Mohon tunggu...
MHari Subarkah
MHari Subarkah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Contradictory: Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

26 April 2017   13:05 Diperbarui: 27 April 2017   00:00 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cangak Merah di dalam kebun sawit

Wacana deforestasi masih saja kencang terdengar hingga sekarang. Dan saat ini salah satu tersangkanya, siapa lagi kalau bukan perkebunan kelapa sawit. Kalau data resmi luas perkebunan kelapa sawit di kisaran 13 juta ha, misalnya dengan deviasi +/- 10%, berarti sekitar 14 juta ha. Katakanlah 15 juta ha. Berapa persen sebenarnya dibandingkan luas hutan yang secara resmi dikeluarkan pemerintah? Statistik Kehutanan 2014 menyebutkan luas hutan 126,3 juta ha (plus perairan), sekitar 12%. Meskipun banyak pihak meyakini, secara de facto luas hutannya lebih kecil dari angka de jure yang dikeluarkan Pemerintah. Banyak bagian hutan yang telah dirambah untuk pemukiman dan perkebunan, masih juga dikurangi peruntukan lainnya. Bila usaha sebagian kawan tentang hutan adat dan hutan desa membuahkan hasil, tentu saja luas hutanyang ditetapkan Pemerintah berkurang lagi.

Beda luas hutan, beda lagi luas tutupan lahan. Kalau release data luas hutan berdasarkan tata batas, setidaknya pada peta indikatif. Nah kalau tutupan lahan adalah menghitung luas tutupan kanopi pohon. Jadi mau itu hutan, kebun, taman, halaman rumah atau lainnya, ya tetep saja dihitung. Secara fungsi, pendekatan atas keduanya juga berbeda. Pendekatan hutan adalah sekumpulan pohon beserta biodiversitas dan fisiknya, sedangkan tutupan hutan pendekatannya ke fungsi pohon, meskipun sedikit sekali biodiversitas. 

Data Global Forest Watch (http://www.globalforestwatch.org/country/IDN), tahun 2000, tutupan lahan Indonesia seluas 161 juta ha. Kemudian pada rentang tahun 2000-2015, terjadi pengurangan sebesar +/- 20,6 juta ha, dan pada periode tahun 2000-2012 terjadi penambahan tutupan lahan seluas 6,9 juta ha. Dengan laju pembangunan yang membutuhkan lahan baru hingga saat ini, konversi hutan masih saja terjadi. Jadi sebenarnya berapakah luas tutupan lahan Indonesia, secara de facto? Itungan gampangnya, bila perkebunan sawit memanfaatkan 75% dari konsesinya dari  15 juta ha, atau seluas 11,25 juta ha, maka didapat tutupan lahan seluas 149,75 juta hektar. Bener apa enggak, yang ahli pemetaan akan lebih bisa menjelaskan. Bisa jadi itungan saya salah.

Oke lupakan sejenak angka-angka yang bisa membuat dahi kita mengernyit. Kembali ke wacana deforestasi, dalam hal ini konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Banyak pertanyaan muncul terkait dampak lingkungan. Benarkah pertumbuhan kelapa sawit merusak lingkungan, lebih spesifik lagi merusak hutan?

Wikipedia mendefinisikan kerusakan lingkungan adalah deteriorasi (kemunduran) lingkungan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah; kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Kerusakan lingkungan adalah salah satu dari sepuluh ancaman yang secara resmi diperingatkan oleh High Level Threat Panel dari PBB. The World Resources Institute (WRI), UNEP (United Nations Environment Programme), UNDP (United Nations Development Programme), dan Bank Dunia telah melaporkan tentang pentingnya lingkungan dan kaitannya dengan kesehatan manusia, pada tanggal 1 Mei 1998.

Ya, per definisi, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, apalagi dalam skala luas, tentu saja menimbulkan dampak lingkungan. Ada banyak sumber air terdampak, begitu juga kelembaban yang menurun, kesuburan tanah juga dimungkinkan berubah, apalagi ada penggunaan pupuk kimia, dan sangat mungkin banyak fauna liar punah (bisa jadi mati atau bermigrasi ke tempat lain). Dari semua itu, yang paling tampak adalah perubahan ekosistem, dari sebelumnya hutan, menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan di beberapa tempat, dimana tidak ada kriteria kawasan lindung sesuai Kepres No 32 Tahun 1990, maka ekosistemnya sangat mungkin 100% berubah.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bila konversi hutan terjadi, berapa prosentase perubahan hingga kemudian perubahan tersebut dinyatakan sebagai kerusakan. Apakah dengan sempadan sungai 25 meter dikategorikan rusak? Atau cukup 49 meter, meskipun untuk kategori sungai kecil sempadan diatur selebar 50 meter. Bagaimana bila ketentuan perundangan dipenuhi menjadi 50 meter atau lebih. Atau bilamana terjadi pengurangan populasi harimau satu ekor saja, maka telah terjadi kerusakan lingkungan. Dalam skala perkebunan sawit, minimal 2 ha milik masyarakat atau 6.000 ha milik perusahaan sebagai luas minimum membangun pabrik, skala perubahan hingga dinyatakan merusak lingkungan, tentu harus didefinisikan. Penilaian masing-masing parameter perlu ada.

Hingga saat ini, parameter kebijakan pengendalian lingkungan pada perkebunan kelapa sawit didefinisikan pada Peraturan Menteri Pertanian No 19 Tahun 2011, yang selanjutnya direvisi dalam Peraturan Menteri Pertanian No 11 Tahun 2015 tentang Indonesia Sustainable palm Oil (ISPO). Dalam peraturan tersebut, pembatasan atau minimalisasi kerusakan lingkungan diantaranya adalah kepatuhan terhadap Kepres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang tidak memperbolehkan adanya perubahan dan kewajiban perlindungan pada ekosistem rentan. Diantaranya adalah gambut dengan kedalaman ≥ 3 meter, daerah resapan air, sempadan sungai, sempadan danau dan sempadan pantai, dan masih panjang lagi daftarnya. Tidak berhenti disitu, perusahaan juga diwajibkan membuat assessment atas keanekaragaman hayati kawasan sebelum ditanam dan monitoring berkala saat kebun beroperasi. Assessment ini pada dasarnya merujuk pada UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan aturan pelaksana di bawahnya, dimana bila dijumpai flora-fauna, khususnya berstatus dilindungi atau berstatus konservasi tinggi, maka harus ada perlakuan lanjutan untuk memastikan kelestariannya. Perusahaan juga masih harus bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan. Aturan acuannya adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tentu saja beserta aturan pelaksana di bawahnya.

Kewajiban lainnya juga terselesaikannya batas yang jelas wilayah operasi, yang kemudian menelurkan Hak Guna Usaha (HGU) kebun. Tanggung jawab corporate social responsibility (CSR), pengalokasian 20% dari ijin usaha yang diperoleh untuk kemitraan/plasma, zero burning, aturan ketenagakerjaan, pengupahan dan masih banyak lainnya.

Tidak selesai di atas juga, pertanyaan berikutnya adalah, seberapa efektif aturan perundangan dijalankan pada skala tapak?

Banyak hal terkait yang harus dipenuhi sehingga perkebunan kelapa sawit bukanlah sebuah proses produksi atau entitas tunggal. Dengan demikian, menjadi fair melihat industri perkebunan kelapa sawit dari sudut pandang lain, aset pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun