Mohon tunggu...
mas nurcholish
mas nurcholish Mohon Tunggu... -

hanya seorang pejalan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etiskah Doa Tifatul untuk Jokowi?

18 Agustus 2017   22:53 Diperbarui: 19 Agustus 2017   11:01 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Etika seringkali dihubungkan dengan adat kesopanan di sebuah tempat. Etika juga seringkali dikaitkan dengan rasa atau perasaan seseorang. Artinya, seorang yang mempunyai tingkat kepekaan rasa yang tinggi, dia akan sangat berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Begitu pula ketika menjadi seorang pendengar dalam sebuah percakapan atau forum, orang dengan kepekaan perasaan tinggi akan sangat mudah tersentuh dengan cerita sedih, pun akan mengetahui mana ucapan yang tulus, sebuah sindiran, ataupun ucapan-ucapan dengan tendensi atau kepentingan. 

Menyoal doa yang disampaikan oleh seorang petinggi negara di sebuah forum terhormat yaitu saat doa penutupan sidang bersama MPR, DPR, dan DPD di Ruang Sidang Paripurna I, Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (16/8), cukup menarik disimak. Dalam  doanya tersebut, Tifatul meminta kepada Tuhan agar badan Jokowi  digemukkan. Ia merasa tubuh Jokowi semakin kurus semenjak menjadi  Presiden. Coba kita simak paragraf utuhnya:

"Gemukanlah badan beliau Ya Allah karena kini terlihat semakin kurus  padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja  untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil makmur dan sejahtera.  Kami melihat beliau kurang waktu untuk beristirahat setiap hari pasti  capek dan lelah limpahilah beliau dengan kesehatan dan kekuatan dalam  menjalankan tugasnya," ujar Tifatul dalam suasana doa.

Coba kita kaji sedikit. Secara struktural bahasa sebenarnya tidak ada kata atau kalimat yang salah dalam potongan teks doa ini. Tapi, kita jangan lupa bahasa itu adalah ungkapan hati seseorang yang dapat dibaca jika berbentuk tulisan, dan dapat dirasakan. Dalam dunia linguistik pun ada istilah rasa bahasa,yang sering dikaitkan dengan konteksnya, penutur dan audiensnya, sehingga didapatlah apa tendensinya. Dalam konteks pragmatik, tendensi memang banyak dikaji untuk mengetahui apa tendensi seseorang ketika berbicara. 

Fakta yang ada menyebutkan politik tetaplah politik

penuh dengan intrik

bermainlah dengan cantik

jangan keliru sehingga jadi licik

agar habis jabatan tidak paceklik

Sebagai penikmat politik (baca: penonton, red), kita kadang juga sulit untuk berada di posisi netral. Entah apa faktornya, bisa jadi lingkungan tempat tinggal ataupun pergaulan, bisa menggiring kita untuk memihak salah satu yang disenangi. Misalnya, dalam kasus ini, secara pintar, media ramai-ramai mengupas tentang doa politik Tifattul untuk Jokowi. Ini pun bisa digorengmenjadi camilan yang renyah dan gurih untuk media. Tinggal bagaimana kita bisa menangkap mana media yang membela Tifatul dan PKS-nya, dan mana media yang membela Jokowi yang disebut kurus dalam doa di forum terhormat. Mari cerdas melihat fakta. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun