Mohon tunggu...
simaulss
simaulss Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat Lintas Ruang

Bercakap, Berjabat, Beramal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gempita Neo-Sufisme

15 Juni 2019   13:34 Diperbarui: 15 Juni 2019   13:51 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://tirto.id/ 

Topik apa yang lebih seksi kita bicarakan hari ini? Persoalan mana yang paling menggairahkan untuk kita bahas dewasa ini? Agama adalah salah satu jawabannya. Aspek ini mengalahkan isu-isu fundamental seperti minerba, perang dagang, AI, hingga lingkungan hidup. 

Sejak lahir, kita memang mengikut agama orang tua. Waktu itu, kita belum sanggup menyimpulkan agama itu paling ideal. Namun, jejak pengalaman  membuat kita semakin meneguhkan atau bahkan mengubah kesimpulan itu..Dengan dasar keyakinan itu pula, pandangan dan prinsip kita dibentuk. Itu berarti, realitas apapun mesti disandingkan dengan prinsip kita masing-masing. Itu pula yang membuat kita, kadangkala, cekcok. Corak tafsir, fanatisme, kepentingan, ego, masih terendap di jiwa sehingga menumpuli kesakralan agama yang kita junjung.
.
Lantas, akankah umat manusia mulai meninggalkan agama? Tidak lagi bertumpu karena dianggap tidak lagi solutif? Atau justru sebaliknya? Sajian  materialistis penuh kemewahan kerap membosankan? Hidup serba ada belumkah cukup memenuhi kepuasan hati? Makna apa yang sebetulnya digali?

Agaknya, kalau kita amati betul fenomena yang menggeliat sekarang ini, pertanyaan kedua lebih nyata dikaji. Yap, Gelombang spritualitas perkotaan. Apa dan bagaimana pula fenomena berangkat, bagaimana pula gejala ini potensial untuk mendongkrak kemashlahatan bangsa?

Peran agama, vital bagi kehidupan. Pada tataran individu, agama mengarahkan tindakan bertumpu pada moral, terwujud pada sikap terpuji seperti jujur, sabar, ikhlas, amanah, hingga empati. Agama memerintahkan dan melarang penganutnya melakukan sesuatu di samping juga menjanjikan ganjaran terhadap ketaatan akan hal-hal tersebut. Dampaknya, ialah karakter yang sarat nilai, tercermin pada perilaku sehari-hari. 

Sementara itu, di bagian kelompok, agama melatari semangat kolektif. Atas dasar kesamaan pandangan, tiap individu mengidentifikasikan diri, bersatu, menghimpun kekuatan kebaikan lantaran ikatan emosional telah mengkristal. Perasaan ini dapat melejitkan sekaligus menjangkau penuaian demi penuaian kebajikan. Sikap kolektif tersebut tampak pada organisasi ataupun lembaga yang para anggotanya mengikatkan diri pada kelompok tersebut, mereka saling melekatkan solidaritas.

Lebih jauh lagi, kedudukan agama di kehidupan dapat kita cerna melalui pandangan Emile Durkheim. Menurutnya, sifat manusia yang memaknai fenomena tertentu dengan ritual memunculkan dorongan moral berikut turunannya yakni takjub, sanjungan, termanifestasikan ke dalam simbol yang pada gilirannya menjadi ikatan kognitif. Kesakralan ritual tersebut muncul ketika penafsiran manusia tentang sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari, hal yang tidak biasa. Dapat pula kita sambung uraian tadi dengan pemikiran Max Weber yang berpendapat bahwa gagasan-gagasan agama memengaruhi tindakan dan pikiran individu (Freund, 1968: 213).

Ketika sains dan ilmu modern lainnya tidak mampu menyediakan jawaban atas kegelisahan hidup manusia, seperti mengapa seseorang mati, bagaimana kecelakaan itu bisa menghindarinya, atau apa makna hidup sesungguhnya? maka ia beralih kepada kekuatan di luar dirinya yang ia anggap mampu memberikan jawaban tersebut dan itulah Agama, yang diyakini manusia sebagai keajaiban yang mampu mendatangkan ketenangan batin di setiap persoalan hidup.

Dewasa ini, modernisasi telah dan terus menenkan tatanan kehidupan manusia, mengubah cara pandang, dan mengubah pola kehidupan. Gelombang ini adalah keniscayaan bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Siap atau tidak, suka atau tidak, terpaan modernisasi berjalan menembus batas ruang dan waktu, tidak perduli sekuat apa suatu nilai dianut, seerat apa suatu pedoman digenggam.

Akibatnya, sendi-sendi kehidupan banyak yang dituntut untuk menyesuaikan, bertahan, atau lenyap diterjang . Tidak sedikit normatifitas yang telah mengakar, kini tercerabut. Perubahan sosial yang daikibatkan oleh modernisasi, kini berpotensi bermuara pada instabilitas ekosistem kehidupan, keseimbangan terancam, dan kita telah melihat itu pada kemunculan krisis multidimensional: krisis moral, krisis kognitif, krisis finansial, hingga krisis spiritual.

Di saat yang bersamaan, secara kasat mata, kita meyakini orang yang berkecukupan, hidup serba ada akan selalu bahagia, tidak membutuhkan keperluan lain. Pun sebagian besar pandangan mengakui kalangan menengah ke atas tidak akan pernah merasakan kegelisahan hidup lantaran tengah memiliki segalanya, tidak ada yang perlu dirisaukan. Akan tetapi, persoalan mulai muncul ketika kenyamanan itu terisak oleh pencarian makna hidup yang hakiki.

Konflik, pertikaian, dendam, kecemasan akan akhir dan esensi hidup menggelapi mereka yang secara materi berkecukupan. Mereka yang selama ini tengah disesaki gemerlap kehidupan, ternyata membutuhkan asupan ruhani yang dapat menentramkan, memerlukan sarana pengajaran tentang Kebahagian, tentang hakikat berada dan tujuan akhirnya. Teguran mendasar nan eling bagi mereka yang menikmati modernisasi itu, ialah darimana aku berasal, di mana aku sekarang, dan kemana hendak aku berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun