Mohon tunggu...
Mattula Ada
Mattula Ada Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Just call me "ADA" http://aboutagama.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Tepat Menetapkan 1 Syawal & Idul Adha

11 September 2011   10:48 Diperbarui: 4 April 2017   18:05 7680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena tulisan ini cukup panjang, maka saya juga membuatkan ebook-nya yang dapat didownload di:http://www.mediafire.com/?hko2uel7tapby56. Namun bagi rekan-rekan yang tetap ingin atau lebih suka membacanya langsung, untuk itu saya persilakan dengan senang hati!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

CARA TEPAT MENETAPKAN 1 SYAWAL & IDUL ADHA

Sungguhsangat memprihatinkan sekaligus memalukan rasanya jikalau penetapan 1 Syawal seringkali berbeda dari tahun ke tahun. Tercatat hari Lebaran tanggal 1 Syawal 1432 Hijriyah kemarin merupakan perbedaan yang keempat kalinya sejak enam tahun terakhir. Perbedaan sebelumnya pernah terjadi tiga kali berturut-turut, yakni pada tahun 2006, 2007, dan 2008.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia 2 ormas Islam terbesar memegang peranan penting dalam penentuan 1 Syawal, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Namun masalahnya, kedua ormas tsb menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan 1 Syawal. Tradisi di NU selalu menggunakan rukyat, sedangkan metode hisab haqiqi wujudul hilal merupakan cara yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis hisab dan rukyat terlebih dahulu.

*) Dalam hisab ada beberapa jenis aliran yang pada intinya terbagi atas tiga jenis, yakni hisab urfi, hisab taqribi, dan hisab haqiqi.

(1) Hisab Urfi. “Urfi” berarti kebiasaan atau kelaziman (Farid Ruskanda, 1995:17). Hisab Urfi adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Hisab urfi ini telah dipergunakan sejak zaman khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a (tahun 17 H). Pada system hisab ini, perhitungan bulan qomariah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan dalam setahun qomariah barvariatif diantara 29 dan 30 hari.

Pada system hisab urfi ini, bulan yang bernomor ganjil dimulai dari bulan Muharram berjumlah 30 hari, sedangkan bulan yang bernomor genap dimulai dari bulan Shafar berjumlah 29 hari. Tetapi khusus bulan Dzulhijjah (bulan ke-12) pada tahun kabisat berjumlah 30 hari. Dalam hisab urfi juga mempunyai siklus 30 tahun (1 daur) yang di dalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari pertahunnya dan 19 tahun yang disebut tahun basithah (pendek) memilik 354 hari pertahunnya. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke-29 dari keseluruhan selama 1 daur (30 tahun). Dengan demikian, kalau dirata-rata periode umur bulan (bulan sinodis/lunasi) menurut hisab urfi adalah (11 X 355 hari) + (19 X 354 hari) : (12 X 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit(menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ).Walau terlihat sudah cukup teliti, namun yang menjadi masalah adalah aturan 29 dan 30 hari serta aturan kabisat yang tidak menunjukan posisi bulan yang sebenarnya dan sifatnya hanya pendekatan saja. Oleh sebab itulah, maka system hisab urfi ini tidak dapat dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah misalnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.

(2) Hisab Taqribi.Dalam bahasa arab, “Taqrobu” berarti pendekatan atau aprokmasi. Hisab taqribi adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. System hisab ini merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq Islam masa lalu dan hingga sekarang system hisab ini menjadi acuan pembelajaran hisab di berbagai pesantren di Indonesia.

Hasil hisab Taqribi akan mudah dikenali pada saat penentuan ijtima dan tinggi hilal menjelang tanggal satu bulan qomariah, yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar apabila dibandingkan dengan perhitungan astronomis modern.

Beberapa kitab ilmu falaq yang berkembang di Indonesia yang termasuk kategori hisab taqribi ini adalah Sullam An-Nayiroin, Ittifadzatilal-Banin, Fathul Ar-rufdiul mannan, Al-qiwaid Al-falaqiyah dan lain sebagainya.

(3) Hisab Haqiqi, yaitu perhitungan posisi benda-benda langit serta memperhatikan hal-hal yang terkait di dalamnya. Hisab haqiqi sering juga disebut Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya. Tidak seperti hisab urfi, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau 30 hari secara berurutan. System hisab haqiqi ini sudah mulai menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat ketelitian yang amat akurat.

Pada zaman ini, hisab haqiqi-lah hisab yang banyak diterima dan dipakai oleh kaum Muslimin, tidak hanya untuk menghisab Hilal tetapi juga menghisab hal-hal lainnya seperti menghisab jadwal shalat 5 waktu. Hisab Haqiqi dapat dibagi menjadi 2 macam yakni hisab wujudul hilal dan hisab imkanurr rukyah.

a)Hisab Wujudul Hilal. Wujudul Hilaladalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonsetafter sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.Hisab Wujudul Hilalbukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. TetapiHisab Wujudul Hilaldapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum. Hisab Wujudul Hilal ini sebenarnya merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Rukyat Bil Ilmi, yaitu meru’yat dengan menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak peduli apakah langit sedang mendung atau badai sekalipun, selama perhitungan di atas kertas mengatakan sudah terjadi hilal (bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam), pergantian bulan dianggap telah terjadi.

b)Hisab Imkanur Rukyat. Awal bulan qamariah, menurut sistem hisab imkanurr-rukyat, dimulai pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat untuk memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan masuknya awal bulan qamariah menurut aliran ini terlebih dahulu ditetapkan suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam Matahari sesudah ijtima’ orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.

Sebenarnya selain dari jenis-jenis hisab seperti yang disebutkan diatas, ada juga apa yang disebut sebagai “perhitungan melalui purnama”. Metode hisab ini berpatokan pada posisi sempurna bulan purnama. Untuk mengecek posisi bulan purnama ini secara akurat, maka dapat langsung dilihat lewat situs-situs seperti www.moonconnection.com, www.fullmoon.info, danwww.moonphases.info, serta http://www.icoproject.org/icop/shw32.html. Setelah wujud purnama mencapai tingkat 100% , maka kemudian dihitung mundur sebanyak 15 hari kebelakang untuk menentukan hilal. Yang menjadi masalah disini adalah mengapa harus dihitung 15 hari ke belakang, padahal umur bulan purnama tidak mutlak 15 hari? Hal ini bisa diibaratkan seperti seorang ibu yang melahirkan anak dalam keadaan langsung beranjak dewasa, sehingga untuk menentukan umur anak tsb dalam keadaan masih bayi kita akan mengalami kesulitan! Apakah untuk menentukan umur anak itu kita akan mematok dengan menghitung mundur misal sebanyak 15 tahun kebelakang? Jelas tidak bukan?

Maka dari itu, pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa awal bulan mestinya didasarkan pada fenomena yang ada batas awalnya. Hilal ada batas awalnya, karena hari sebelumnya tidak tampak, kemudian tampak sebagai tanda awal bulan. Tampak bisa dalam arti fisik, terlihat, atau tampak berdasarkan kriteria visibilitasnya. Purnama sulit menentukan batas awalnya. Dari segi ketampakan, bulan tanggal 14 dan 15 hampir sama bentuknya, sama-sama bulat. Secara teoritik, rata-rata purnama terjadi pada 14,76 hari setelah ijtimak (bulan baru). Artinya, purnama bisa terlihat pada malam ke-14 atau ke-15, sehingga tidak memberikan kepastian ketika ditelusur mundur.

Hal senada diungkapkan peneliti pada Obsevatorium Bosscha, Moedji Raharto. Ia menegaskan, purnama tak menunjukkan apa pun kecuali posisi bulan tersebut. Pada saat itu, bujur ekliptika bulan dan matahari sudah mencapai 180 derajat. Kondisi itu pun tak bisa dijadikan landasan menentukan awal bulan Hijriah. Pasalnya, dalam perumusan kalender Hijriah, posisi hilal bisa lebih tua dari waktu konjungsi. "Bisa 20 hingga 26 jam bahkan ada yang mencapai 48 jam," kata Moedji.

Artinya, bulan purnama bisa jatuh pada waktu yang berbeda-beda. Purnama mungkin berlangsung pada 13, 14, atau 15 di bulan Qomariyah. Karena itu, Moedji mengajak semua pihak bersikap arif dan mengembalikan definisi hilal pada teknis serta mekanisme yang berlaku dalam astronomi. Langkah ini diyakini bisa menghindari sikap saling klaim dan saling menyalahkan satu sama lain. "Kita kembali ke definisi hilal," katanya.

Penjelasan yang bagus mengenai ini diberikan pula oleh sdr Ahmad Nugraha lewat tulisannya di http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/19/masalah-kalender-purnama/.

*) Sedangkan rukyat pada umumnya dikenal hanya 2 macam, yaitu:

(1) Bil Qalbi. Pergantian bulan terjadi hanya dengan meyakini dalam hati bahwa saat itu sudah terjadi hilal. Tidak perlu menengok ke langit atau menghitung di atas kertas, yang penting percaya. Sebagian menyebut ru’yat ini sebagai melihat dengan mata batin.

(2) Bil Fi’li. Kelompok terakhir menafsirkan hadits secara harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara langsung. Ini pun masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus dengan mata telanjang? Sebagian berpendapat bahwa hilal harus dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh menggunakan alat yang memantulkan cahaya. Sedangkan sebagian yang lain memperbolehkan.

Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan, manakah diantara metode-metode tsb yang paling dapat diandalkan untuk melihat hilal? Kalau melihat kelemahan dari masing-masing metode, maka metode hisab haqiqi wujudul hilal lebih dapat diandalkan. Perkembangan perhitungan hisab modern saat ini membuktikan tingkat kesalahan perhitungannya sangat kecil. Kesalahannya hanya 2 detik dalam 4.000 tahun, dan akurasinya pun selalu diamati oleh para observer setiap bulan melalui alat canggih. Sehingga banyak orang saat ini yang bisa memprediksikan waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan secara tepat. Inilah bukti kemajuan bidang astronomi. Sedangkan bila dengan menggunakan metode rukyat, maka ada beberapa kelemahan yang sangat mengganggu yang dapat terjadi, yaitu:

-Hilal sangat sulit dilihat, sebab hanya muncul sebentar saja dan bentuknya sangat tipis dan redup. Bila dalam mengamati hilal Anda berkedip sedikit saja, maka hilal bisa saja hilang dalam pandangan Anda.

-Hilal berada dalam kondisi yang susah untuk diamati, misal:

a)Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian akan tertolak.

b)Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.

c)Banyaknya penghalang di udara.

-Hilal sering terjadi dalam keadaan cuaca yang kurang bersahabat, sehingga sangat mengganggu pandangan mata untuk melihatnya.

-Secara teori, hilal hanya dapat dilihat dalam ketinggian tertentu.

a)Kriteria imkan rukyat yang dipakai di Indonesia mengacu kepada kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkanMusyawarah Menteri-menteri AgamaBruneiDarussalam,Indonesia,Malaysia,danSingapura(MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak. Hampir semua ormas Islam termasuk NU akhirnya bisa menerima kriteria MABIMS ini.

b)Kriteria rukyat hilal ICOP (Islamic Crescent’s Observation Project) yang dikembangkan oleh ilmuwan Yordania, Mohamad Syaukat Audah (yang lebih dikenal dengan sebutan MohamadOdeh) mensyaratkan hilal dapat diamati jika memiliki jarak sudut minimal 6,4 derajat dan ketinggian minimal 6 derajat untuk diamati dengan mata telanjang atau ketinggian minimal 4 derajat untuk diamati dengan alat bantu.

c)Pada tahun 1932 dan 1936 Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang -- dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Dengan limit itu, astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Bahkan menurut Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991 mengatakan bahwa dengan teleskop pun hilal tetap tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.

d)Imkanur Ru’yah dengan kriteria (1) irtifa minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978. Konferensi ini dihadiri juga oleh Indonesia dan Malaysia.

e)Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.

f)Imkanurr Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal dengan nama kriteria Fatoohi.

g)Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati. Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatannya terbagi dalam tiga kelompok, tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.

h)Dan lain-lain, diantaranya kriteria Maunder (elongasi 11 derajat) , Fotheringham (elongasi 12 derajat)

-Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental) dalam merukyat.

Sumber: Wikipedia

Ket: Nampak pada gambar diatas seperempat bulan sabit terakhir di atas cakrawala bumi. Bulan adalah satu-satunya satelit alamiBumi, dan merupakan satelit alami terbesar ke-5 di Tata Surya. Bulan tidak mempunyai sumber cahaya sendiri dan cahaya Bulan sebenarnya berasal dari pantulan cahaya Matahari.Jarak rata-rata Bumi-Bulan dari pusat ke pusat adalah 384.403 km, sekitar 30 kali diameter Bumi. Diameter Bulan adalah 3.474 km, sedikit lebih kecil dari seperempat diameter Bumi. Ini berarti volume Bulan hanya sekitar 2 persen volume Bumi dan tarikan gravitasi di permukaannya sekitar 17 persen daripada tarikan gravitasi Bumi. Bulan beredar mengelilingi Bumi sekali setiap 27,3 hari (periode orbit), dan variasi periodik dalam sistem Bumi-Bulan-Matahari bertanggungjawab atas terjadinya fase-fase Bulan yang berulang setiap 29,5 hari (periode sinodik).

Banyak ulama yang tetap ngotot untuk melihat hilal dengan mata telanjang berdasarkan hadits berikut:

Berpuasalah kalian jika melihat hilal dan berbukalah kalian di saat melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari penglihatan kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban itu tiga puluh hari. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)

Hadits diatas jelas menunjukkan bahwa pada waktu itu ilmu perhitungan (falak/hisab) untuk menentukan penampakan hilal belum begitu maju. Ini sangat kelihatan darikalimat terakhir yang mengatakan “Dan jika hilal itu tertutup debu…” Artinya jika mata kita terganggu oleh hanya adanya debu, maka untuk menentukan bulan baru harus digenapkan menjadi 30 hari.

Hal tsb semakin jelas ketika Rasulullah mengatakan:”Sesungguhnya umatku adalah umat yang ummi, tidak dapat membaca, dan tidak dapat berhitung, bulan itu sekian dan sekian (yakni kadang-kadang berumur 29 hari dan kadang-kadang berumur 30 hari)” (H.R. Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasai)

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).”(Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Selain itu, dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanyaillat. Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Maksudnya adalah dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan‘al-hukmu yadûru ma’a ‘illaitihi wujûdan wa ‘adaman’, dimana saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah barulah rukyat.Jika adaillat, yaitu kondisiummisehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut sebagai seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Maka dari itu, dalam hadits lain dikatakan:

“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan atau mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR. Bukhari)

Hadits diatas menyiratkan bahwa pada waktu itu ilmu hisab sudah cukup mumpuni. Ini terlihat dari kalimat terakhir, maka perkirakanlah ia. Diperkirakan pakai apa? Apakah dengan memakai teleskop? Jelas tidak mungkin, karena pada saat itu, alat semacam ini belum ada. Apakah pakai insting atau ilmu raba-raba dengan bantuan paranormal? Jelas mustahil, karena Rasulullah tidak suka dengan hal-hal yang demikian! Maka alasan paling logis dan memungkinkan adalah dengan memakai perhitungan (hisab).

Jadi untuk melihat bulan baru (hilal) dalam keadaan cuaca yang kurang baik, maka Rasulullah menyuruh kita untuk memperkirakannya dengan melakukan hisab.

Hal ini semakin jelas ketika Rasulullah bersabda, “Jika kalian melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal (Syawwal), maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian menghitungnya!” <

Dari pemaparan diatas, kita dapat memetik hikmah bahwa dalam menentukan 1 Syawal kita harus menggunakan hasil pemikiran dan sumber daya terbaik yang kita miliki.

Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”

Jadi sangatlah mengherankan, jika ada pihak yang menganggap hisab dalam penentuan Hilal adalah bid’ah, padahal ternyata mereka menggunakan hisab untuk waktu shalat fardhu 5 waktu, ini artinya merekapun mengakui bahwa penggunaan hisab adalah benar dan boleh. Waktu shalat yang sebelumnya hanya dapat diketahui dengan cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru’yah syamsu/melihat matahari), tetapi dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat bisa dibuat dengan suatu metode hisab tertentu untuk seluruh tempat di dunia yang selanjutnya bisa digunakan tanpa harus melihat posisi matahari lagi.

Penentuan waktu shalat berdasarkan posisi matahari sungguh sangat merepotkan kita. Hal itu sangat wajar digunakan pada masa Rasulullah karena pada zaman itu belum ada jam ataupun penunjuk waktu yang lebih akurat. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu hisab saat ini, para ilmuwan bisa mengkalkulasikan posisi matahari dengan tepat, presisi dan akurasinya. Kemudian, dibuatlah jadwal shalat yang semua itu berdasarkan perhitungan (hisab).

Rasanya tidak lagi kita temui orang yang hendak shalat terlebih dahulu melihat matahari, kemudian baru azan. Tidak lagi kita temui perbedaan yang mencolok antara Muhammadiyah, NU, maupun ormas lain. Semua sepakat menggunakan waktu berdasarkan perhitungan tadi.

Nah, masalahnya mengapa untuk penetapan awal bulan Syawal mereka menolak menggunakan perhitungan? Untuk penetapan shalat, mereka setuju dengan perhitungan. Padahal dari sisi keakuratan, jelas-jelas yang menggunakan perhitungan, dengan ilmu dan teknologi, lebih tepat dibandingkan dengan melihat langsung.

Selain itu, jika kita cermati firman Allah dalam Al-Qur’an, maka sudah jelas bahwa Allah memerintahkan umat Muslim untuk mempelajari ilmu hisab:

((( Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. QS. Yunus (10):5 )))

((( Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.QS. Al-Israa' (17):12 )))

((( Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. QS. Al-An'am (6):96 )))

((( Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. QS. Ar-Rahmaan (55):5 )))

Nah, dari pemaparan diatas, sudah jelas bahwa untuk saat ini cara terbaik adalah dengan menggunakan metode hisab haqiqi wujudul hilal.

Namun ada pula yang berpendapat bahwa untuk menyatukan dua kubu yang saling bertentangan antara yang pro rukyat dan yang pro hisab, maka sebaiknya diambil jalan tengah (jalan untuk mengkompromikan antar 2 kubu tsb), yaitu dengan menetapkan standar hisab yang memungkinkan hilal dapat dirukyat, misal dengan menetapkan bahwa untuk menentukan 1 Syawal maka ketinggian hilal harus minimal mencapai 2 derajat. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, cara ini dikenal dengan istilah hisab imkanur rukyat. Metode seperti inilah yang dijadikan acuan oleh Pemerintah RI (yang diwakili oleh Menteri Agama) dalam Sidang Isbat. Tetapi pendapat ini tidak didukung oleh satu hadits pun. Dalam hadits hanya dikatakan dengan kalimat melihat hilal. Ini berarti bahwa dalam ketinggian berapapun, apakah itu 2 derajat atau kurang, maka bulan baru sudah dianggap telah muncul. Lagipula penganut sistem ini tidak sadar bahwa bila cara ini ditetapkan sebagai acuan, maka jalan untuk menuju sistem yang benar-benar tepat akan semakin jauh dari kenyataan dan bisa jadi hanya tinggal angan-angan belaka! Apa yang hendak dituju oleh sistem ini sebenarnya hanya merupakan pembodohan dan penyesatan bagi umat! Mungkin maksudnya baik, karena ingin menyatukan atau memadukan 2 dalil, tapi yang terjadi sebenarnya bukan menyatukan tetapi mencampuraduk, sehingga hasilnya justru menjadi lain. Ini bisa diibaratkan lontong dan tempe dijadikan satu untuk dibuatkan gado-gado. Kalau dalil tidak bisa dijadikan seperti itu, karena nashnya sudah jelas! Jadi tidak heran rasanya bila beberapa ustadz pernah mengatakan bahwa konsep imkanur rukyah justru berpotensi mematikan dalil-dalil rukyat!

Selain itu, menurut Prof. Dr. H Syamsul Anwar, MA dalam tulisannya berjudul “Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idul Fitri 1432 H (Tanggapan Atas Kritik Thomas Djamaluddin)” [dapat dilihat di http://www.dakwatuna.com/2011/09/14341/otoritas-dan-kaidah-matematis-refleksi-atas-perayaan-idul-fitri-1432-h-tanggapan-atas-kritik-thomas-djamaluddin/]

“bahwa hisab imkanur rukyat, yang sering diklaim sebagai alternatif terbaik, bukannya tanpa masalah. Kriteria imkanur rukyat sendiri ada banyak pakar yang mengusulkannya. Akan tetapi ini mungkin bisa diatasi dengan para pakar itu sendiri bersepakat. Tetapi bukan sekedar sepakat, melainkan berdasarkan hasil riset yang komprehensif. Akan tetapi terlepas dari soal kriteria itu, hisab imkanur rukyat yang ada sekarang masih belum dapat menyatukan penanggalan umat Islam. Sebagai contoh adalah Kalender Hijriah Universal (al-Taqwim al-Hijri al-‘Alami) yang dibuat oleh Muhammad Audah (Odeh). Kalender ini didasarkan kepada kriteria imkanur rukyat Audah sendiri sebagai hasil analisis statistik terhadap 737 hasil rukyat akurat dan teruji. Namun problemnya kalender ini masih harus membelah dunia menjadi dua zona tanggal yang pada masing-masingnya berlaku tanggal berbeda pada tahun tertentu. Akibatnya kalender ini tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan dunia lainnya. Audah adalah pendukung rukyat bersemangat. Baginya tidak mungkin memulai awal bulan baru di dunia Islam tanpa terjadinya imkanur rukyat di salah satu tempat di kawasan dunia Islam yang terbentang dari Maroko hingga Indonesia. Namun kalendernya sendiri dalam sejumlah kasus menjadikan dunia Islam masuk bulan baru padahal imkanur rukyat dengan teropong hanya terjadi pada kawasan sangat kecil di barat Portugal atau di bagian barat Inggris. Dari 20 tahun jadwal tanggal dalam Kalender Hijriah Universal Audah ini (sejak 1431 H s/d 1450 H) terdapat 9 kali (45 %) terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah sehingga menimbulkan masalah kapan melaksanakan puasa Arafah.

Pendapat bahwa hari Arafah hanya penamaan hari 9 Zulhijjah, sama dengan hari Nahar (10 Zulhijjah) dan hari Tasyrik (11-13 Zulhijjah), dan hari Arafah di Arafah adalah hari wukuf, tetapi tidak harus sama untuk seluruh dunia sehingga puasa Arafah boleh beda harinya dengan hari wukuf di Arafah, pendapat tersebut bukanlah suatu penjelasan ilmiah. Pendapat ini hanya penjelasan sementara yang sifatnya lebih politis, bukan syar’i, yang hanya dapat dipegangi sementara waktu saat kalender umat Islam masih kucar kacir. Pendapat ini hanya untuk menenangkan masyarakat yang tanggal 9 Zulhijahnya jatuh berbeda dengan hari Arafah di Mekah. Apabila dikatakan bahwa mereka yang berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah di tempatnya sementara di Mekah sudah Idul Adha (10 Zulhijah) tidak sah puasanya, maka akan timbul kebingungan di tengah masyarakat yang tidak tahu apa-apa tentang problem penanggalan Islam. Akan tetapi secara ilmiah dan berdasarkan sistem penanggalan yang valid, hari Arafah harus jatuh sama di seluruh dunia, dan kalender yang menjatuhkannya berbeda adalah kalender yang tidak valid.

Itulah mengapa dikatakan bahwa penyatuan penanggalan Islam harus bersifat global. Siapa pun yang membuat suatu rancangan kalender Islam, maka kaidah kalender itu harus bersifat global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, sehingga penanggalan tersebut benar-benar menjadi suatu sistem penandaan hari yang akurat di dalam aliran waktu di masa lalu, kini dan akan datang. Kalau dikatakan bahwa perbedaan jatuhnya hari Arafah (9 Zulhijah) itu adalah suatu konsekuensi yang tidak terelakkan, maka ini dapat dikatakan sebagai suatu konsekuensi yang buruk. Konsekuensi buruk ini tentu timbul dari anteseden yang buruk pula, yaitu rukyat atau hisab imkanur rukyat yang selalu membelah bumi dan kurve yang membelah bumi itu dijadikan batas tanggal.”

Akan halnya imkanur rukyat 2 derajat sebagaimana diamalkan di Kemenag adalah kaidah kalender yang sama sekali tidak ada dasar syar’inya apalagi dasar astronomis. Semua astronom tentu sangat mengetahui hal ini. Parameter 2 derajat jelas hanya merupakan ilusi bagi mereka, karena secara teori hal tsb tak mungkin bisa dilihat dengan peralatan apapun, apalagi dengan mata telanjang. Apa ini tidak berarti bahwa kita hidup dalam ilusi atau di bawah bayang-bayang kepalsuan. Mengapa kita tidak realistis saja? Mengapa kita tidak mengambil sistem yang lebih sederhana, tidak berbiaya tinggi, tetapi dapat memberikan kepastian jadwal tanggal jauh ke depan sehingga memudahkan kehidupan kita?

Sebagian masyarakat juga sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki hari raya, maka di Indonesia juga harus berhari raya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini sebenarnya merupakan pencampuradukkan dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.

Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada zaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah.

Selain anggapan-anggapan diatas, ada juga yang berpandangan bahwa kita harus mengikuti Pemerintah karena Pemerintah adalah Ulil Amri. Sekarang saya tanya, apakah jika Pemerintah berlaku zalim dan sewenang-wenang, kita juga masih akan menurutinya? Apakah bila Pemerintah melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kita juga masih mau mengakuinya? Apakah jika Pemerintah menghalalkan makan babi, masihkah kita umat Islam bersedia untuk membenarkan tindakan tsb? Apakah bila Pemerintah membenarkan wanita Muslimah untuk tidak mengenakan jilbab, masihkah kita turut mengikutinya? Apakah jika Pemerintah menerapkan sistem kapitalisme yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, masihkah kita mau mendukung kebijakan tsb?

Selain itu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri?

Diantara kita masih banyak yang berpandangan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal kita harus mengikuti Pemerintah karena Pemerintah adalah Ulil Amri Minkum. Benarkah demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri minkum?

Menurut Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut, III/207) bahwa secara harfiah, frasaulil amri (uli al-amr)danwali al-amrmempunyai konotasi yang sama, yaitual-hakim(penguasa). Jikawaliadalah bentukmufrad(tunggal) makauliadalah jamak (plural). Namun demikian, kataulibukan jamak dari katawali. Al-Quran menggunakan frasaulil amridengan konotasidzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai(memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasawali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitual-hakim(penguasa).Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut  musytarak(mempunyai banyak konotasi).Sedangkan kata minkum berarti diantara kalian. Maka dari itu tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar dan para pelopor kemerdekaan.

Hal ini jelas tergambar pada saat Umar bin Khattab yang merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya pada saat itu yang kata-katanya sangat bisa dijadikan pegangan tsb mengatakan, "Tatkala Nabi saw. mengucilkan para istrinya, aku masuk ke dalam mesjid, tiba-tiba kulihat orang-orang (para sahabat) melempar-lempar batu kerikil ke tanah seraya mengatakan Rasulullah telah menalak istri-istrinya, lalu aku berdiri tegak di pintu mesjid dan kuserukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi tidak menalak istri-istrinya, kemudian turunlah ayat ini, 'Dan jika datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin menyelidiki duduk perkaranya akan dapat mengetahuinya dari mereka.' Maka saya termasuk diantara orang-orang yang menyelidiki duduk perkaranya itu."

Apa yang dikatakan Umar (ra) diatas berkenaan dengan turunnya QS. An-Nisaa’ (4) ayat 83 berikut:

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Selain itu, di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواأَطِيعُوااللَّهَوَأَطِيعُواالرَّسُولَوَأُولِيالْأَمْرِمِنْكُمْفَإِنْتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللَّهِوَالرَّسُولِإِنْكُنْتُمْتُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآَخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلًا

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa [4] : 59)

Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepadaUlil Amri Minkum. Sedangkan para politisi partai tadi meyakini jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dariUlil Amri Minkum.Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat? Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip sebagian saja yaitu:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواأَطِيعُوااللَّهَوَأَطِيعُواالرَّسُولَوَأُولِيالْأَمْرِمِنْكُم

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”(QS. An-Nisa [4] : 59)

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kataUlil Amri Minkum.Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utamaUlil Amri Minkum yang baik. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya pantas dijadikan Ulil Amri Minkumdan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.

Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

فَإِنْتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللَّهِوَالرَّسُولِإِنْكُنْتُمْتُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآَخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلًا

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa [4] : 59)

Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utamaUlil Amri Minkum yang baik ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُوالَاتُقَدِّمُوابَيْنَيَدَيِاللَّهِوَرَسُولِهِوَاتَّقُوااللَّهَإِنَّاللَّهَسَمِيعٌعَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat [49] : 1)

Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattabradhiyallahu ’anhudi masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakanijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfardan berkata:”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!”Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak asbabun nuzul dari QS. An-Nisaa’ (4) ayat 59 berikut:

Bukhari dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Diturunkan ayat ini pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais, yakni ketika ia dikirim oleh Nabi saw. dalam suatu ekspedisi. Berita itu diceritakannya secara ringkas. Dan kata Daud, ini berarti mengada-ada terhadap Ibnu Abbas, karena disebutkan bahwa Abdullah bin Huzafah tampil di hadapan tentaranya dalam keadaan marah, maka dinyalakannya api lalu disuruhnya mereka menceburkan diri ke dalam api itu. Sebagian mereka menolak, sedangkan sebagian lagi bermaksud hendak menceburkan dirinya." Katanya, "Sekiranya ayat itu turun sebelum peristiwa, maka kenapa kepatuhan itu hanya khusus terhadap Abdullah bin Hudzafah dan tidak kepada yang lain-lainnya? Dan jika itu turun sesudahnya, maka yang dapat diucapkan pada mereka ialah, 'Taat itu hanyalah pada barang yang ma’ruf. Dalam pada itu Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa yang dimaksud di dalam kisahnya dengan, "Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu hal," bahwa mereka memang berselisih dalam menghadapi perintah itu dengan kepatuhan, atau menolaknya karena takut pada api. Maka wajarlah bila waktu itu diturunkan pedoman yang dapat memberi petunjuk bagi mereka apa yang harus diperbuat ketika berselisih pendapat itu yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dan Ibnu Jarir mengetengahkan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kisah yang terjadi di antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin Walid yang ketika itu menjadi amir atau panglima tentara. Tanpa setahu Khalid, Ammar melindungi seorang laki-laki hingga mereka pun bertengkar.

Kisah diatas memberi penerangan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang amir (pemimpin) dan yang dipimpinnya bersikap dalam keadaan berbeda pendapat; yang intinya adalah bahwa kita harus mengacu kepada apa yang difirmankan Allah lewat Al-Qur’an dan apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad saw.

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem dan semangat hidup yang diberlakukan di negara kita (Indonesia) ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).

Sebagai contoh, dalam sidang isbat kemarin (19 Juli 2012), perwakilan dari 2 ormas Islam (Front Pembela Islam dan An-Najat Al-Islamiyah) menyatakan bahwa rekan mereka telah melihat hilal di Cakung, namun kesaksiannya ditolak karena dianggap mengada-ada, dengan alasan tidak mungkin ada orang yang bisa melihat hilal dengan ketinggian dibawah 2 derajat diatas ufuk! Kata ulama NU dan para ahli astronomi: MUSTAHIL!!!

Sebenarnya apa yang dikatakan ulama NU tsb telah menelan ludah mereka sendiri. Mengapa? Karena metode imkanur ru’yat ala MABIMS yang mereka usung adalah metode NGAWUR! Mengapa saya katakan ngawur? Karena metode ini mengatakan bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°. Dua derajat?

Perlu rekan-rekan ketahui bahwa tak ada satupun ahli astronomi, termasuk Prof. Thomas Djamaluddin yang mengatakan bahwa ketinggian 2 derajat adalah ketinggian dimana mata manusia dapat melihat hilal, walaupun dengan alat bantu seperti teleskop sekalipun. Mereka mengatakannya dengan kata: MUSTAHIL!!.

Saya pribadi juga masih tidak percaya jika orang di Cakung tsb dapat melihat hilal. Ini karena menurut berita yang saya dapat, mereka melihatnya sebelum maghrib, sekitar pukul 17.53 WIB. Tapi tidak sepantasnya kita langsung menolak kesaksian mereka tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang mereka lakukan. Sebab jangan sampai misalnya jam yang mereka setel salah. Mengenai dua derajat, secara teori memang mustahil mata manusia dapat melihat hilal dengan ketinggian tsb. Tapi lupakah kita, bahwa bagi Allah, TIDAK ADA YANG MUSTAHIL!!.

Firman Allah:

Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah!", lalu jadilah dia.” {QS. 3:47}

Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia. {QS. 40:68}

Memvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada yang Allah menginginkannya dengan menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari, maupun hambatan atmosfir lainnya.

Jadi seharusnya Menteri Agama, paling tidak menelpon para saksi tsb untuk mencari tahu bagaimana proses mereka melihat hilal! Nabi Muhammad saja, pernah mendengar langsung kesaksian seorang badui sebelum memutuskan apakah telah masuk waktu Ramadhan atau tidak.

Berikut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:


جَاءَأَعْرَابِيٌّإِلَىالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَإِنِّيرَأَيْتُالْهِلَالَقَالَأَتَشْهَدُأَنْلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُأَتَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًارَسُولُاللَّهِقَالَنَعَمْقَالَيَابِلَالُأَذِّنْفِيالنَّاسِأَنْيَصُومُواغَدًا

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada illah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun