undang? Hakim kan? Dan siapa yang menguasai hakim kita sekarang?"
"Kamu tau itu semua darimana?" tanya Pak Walikota.