Mohon tunggu...
Masruro
Masruro Mohon Tunggu... Buruh Negara -

Pemerhati masalah publik | Ayah dari satu bidadari kecil, "Zizie" | Buruh negara di SMA N 1 Prambanan Klaten | Alumni SDN Bayem 2, SLTP N 2 Kutoarjo, MA PP. Miftahul Huda Malang, STAI Raden Rahmat Malang, dan Santri Mbeling di PPMH Kepanjen Malang | Gusdurians | Aremania | Milanisti | "Bersyukur dengan apa yang ada, bersabar dengan apa yang tiada.." | http://www.kangmasroer.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dukun Politik; Polling vs Pulung

24 Oktober 2013   21:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai  fenomena politik, keberadaan dukun di Indonesia sejalan dengan berkembangnya demokrasi modern pasca kemerdekaan. Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Walau hampir tidak ada catatan akademik tentang fenomena dukun dalam politik Indonesia, dukun politik mendapat tempat dalam dinamika politik dan menjadi salah satu pilar lingkaran dalam kekuasaan jaman Orde Baru. Bukan hanya para pemain politik lokal di daerah, Soeharto sebagai “orang besar” disebut-sebut sangat kental dengan wilayah abu-abu ini.

Aspek mistis dalam kepemimpinan Soeharto memang dapat dijelaskan sebagai bagian dari kultur kepemimpinan Jawa. Namun sebagai fakta sosial, kepemimpinannya, dengan sengaja, menyandarkan diri kepada penasihat spiritual dan mistis. Ada sejumlah dukun loyal yang “memagari” kepemimpinannya (Liberty, 1-10 Juni 1998). Terdapat paling tidak “seribu dukun” di belakang Soeharto dari seluruh penjuru negeri (Gelanggang Rakyat, 18 Oktober 1998). Romo Marto Pangarso, Romo Diat, Soedjono Hoemardani, Ki Ageng Selo, Soedjarwo, Darundrio, mbah Diran, serta Eyang Tomo adalah sedikit dari nama-nama para penasihat spiritual yang setia.

Selain itu, kepemimpinan Soeharto juga mendapat “legitimasi” dari kepemilikan benda-benda ghaib ageman, pulung dan kekuatan mistis (Lihat: Vatikiotis, 2008). Soeharto memiliki paling tidak 113 pusaka dari penjuru tanah air yang dipercaya berkontribusi pada kepemimpinan politiknya yang kokoh. Menurut Ki Edan Amongrogo, Soeharto bahkan memiliki pusaka andalan berupa “Mirah Delima” yang banyak membantunya dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya (Liberty, 1-10 Juni 1998). Jelaslah, dukun, pusaka dan kepemimpinan Soeharto terintegrasi seperti bayangan yang  tidak bisa dipisahkan.

Jatuhnya rejim Soeharto pada 1998 yang disusul dengan semakin terbukanya rekrutmen politik melalui Pemilu Langsung (tahun 2004) dan Pilkada Langsung (pemilihan umum kepala daerah, tahun 2005), yang dianggap sebagai dimulainya demokratisasi di tingkat massa, tidak dengan serta-merta menjadikan politik di Indonesia steril dari perdukunan.

Kuatnya pemikiran mengenai rasionalistas-obyektif rekrutmen politik telah memunculkan anggapan bahwa peran dukun politik berakhir. Nyatanya, praktek dukun dalam setiap kontestasi politik, termasuk Pilkada, disinyalir tetaplah kuat. Kuatnya praktek perdukunan bahkan sampai membuat wakil menteri agama mengeluh; maraknya perdukunan di Pilkada dipandang dapat merusak nilai-nilai agama karena menjurus kepada perbuatan syirik (Lihat: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=86648 ).

Peran dukun dalam politik – baik atas permintaan kandidat sendiri maupun tim suksesnya – mempunyai posisi yang sama seperti konsultan politik modern lainnya. Selain itu, terdapat semacam “division of labor” antara pollster, konsultan politik berbasis polling (poll-based political consultant), dengan dukun. Lembaga polling mengukur popularitas dan akseptabilitas, dukun mengintip pulung. Pollster meningkatkan elektabilitas, dukun meningkatkan karisma dan pamor. Pollster memetakan voting behavior, dukun memetakan konstalasi internal dan mengidentifikasi “musuh dalam selimut” dan “kawan seiring”. Pollster mengumumkan hasil polling secara terbuka untuk mengundang bandwagon effect, dukun membisikan wangsit dengan senyap agar kuat bertuah dan barokah. Pollters memakai multistage random sampling dan wawancara untuk memperoleh data, dukun menggunakan media roh-roh dan tirakat agar mendapat ilham. Pollster memberi saran-saran strategis kampanye dan pemenangan, dukun menancapkan susuk dan minyak kuyang bagi semakin bersinarnya penampilan kandidat. Pada akhirnya, kandidat dan tim sukses mendengarkan nasihat pollsters dengan kritis, namun juga menghayati nasihat dukun dengan takzim dan patuh. Komplit sudah...

Kini, jelang Pileg dan Pilpres tahun 2014, fenomena dukun politik kembali menjadi bahasan publik. Bahkan dengan terang-terangan, salah seorang dukun politik mengaku mematok harga Rp. 1 Triliun bagi yang ingin menang di Pilpres melalui jasa klenik tersebut. Menariknya lagi, jika gagal uang kembali. Anda tertarik??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun