Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seberapa (Tak) Khusyuknya Kita Ber-Ramadhan Nanti?

23 April 2019   20:36 Diperbarui: 24 April 2019   05:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Republika Online

Ramadhan sebentar lagi tiba. Seperti biasa, bulan itu dijadikan oleh umat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada ilahi. Dengan memperbanyak amal yang di hari biasa mereka jarang lakukan bahkan ditinggalkan. Tadarus, tarawih, memperbanyak sedekah, berupaya istiqamah dalam menjalankan shalat sunnah adalah beberapa diantaranya.

Surau dan masjid penuh dengan jamaah dari Subuh hingga taraweh, meski terbatas di awal bulan. Kantor-kantor pun tak ketinggalan, dari mengadakan kegiatan buka bersama sampai dengan kajian-kajian keagamaan. Meriah sekali, indah dan begitu sejuk.

Namun entah dengan Ramadhan tahun ini. Apakah hawanya akan sesejuk tahun-tahun sebelumnya?, sebab belum genap sebulan darinya, pesta demokrasi yang hiruk pikuk dengan segala macam muatan negatip itu baru selesai dilaksanakan. Bahkan putusannya baru akan dimaklumatkan pada pertengahan bulan suci.

Tak bisa dipungkiri, perseteruan yang idealnya tak berlarut-larut itu sampai kini masih menyisakan bara. Status sebagai pemenang adalah segalanya. Meski mereka yang dielu-elukan terlihat sudah berusaha untuk menenangkan para pendukungnya --petahana yang telah menyerukan persatuan bangsa sementara penantangnya pun menyuarakan untuk tidak berbuat inkonstitusional-- gesekan para loyalis masih saja terjadi. Entah kenapa mereka begitu militan seperti itu. Jangan-jangan justru mereka lebih ingin menang daripada pak Joko dan Pak Bowo.

Lalu aku pun bertanya dalam hati, mampukah dalam setengah bulan ke depan, kita yang selama sekian bulan masa kampanye sibuk dan larut dalam mengunggulkan si A dan merendahkan si B, sanggup menghentikan semua itu? 

Bisa jadi mulut kita berpuasa dari hidangan yang membatalkan tapi sanggupkah jempol kita berpuasa juga dari hal-hal yang menghanguskan imbalan puasa? 

Alangkah malangnya kita yang sadar akan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan itu, tapi tak berdaya untuk menjauhinya. Kita tentu tak bisa mengandalkan Menkominfo untuk memblokir facebook dan twitter kan?, karena kitalah yang seharusnya menahan diri dari keinginan untuk menikmati keburukan yang ada di dalamnya. 

Dan bagaimana dengan tausiyah di mimbar-mimbar masjid dam mushalla? Apakah sudah pasti akan steril dari pengagungan seorang figur atau fitnah terhadap figur lainnya?

Sungguh, aku berharap semua itu bisa teredam oleh kemauan kita untuk taqarrub ilallah, mencari ridha Tuhan dan berusaha mencapai kesempurnaan Ramadhan.

Mungkin aku hanya mengalami ketakutan yang berlebihan. Tapi takut akan terjadinya hal-hal buruk dapat membuat kita lebih waspada dan sadar kondisi. Lalu memetakan setiap hal yang seharusnya dikerjakan dan ditinggalkan. 

Akhirnya, aku berharap kepada ilahi rabbi, untuk memberikanku penglihatan yang terang akan yang haq dan yang batil. Lantas memberiku kekuatan untuk menjalankan yang haq semampuku dan meninggalkan yang batil seluruhnya.

Semoga untukmu juga..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun