Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Asyik Juga Mendiskusikan Program Investasi Sedekah

18 Maret 2013   21:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:32 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika amal kita oleh Tuhan sudah dibalas di dunia, di akhirat kita dapat bagian apa? Itulah inti pertanyaan sahabat kita Gaga kepada Sumarhadi dari tanggapan tulisan di kompasiana tentang Program Investasi Sedekah. Saya yang cukup intensif mendiskusikan dengan teman-teman dan mensosialisasikan program tersebut dengan gigih, benar-benar gelagapan dengan skak ster yang ditujukan ke Sumarhadi tersebut.

Benarkah keadilam Tuhan dalam membalas amal ibadah hambanya seperti anggapan penulis komentar itu? Dalam cerita sufi tentang sabar yang pernah saya dengar memang persis seperti itu. Kisahnya begini: seorang ahli zikir dan ibadah yang sangat tekun pernah mengeluh dan mempertanyakan keadilan Tuhan. "Hamba sudah mengabdikan diri dengan tulus dan ikhlas, tapi mengapa Engkau membiarkan hamba dalam kondisi yang serba kekurangan? Sedang orang lain yang tidak setaat aku dalam beribadah kepadaMu, Engkau berikan mereka kehidupan yang bergelimang kemewahan?"  katanya dalam hati seakan menggugat keadilan Tuhan.

Suatu waktu, keluh kesahnya disampaikan kepada Tuhan dalam ratap dan do'a. Seketika itu juga ia mengalami kondisi teofanik, kondisi spritual yang sangat unik tentang kebersamaannya dengan Tuhan, jiwa dan ruh hamba tersebut bersatu dengan Tuhannya. Ketika itu, segala yang diucapkan dikabulkan Tuhan. Emas dan berlian yang dipanjatkan dalam ratap dan do'a diberikan semua kepadanya. "Inilah emas berlian yang kamu minta, sebagai balasan dari amal ibadah yang engkau lakukan selama ini, tetapi engkau tidak akan mendapatkan itu lagi ketika di akhirat nanti", kata Tuhan.

- Mengapa begitu?

+Bukankah engkau yang meminta untuk dapat menikmatinya di dunia ini, dan engkau tidak sabar menunggu kehidupan akhirat itu tiba?

Dengan gemetaran hamba sufi itu menjawab,

- Jika demikian, biarlah hamba bersabar dalam kesusahan di dunia yang pana ini, Tuhan. Hamba ikhlas, dan hamba tidak mahu membawa pulang emas berlian tersebut. Hamba ingin menikmatinya di kehidupan akhirat yang abadi. Seketika itu sang hamba tersadar  dan langsung menangis memohon ampun kepda Tuhan atas kelancangannya mempertanyakan keadilan Tuhan.

Benar, agama mengajarkan, bahwa dunia adalah perjalanan yang sangat sementara bila dibandingkan dengan kehidupan yang abadi di akhirat nanti. Para pencari Tuhan yang menjalani kehidupan spritual sangat menghindari dunia. Mereka menghayati Sabda Nabi yang mengatakan: dunia adalah akar masalah timbulnya kejahatan. Karena itu mereka menjauhi dunia. Dalam do'a mereka meminta kepada Tuhan agar dunia dijadikan pahit rasanya bagi mereka

Sebagaimana kita telah ketahui, bahwa agama mengajarkan kepada kita untuk mengambil bagian kita di dunia seperlunya saja. Sesuatu yang di luar keperluan adalah serakah dan mubazir. Para sufi sejati menjalaninya dengan sangat ketat. Jalan yang di tempuh oleh para sufi adalah jalan yang benar. Mereka mengambil bagiannya di dunia sebatas yang diperlukan untuk bekal menjalankan ibadah dan memuji Tuhannya.

Bagi kita, substansi ajaran sufi seperti di atas harus menjadi paradigma dalam memandang dunia ini. Maknanya, seluruh hidup kita seutuhnya kita dedikasikan kepada Yang di Atas. Aktifitas yang kita lakukan sepanjang hayat hanyalah untuk mendekatkan diri kita kepadaNya. Itulah hakikat penciptaan manusia di muka bumi ini. Karena sebanyak apapun harta benda yang kita kumpulkan hanyalah titipan yang sementara. Tuhan menitipkannya lewat kita untuk sarana beribadah kepadaNya. Apapun yang ada pada kita, dedikasikanlah untuk Tuhan. Ketika hal itu tidak kita lakukan maka kita akan menjadi hamba Allah yang terkeluar dari hakikat penciptaan, Kita digolongkan orangnorang yang mengingkari hakikat pencptaan diri kita sendiri. Na'uzubillahi 'an zalik.

Saya ulangi, kita semua juga mesti demikian, ketika maqam sepritual kita sudah sampai kepada puncak hakikat sebagai mana sang sufi di atas, maka berdosa dan merugilah kita mengambil bahagian yang Tuhan persiapkan di akhirat nanti, kita ambil dan kita nikmati di dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun