Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan pun Dipolitisasi

25 Mei 2017   10:45 Diperbarui: 14 Juni 2017   15:59 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pilkada tahun ini terasa amat liar dan berani, terlebih lagi setelah dipantiknya masyarakat dengan cara memviralkan video non-muslim yang mencatut ayat kitab suci muslim dan lalu menggiring opini publik bahwa itu adalah penistaan agama. Lebih jauh lagi, setelah pilkada putaran pertama beredar selebaran berisi “haram menshalatkan pemilih pemimpin nonmuslim”, hanya karena beberapa ayat suci mengatakan demikian dan ditafsirkan demikian. Kian hari kian marak ayat-ayat kitab suci dipolitisasi .

Dalam wawancara imajiner Gus Hikam dengan almaghfurlah Gusdur, beliau mengatakan “Banyak para ustadz dan aktivis gerakan islam yang mengutip ayat yang artinya : Barang siapa yang mengikuti din selain islam maka Allah tidak akan menerimanya, dan ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang merugi, serta ayat yang artinya : dan barang siapa tidak menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah maka ia termasuk orang orang kafir”. Gusdur melanjutkan “Pemahaman yang kurang tepat terhadap ayat-ayat seperti itulah yang bisa menjadi bibit hubungan yang penuh dengan suasana konflik”.

Kiranya apa yang diucapkan almaghfurlah Gusdur sama seperti yang sedang terjadi di negeri kita, yakni salah dalam mentafsirkan ayat suci dan mempolitisasi ayat suci. Sedangkan dalam membicarakan negara, konteks yang diangkat haruslah kenegaraan bukan saja hukum syariat atau teologis apalagi berbicara tentang pemimpin daerah, dimana bukan pemimpin agama. Artinya, kita harus melihat dari segi hukum konstitusi atau hukum yang dilahirkan suatu Negara yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar.

Pada waktu lalu kita banyak kecolongan dalam hal kepemimpinan. Banyak pejabat Negara yang ingkar dan mendustai sumpah jabatannya, seperti korupsi, penggelapan dana, yang sudah jelas ini melanggar aturan Negara yakni pasal 3 UU No.31/1999 JU No.21/2001 tentang Penyalahgunaan Wewenang, Kesempatan, atau sarana yang dimiliki. Dan lucunya pejabat tersebut hanya disikapi biasa saja, tidak dikritisi, padahal statusnya adalah tersangka pelanggar aturan Negara. Artinya baik pemimpin Negara ataupun pemimpin daerah kiranya tidak bisa ditinjau dari aspek hukum agama saja, haruslah pula ditinjau dari aspek hukum kenegaraan.

Tuhan pun dipolitisasi. Bagaimana tidak jika dalam praktek politik banyak golongan-golongan yang mencatut berbagai ayat kitab suci demi kepentingan partai politiknya ataupun untuk menjatuhkan lawan politiknya. Dengan mudah ayat-ayat tersebut diperas dan ditafsirkan sedemikian rupa guna mendapatkan massa untuk kemenangan partai politik tersebut.

Jika ayat-ayat tersebut diaplikasikan untuk mendiskriminasi golongan nonmuslim, kiranya itu bagian dari pelanggaran HAM karena sudah jelas tertuang dalam pasal Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia punya hak atas dirinya, dan penerapan hukum yang diskriminatif ini sudah jelas melanggar konstitusi. Hal hal seperti beredarnya selebaran haram untuk menshalatkan pemilih pemimpin nonmuslim, seruan serta tindakan yang fundamental atau radikal, sangat meresahkan dan dapat memperburuk pembangunan karakter masyarakat. Lebih jauh lagi, dari hal hal tersebut maka dampak panjangnya akan terjadi perpecahan umat, hilangnya nilai-nilai perdamaian dan keberagamaan, bahkan essensi dari kebhinekaan pun akan hilang jika praktek-praktek fundamental dan radikal dibiarkan begitu saja.

Ada satu hadist riwayat Abu Dawud yang berbunyi seperti ini : Disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Dahulu kala di kalangan Bani Israil, tersebutlah dua orang laki-laki bersaudara. Salah seorang dari keduanya gemar berbuat dosa, sedangkan yang lain rajin beribadah. Yang rajin beribadah acapkali memberi nasihat saudaranya yang suka berbuat dosa agar ia berhenti melakukan maksiat. Orang yang ditegur menimpalinya dengan mengatakan “Biarkan aku, (ini adalah urusanku) dengan Tuhanku. Apakah kamu diutus sebagai pengawas bagi diriku? (karena kesal) lelaki yang rajin ibadah berkata kepadanya “Demi Allah, dia tidak akan mengampuni dosa-dosamu dan tidak akan memasukanmu ke surga.” (kelak), di akhirat mereka dihadapkan pada Allah Tuhan seluruh alam, lalu dia berfirman kepada yang rajin ibadah: “apakah kamu tahu tentang aku? Ataukah kamu yang punyakuasa terhadap apa yang ada di tanganKu?” kepada yang suka berbuat dosa, Dia berfirman: “Pergilah dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku”, sedangkan untuk yang rajin beribadah, (karena kelancangannya tersebut) Allah SWT berfirman kepada para malaikat: Bawalah ia masuk ke neraka!”.

Dari hadist ini dapat kita pertimbangkan bahwa siapapun dan apapun yang diucapkannya dalam konteks politik namun membawa ayat-ayat kitab suci, kita tidaklah harus mengikuti anjurannya karena dibalik itu semua pasti ada kepentingan politik. Alangkah baiknya kita menelaah seruan tersebut berdasarkan apa maksud dari ayat tersebut, digunakan untuk apa ayat tersebut, dan kapan ayat tersebut berlaku.

Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-maidah ayat 48 yang artinya : “ Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembalinya kamu semuanya, lalu diberitahukan Nya kepadamu apa yang telah kamuperselisihkan itu”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun