Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketemu "Anak Bule" di Tengah Sawah

25 Juli 2016   13:52 Diperbarui: 25 Juli 2016   14:05 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1, Siapa sangka Bocah Bule ini anak petani di Lamno, Aceh (Doc. FMT)

Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu yang lalu, aku melintas di daerah persawahan di wilayah Lamno, Aceh Jaya, sekilas tak ada yang istimewa, hanya hamparan tanaman padi yang sedang menghijau, sama dengan daerah persawahan lainnya. Nyaris tidak aktifitas petani di sawah, hanya ada beberapa petani terlihat sedang membersiahkan rumput di galengan sawah dengan tanaman padi yang menjelang “bunting”.

Tiba-tiba aku seperti terpana melihat sesosok bocah yang ku taksir usianya sekitar 7 atau 8 tahunan duduk santai di pinggiran sawah yang sedang menghijau itu sambil menggigit-gigit  sebatang daun nipah yang biasa dipakai orang-orang tua untuk membalut tembakau sebagai pengganti rokok. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan bocah itu, tapi begitu kudekati, seperti ada yang “aneh” pada anak tersebut. Tidak seperti anak-anak kampung di Aceh lainnya, bocah ini mirip seperti anak Bule, berkulit putih, bermata biru dan berambut agak pirang,  apalagi didukung dengan jersey tim sepak bola Eropa yang dikenakannya, nggak ada yang menyangka kalau aku sedang berhadapan dengan seorang “anak kampung”.

Awalnya aku mengira, bocah itu memang anak Bule yang sedang mengikuti orang tuanya berwisata ke Aceh, tapi perkiraaanku meleset seratus persen, karena ketika kusapa dia dengan bahasa Inggris, anak ini hanya senyum-senyum saja tidak menjawab, dia tetap santai memainkan daun nipah di mulutnya, aku jadi serba salah. Untungnya tak lama kemudian datang seorang pemuda menghampiriku, dia menyapaku dalam bahasa Aceh, sepertinya dia tahu keherananku melihat bocah tadi,

“Nyoe keun bule Bang, aneuk petani inoe mantong” (Ini bukan bule Bang, hanya anak petani di sini), jelas pemuda itu, tapi aku belum begitu yakin dengan penjelasannya, beberapa anak sebaya dengan “anak bule” itu kemudian juga datang mendekat, ada perbedaan mencolok antara anak-anak itu dengan bocah tadi.

Gambar 2, Ada perbedaan mencolok antara "anak bule" ini dengan anak-anak sekampungnya (Doc. FMT)
Gambar 2, Ada perbedaan mencolok antara "anak bule" ini dengan anak-anak sekampungnya (Doc. FMT)
Tak perlu berlama-lama aku dengan keheranankau, karena aku segera ingat bahwa aku sedang berada di daerah Lamno, yang menurut catatan yang pernah kubaca, di daerah ini memang masih ada beberapa orang keturunan dari Portugis, salah satunya mungkin orang tua dari bocah ini.  Seperti pernah ditulis oleh Basri Daham di Harian Kompas, edisi 8 Juni 1997, sejarah si mata biru di daerah Lamno ini terkait dengan kisaha pelayaran Marco Polo, pelaut Portugis pengeliling dunia yang terkenal itu. 

Menurut penuturan para orang tua di daerah tersebut, Kapal Marco Polo pernah singgah beberapa waktu di daerah Lamno ini untuk mengisi perbekalan, namun tidak ada yang bisa menjelaskan apakah si mata biru yang tinggal sekarang ini merupakan keturunan dari Marco Polo dan anak buahnya.

Penjelasan yang agak “masuk akal” adalah, adanya sebuah kapal dagang Portugis yang terdampar di daerah Lamno yang merupakan wilayah Kerajaan Meureuhom Daya pada waktu itu. Meski mereka terdampar dengan tidak sengaja, namun pasukan kerjaan Meureuhom Daya menganggap mereka sebagai musuh yang akan menyerang mereka, maka terjadilah pertempuran kecil antara awak kapal dengan pasukan kerajaan, hingga para pelayar Portugal itu menyatakan menyerah tanpa syarat. 

Oleh penguasa kerajaan, kemudian mereka diperbolehkan tinggal di perkampungan itu dan belajar bercocok tani, dari situlan kemudian timbul asimilasi antara “pengungsi” Portugis itu dengan masyarakat setempat, dari situlah konon kemudian lahir keturunan berkulit putih dan bermata biru di daerah ini.

Penasaran dengan apa yang aku lihat di pinggir sawah itu, aku kemudian mencoba menelisik ke beberapa orang tua di kampung yang terletak di lembah Geuruteeitu, penjelasannya yang kudapat nyaris sama dengan beberapa catatan yang pernah aku baca.Tapi ketika aku bertanya tentang berapa kira-kira komunitas mata biru di daerah ini, tak ada jawaban pasti. 

Karena mereka sudah membaur dengan warga lainnya. Dalam satu keluarga misalnya, bisa saja ada satu dua orang yang memiliki ciri fisik mata biru, sementara anggota keluarga lainnya memiliki ciri fisik seperti orang Aceh pada umumnya, jadi memang agak sulit medata jumlah komunitas mereka. Kemudian tidak semua warga keturunan mata biru ini memiliki tanda fisik seperti nenek moyang mereka, hanya sebagian kecil saja yang masih bisa kita lihat memang mirip dengan keturunan bule.

Namun apapun catatan sejarah yang menceritakan tentang mereka, Lamno memang menyimpan keunikan yang tidak dimiliki oleh desa-desa lain di Aceh bahkan di Indonesia, sosok-sosok berwajah bule namun kental dengan logat Acehnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun