Mohon tunggu...
Agung Triatmoko
Agung Triatmoko Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekedar menuliskan sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Damar Kanginan

22 Juli 2010   15:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lentera kecil minyak ikan kecil dengan nyalanya yang kecil [caption id="attachment_201828" align="alignright" width="211" caption="viruscahya.blogspot.com"][/caption] meliuk-liuk tak kenal lelah diiringi simponi angin dan gesekan biola bambu yang mendeit mendayu semakin membuat sakit ngilu hati sepi di malam dengan lentera kecil minyak ikan kecil dengan nyalanya yang kecil Lentera kecil minyak ikan kecil dengan nyalanya yang kecil berhenti sejenak menahan nafas di bawah pohon rindang gelap sudut gang penuh serakan botol-botol kecil tak tahu malu Sang Dalang lentera kecil menghela nafas kecil, ingin melanjutkan tarian kecil-kecilnya, tapi sudah tak sanggup kakinya gemetar tak beranjak menatap seorang perempuan muda nan cantik tiba-tiba berdiri di depannya, hanya memandang... memandang dengan takjub tersenyum sendiri kemudian tertawa dan digerakannya tangan dan wajah seirama api kecil dari lentera kecil Sang Dalang lentera kecil takjub Gemulai perempuan muda itu bagai Blarak Sempal Gerakan mata sayunya bak Damar kanginan di atasnya alis tipis bagai Bulan Nanggal Sepisan [caption id="attachment_201830" align="alignleft" width="231" caption="devieriana.wordpress.com"][/caption] hanya itu yang di pandang Sang Dalang lentera kecil, tidak yang lain, karena sang dalang tak mau kehilangan keindahannya Berikutnya bibir mereka telah bertaut, sang dalang lalu jatuh tersungkur dalam mimpi-mimpi tak berujung hanya Lentera kecil minyak ikan kecil dengan nyalanya yang kecil, menemani setiap lamunannya. Lamunan pada mata sayu yang bagai damar kanginan tak peduli siapa pemiliknya sekarang tak peduli siapa pemiliknya nanti atau mungkin sang dalang pun tak peduli jika itu milik Sang Penguasa Jagad Raya Sang Dalang, mengangkat pikulan dari bambu yang bunyinya berderit, meninggalkan pohon rindang tempat ia sejenak menghela nafas. "Akan kutinggalkan ragaku diujung jalan, dan roh kita akan berjalan berdampingan menyaksikan tubuh kita yang telanjang tak tahu malu" ----------- Terinspirasi oleh ungkapan cinta lelaki penjual gorengan yang setiap malam menyusuri gang sempit dengan pikulannya, yang jatuh cinta pada perempuan tak ber raga sempurna yang tiba-tiba muncul ketika ia beristirahat di bawah pohon mangga yang rindang di tengah malam. Duh...malam Jum'at ya sekarang ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun