Mohon tunggu...
Achmad Sunjayadi
Achmad Sunjayadi Mohon Tunggu... profesional -

Orang biasa yang ingin melakukan hal luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harga Cabai Turun?

6 Januari 2011   03:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:55 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12942851211732458337

Sudah beberapa pekan ini istri saya menggerutu. Harga cabai melonjak melebih harga daging. Saya menyarankan supaya tidak perlu membeli cabai. Gunakan saja lada, saran saya. Ia menolak karena tanpa cabai ia merasa ada yang kurang.

Mendadak cabai tak terasa pedasnya. Harganya yang melonjak membuat hidangan yang biasa terasa pedas seolah hambar.Tanpa rasa. Bahkan hitungannya ketika membeli mungkin tidak lagi ons atau kilo melainkan butir atau biji.

Menurut Tempo Interaktif (3/1/2011) pada November 2010, cabai merah menyumbang 0,1 persen dari total 0,6 persen inflasi. Inflasi merupakan indikator perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat berdasarkan harga 774 komoditas. Cabai masuk dalam kelompok barang dan jasa yang harganya sangat bergejolak (volatile good) bersama 54 komoditas lainnya.

Lalu ada usul dari Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati supaya Badan Pusat Statistik (BPS) menghapus cabai merah dan cabai merah keriting dari komoditas inflasi . Usulan ini dikritik beberapa ekonom. Terlepas dari usul tersebut, masyarakat kita memang sudah sangat tergantung pada cabai. Tidak mengherankan meski harganya melonjak komoditas ini tetap dicari.

Olahan cabai yang biasa disajikan dalam bentuk sambal memang begitu populer di Nusantara. Sambal tidak sekedar menjadi hidangan pelengkap dan nyaris menjadi hidangan utama. Hal ini disebabkan seni kuliner di Nusantara bersifat hidangan dingin (koud eten). Rasa pedas cabe tidak hanya memberikan rasa yang menggugah selera tetapi juga memiliki fungsi sebagai pengganti temperatur panas.

Melonjaknya harga cabai juga membuat sambal di Warteg tidak lagi bonus atau gratis melainkan bagian yang juga harus dibayar.

Bila dirunut lagi ke belakang, cabai sudah dikenal di Nusantara cukup lama.Jacob de Bondt yang dikenal dengan nama Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi Jan Pieterszoon Coen pada abad ke-17 pernah menyebut Ricino Brasiliensi atau lada Chili vocato. Menurut Bontius ini adalah lombok, cabai merah atau yang dikenal sebagai cabai Brazil. Orang Brazil sendiri menyebutnya lada Chili.

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal kata nama ricino dari recche atau reche berasal dari bahasa Portugis. Kata ini mengingatkan kita pada kata rica yang juga mengacu pada cabai atau lombok. Anda ingat ‘rica-rica’, masakan khas Menado?

Namun, kata reche menurut pendeta P.J Veth tidak ditemui dalam kamus Portugis. Veth berpendapat bahwa yang disebutSpaanse peper, cabai Spanyol adalah Capsicum alias cabai Brazil. Pendapatnya ini juga menolak anggapan bila cabai dibawa oleh orang Portugis dari West Indien/Hindia Barat (Amerika Tengah dan Selatan) ke Hindia Timur pada penghujung abad ke-16.

Pendapat Veth beralasan bahwa cabai pun telah ada sebelumnya di Nusantara. Seperti yang diungkapkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII-XIV bahwa cabai pada masa Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan menurut Nastiti dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan.

Namun, setidaknya kata reche atau ritsjes pernah populer pada 1669 yang dapat diketahui dari syair Van Overbeeke di Batavia:

“Soya, Gengber, Loock en Ritsjes

Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes”.

(Kedelai/kecap, jahe, bawang putih dan cabai

Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)

Pendeta Valentijn pun menyebutkan ada tiga jenis cabai merah. Yaitu cabai merah besar, cabai merah kecil dan cabai kecil yang berwarna kekuningan.

Ada pula hal mengerikan sehubungan dengan cabai ini. Cabai dipakai sebagai alat untuk menghukum para kuli kontrak perempuan di Sumatra pada akhir abad ke-19 yang dianggap menentang perintah tuannya. Jan Breman dalam Koelies, planters en koloniale politiek, Het arbeidregime op de grootlandbouwondernemingan aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw (1992) menuliskan bahwa para kuli perempuan itu diikat di tonggak berposisi salib, lalu kemaluan mereka digosok dengan cabai.

Begitulah kisah cabai pada masa silam. Pantaslah, kita merasa kurang jika cabai tak ada. Perlu difikirkan alternatif pengganti cabai. Oh cabai, kapan hargamu turun ?

sumber foto:

www.butikherbal.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun