Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Piramida Terbalik di Jepang

11 Maret 2013   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:57 2177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="337" caption="Anak-anak Jepang"][/caption] Satu kalimat yang terlontar spontan dari seorang teman dari Jepang yang baru pertama kali datang ke Indonesia: "Waah... banyak anak-anak ya di sini." Untuk kita, orang Indonesia, mungkin tidak terlalu mengejutkan ataupun aneh saat di jalan, di bis, di angkot, di mall ataupun di tempat umum melihat anak-anak kecil/ balita. Tapi jika anda pergi ke Jepang, anda akan tahu bedanya. Iya, di Jepang agak jarang melihat anak kecil/ bayi/ balita di tempat umum. Bukannya tidak ada ya, tapi tidak sebanyak yang kita lihat di Indonesia. Itu pula yang dirasakan teman saya ini. Piramida Terbalik Memang di Jepang jumlah penduduk usia lanjut membengkak namun tidak diiringi dengan jumlah angka kelahiran sehingga negara ini mengalami kekurangan tenaga kerja usia produktif yang cukup signifikan. Jika digambarkan adalah seperti piramida terbalik, yaitu jumlah terbesar adalah penduduk usia lanjut, dan mengecil di usia produktif, usia muda, dan yang paling kecil jumlahnya adalah anak-anak/ bayi. Apa efeknya? Banyak sekali dan mungkin tidak terbayangkan oleh kita. Berikut ini adalah beberapa akibat langsung dari membengkaknya usia lanjut yang bisa kita lihat jika berkunjung ke Jepang: 1. Pekerja 60 tahun ke atas Di Jepang banyak kita bisa jumpai pekerjaan yang biasa dilakukan oleh usia muda di Indonesia, dikerjakan oleh mereka yang berusia senja (60 tahun ke atas) di Jepang, seperti tukang bersih-bersih di stasiun, security, tukang bersih-bersih kamar di hotel, sopir bis ataupun pelayan restoran. Kadang kasihan juga melihatnya... karena membayangkan orang tua kita, atau kakek-nenek kita jika masih harus bekerja. [caption id="" align="alignleft" width="272" caption="Lansia di Jepang"]

Lansia di Jepang
Lansia di Jepang
[/caption] 2. Sedikit Orang yang Melayani Selain itu, karena sedikitnya usia produktif maka banyak toko, restoran atau tempat pelayanan lainnya yang dikelola oleh sedikit orang. Contoh: - Jika di Indonesia, minimal di hotel bintang 3, kita akan disambut oleh door boy ataupun pelayan hotel untuk membawakan tas kita ataupun membukakan pintu hotel, maka hal itu tidak terjadi di Jepang. Meskipun koper kita segede gaban, maka help yourself. - Jika di restoran di Indonesia, biasanya terdapat seorang kasir, dan beberapa pelayan restoran, dan beberapa tukang masak, maka di Jepang, restoran cukup ditunggu oleh minimal 2 orang saja. Satu orang bagian memasak dan mencuci piring, dan orang yang lain menjadi pramusaji, kasir dan tukang bersih-bersih.  Kadang nunggu lama dong untuk makanan kita siap? Iya benar dan itu biasa karena mereka merangkap sebagai ...semuanya. Saya pernah ke sebuah restoran Italia di Nagoya dimana hanya satu orang yang ditempatkan di sana, dia sebagai ...smuanya...karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja di sana! 3. Banyaknya Teknologi untuk Menggantikan Tenaga Manusia Untuk mengatasi kebutuhan tenaga manusia, maka banyak diciptakan mesin-mesin yang dapat dioperasikan untuk mengurangi kebutuhan tenaga manusia. Contoh: - Mesin untuk membeli karcis (kereta, bis, shinkansen, dll): dengan mesin ini, tidak perlu menempatkan banyak orang di loket karcis - Mesin untuk memesan dan membayar makanan di restoran: dengan mesin ini, sebuah restoran tidak perlu seorang kasir - Mesin untuk membayar belanjaan di supermarket: dengan mesin ini, seorang pembeli akan scanning belanjaannya sendiri, menghitung belanjanya sendiri, membayarnya dan mengantonginya ke tas plastik - Mesin pembayar tol: mesin ini sudah ada di Indonesia, sementara di Jepang sudah ada terlebih dahulu dan jumlahnya lebih banyak sehingga mereka tidak perlu menempatkan penjaga di pintu tol. 4. Orang Tua Merawat Orang Tua Seorang profesor usia 65 tahun sudah akan pensiun dari pekerjaannya dan bercerita pada saya tentang kegiatannya saat masa pensiun. Beliau bilang: saya akan merawat orang tua saya, mereka sudah sangat tua. Iya, karena usia hidup orang Jepang lama, maka bahkan seseorang yang berusia 65 tahun masih mempunyai orang tua lengkap. Di Jepang sangat banyak angka orang tua yang masih mempunyai orang tua, sehingga mereka meskipun sudah termasuk tua, juga tetap harus merawat orang tua mereka. Kenapa tidak mengirim mereka ke Panti Jompo? Selain karena mereka prefer merawat orang tua mereka sendiri, di Jepang, panti jompo mempunyai daftar tunggu yang panjang dan biayanya sangat mahal. 5. Pindah ke Negara Berkembang Ini adalah tren terkini bagi mereka yang sudah tua dan masih harus merawat orang tua. Biasanya untuk sebagian keluarga mereka memilih pindah ke negara berkembang tertentu. Mengapa? Karena di negara berkembang tertentu, mereka bisa mempunyai pembantu/ asisten rumah tangga dan dengan biaya lebih murah. Namun tentu saja negara berkembangnya yang memang menawarkan program after retirement (special visa) dan menawarkan transportasi dan keamanan yang baik, sperti negara tetangga kita yang mempunyai program ini: Malaysia. Masih banyak lagi efek dari piramida terbalik di Jepang yang tidak bisa saya jelaskan semuanya di sini. Ada Apa dengan Wanita Muda Jepang? Sebenarnya bukan salah wanita Jepang untuk masalah ini karena mereka masih terganjal dengan masalah gender di dunia kerja. Maksudnya? Setelah berbincang dengan beberapa wanita muda Jepang di kalangan universitas, saya mempunyai kesimpulan bahwa tren menurunnya jumlah penduduk Jepang akan terus seperti ini salah satunya dikarenakan banyak wanita muda Jepang tidak prefer untuk menikah dan mempunyai anak. Mereka yang berpendidikan tinggi, cenderung lebih menginginkan bekerja dan mencari banyak uang. Tidak jarang mereka lebih suka pindah ke negara lain untuk menuntut ilmu, apalagi memang orang Jepang mempunyai privilege yang memudahkan mereka migrasi ke negara lain tanpa visa. Di Jepang, banyak pekerjaan yang mendiskriminasi wanita, seperti wanita jarang bisa mendapat posisi tinggi dan gajinya pun berbeda dengan tenaga kerja pria (gender based). Selain itu, saat sudah menikah dan mempunyai anak, rata-rata mereka jika ingin kembali bekerja maka harus start dari nol lagi. Oleh karena itu mereka prefer mengejar pendidikan tinggi sehingga mempunyai kualifikasi yang tinggi untuk bekerja di tempat yang lebih non-gender based seperti di Amerika, Eropa ataupun di lembaga PBB. Namun saat sudah berpenghasilan tinggi, tidak jarang merekapun akhirnya meninggikan pula standar calon suami mereka, sehingga kebanyakan mereka sulit mendapatkannya. --------------------------------------------------------- Sepertinya simple yah, tapi ternyata efek ketidakseimbangan antara penduduk usia muda dan usia senja itu sangat besar dan mempengaruhi segala aspek kehidupan suatu negara dan keberlangsungannya. Kita patut bersyukur dengan mempunyai banyak generasi muda...karena mereka lah tujuan dan harapan negara ini untuk bisa berkembang dan membuat roda perekonomian bangsa terus berputar. -Median-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun