Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pak Sriono, Nunggu Panen Sambil Berjualan Dipan

16 Januari 2017   13:15 Diperbarui: 17 Januari 2017   02:02 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngasoh sejenak, ketika berbincang dengan saya (Dokumentasi Pribadi)

Bisa melihat sekaligus menyelami (mengambil hikmah / pelajaran) berbagai aktivitas petani di desa mulai dari menyiapkan benih beraneka jenis tanaman untuk dibibitkan, memindahkan bibit ke areal tanam, pemeliharaan tanaman hingga panen tentu menjadi momen berharga bagi sebagian orang tak terkecuali saya. Lalu apa yang dilakukan para petani itu saat mereka sedang nganggur (tidak menggarap sawah, red) karena menunggu panen?

Dari sekian banyak petani di daerah yang pernah saya temui, baik yang berusia muda maupun yang sudah tua, mengaku memanfaatkan waktu luangnya itu dengan cara berjualan (berdagang). Ada juga yang bekerja sebagai tenaga lepas (borongan) harian sebuah pabrik. Sebagian lagi menjadi tukang batu atau helper (kuli batu, red)nya.

Belum lama ini saya bertemu Pak Sriono, seorang penjual dipan (tempat tidur dari kayu, red) asal Kota Pati, Jawa Tengah. Sambil membawa lapak beroda (Jawa = gledekan), Pak Sriono menjajakan dipan dagangannya berkeliling Kota Gresik. Wah hebat benar orang ini pikir saya setengah tak percaya. Beliau jauh-jauh datang dari Pati – Jawa Tengah untuk melanglang ke Gresik hanya untuk menawarkan dipan khas buatan daerah Pati.

Biasanya nih barang-barang berat seperti spring bed, dipan dari pipa besi atau daun pintu rumah dijajakan orang dengan menggunakan mobil bak terbuka (pickup). Namun berbeda dengan Pak Sriono, gaya berjualannya sangat sederhana lho. Ia hanya berjalan kaki dari kampung ke kampung sambil menjajakan  dipan dagangannya dengan menggunakan gledekan.

Ya gini mas, daripada nganggur sambil nunggu panenan saya bersama beberapa teman sedesa nyambi jualan dipan” cetusnya saat beristirahat sejenak setelah menjajakan dipan di desa kami. Untuk sebuah dipan dipatok dengan harga 1,5 juta. Pria asli Pati kelahiran 55 tahun silam itu tidak sendirian di Gresik. Bersama beberapa orang lainnya, yang juga berprofesi sebagai petani di desanya bahu membahu menawarkan dipan khas Pati ke seluruh penjuru Gresik. Kini mereka menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan Desa Bunder, Gresik.

Kurang jelas mengapa mereka lebih memilih menjajakan dipan di daerah Gresik padahal di Jawa Tengah sendiri terdapat kota-kota besar yang berpotensi sebagai pasar seperti Yogyakarta atau Semarang yang mungkin masyarakatnya juga tertarik membeli dipan produksi daerahnya. Asal tahu saja, bahan untuk dipan dagangan Pak Sriono bukanlah kayu biasa melainkan kayu jati yang sudah dihaluskan sedemikian rupa, lalu dipoles dengan cairan politur berwarna coklat tua sehingga terlihat menarik, terkesan simpel namun tetap bernilai seni tinggi.

Nggak takut kalah saingan dengan dipan modern pak” tanyaku setengah menginterview layaknya wartawan saja. Pak Sriono sepertinya tak ambil pusing dengan pertanyaan saya bahkan persaingan dagang yang sangat mungkin terjadi di jaman sekarang ini. Ia tampak pasrah dengan apa yang telah dilakoninya selama ini. “Lumayan, ada saja yang beli mas, satu atau dua tiap harinya” ucapnya dengan santun dan penuh rasa syukur.

Bila diamati, dipan yang dijual Pak Sriono itu memang tampak sederhana. Bahkan terkesan ndesani, secara bisnis mungkin akan kalah bersaing dengan dipan dari besi dengan disain yang lebih modern dan pastinya menarik. Namun lagi-lagi bahwa rejeki manusia memang sudah ada yang mengatur. Nyatanya ia tetap saja enjoy menjajakan dipan kayu dan itu diakuinya sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini.

Ketika menunggu masa panen tiba memang tak harus berdiam diri di rumah. Sebagian petani mungkin masih emoh (tidak mau, red) untuk mengisi waktu luangnya. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan nongkrong  di rumah sambil jedal-jedul  mengisap rokok mereka. Berbeda dengan Pak Sriono dan kawan-kawan petani di desanya, ia telah membuktikannya sendiri. Kehidupan ekonomi rumah tangganya menjadi lebih baik semenjak ia nyambi berjualan dipan kayu khas Kota Pati itu.

Ini sebuah contoh sederhana tentang perjuangan orang-orang kecil agar secara ekonomi kehidupan mereka menjadi lebih baik. Di mana saat ini kita semua sedang menghadapi harga-harga barang kebutuhan hidup yang melambung tinggi disamping itu biaya pendidikan anak juga semakin mahal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun