Mohon tunggu...
Hairul Ashter
Hairul Ashter Mohon Tunggu... Jurnalis - Belajar, ajarkan dan amalkan

Jurnalis, Hobi Fotografi dan Pencak Silat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengembalikan Kejayaan Lada, Antara Mimpi atau Realita?

22 Mei 2019   15:44 Diperbarui: 22 Mei 2019   16:25 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani lada Bangka Belitung saat proses penjemuran. Foto : Dok Pribadi

INDONESIA negeri kaya. Salah satunya, kaya akan rempah. Ada sekitar 2.000 jenis rempah di negeri ini. Inilah, yang menjadi faktor pemicu orang Portugis untuk datang. Mereka ingin mencari rempah. Kala itu, harganya setara dengan emas. Sejarah mencatat, ekspedisi Eropa pertama mendarat di Ternate adalah bangsa Portugis pada tahun 1512.

Begitulah, rempah Indonesia sudah dikenal sejak lama. Hingga kini, keberadaan rempah ada dan terus ada. Bahkan, komoditas rempah menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) melebihi minyak dan gas (migas). Hal ini terjadi pada tahun 2016. Komoditas rempah menyumbang 429 triliun terhadap PDB nasional. Sementara migas hanya Rp 365 triliun. Maka tak heran, surganya rempah disematkan untuk Indonesia.

Salah satu rempah yang dikenal lama adalah lada. Lada merupakan salah satu komoditas yang mewarnai perjalanan panjang sejarah Indonesia. Dua wilayah pemasok lada terbesar ada di Indonesia. Yakni, Provinsi Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung dengan kontribusinya terhadap produksi nasional sebesar 58,32 persen. Meski ada perbedaan dari lada yang dihasilkan. Namun, lada dari kedua daerah ini sama-sama mendunia.

Provinsi Lampung, menghasilkan lada hitam yang dikenal dengan sebutan Lampung Black Pepper. Sementara Provinsi Bangka Belitung, menghasilkan lada putih atau dikenal Muntok White Pepper.

Dari kedua jenis lada tersebut, lada putih punya nilai ekonomi lebih tinggi. Nilainya bisa dua kali lipat daripada harga lada hitam. Sayangnya, baik Lampung Black Pepper maupun Muntok White Pepper, kini namanya tak lagi harum. 

Gubernur Babel Erzaldi Rosman tak menapik, keberadaan lada Babel semakin tenggelam. Bahkan, sejumlah negara konsumen lada seperti Eropa dan Rusia tak mengetahui akan lada Babel. Penyebabnya, konsumen telah beralih menggunakan lada dari negara lain seperti Vietnam. Harganya, jauh lebih murah.

Gubernur mengindikasi, lada Babel yang terkenal dengan kepedasan dan aromanya telah dicampur dengan lada dari negara lain, yang selanjutnya diekspor ke Eropa dan Rusia oleh negara yang mencampur itu. Erzaldi menjelaskan, dulu negara Vietnam belajar tentang bertanam lada ke Indonesia khususnya Babel. 

Dan kini Vietnam telah sukses sebagai negara pengekspor lada terbesar. Sementara, jika kita ingin belajar lada ke Vietnam, mereka tertutup. Kita harus menunggu tiga bulan untuk mendapatkan izin untuk belajar ke kebun mereka.

Data International Pepper Community (IPC) menunjukkan, Indonesia disalip Vietnam sebagai eksportir utama lada dunia pada paruh 2006-2010. Sementara Indonesia, menguasai ekspor lada dunia hanya selama separuh dekade pertama yakni 2001-2005.

Menurunnya ekspor lada putih Indonesia ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti menurunnya produksi dari Babel lantaran beralihnya petani lada ke sawit hingga menjadi penambang timah inkonvensional. Tentu, hal seperti ini harus diperbaiki. Apalagi, jika kita sepakat untuk mengembalikan kejayaan lada dan rempah Indonesia.

Revitalisasi Mutlak Diperlukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun