Mohon tunggu...
gatot winarko
gatot winarko Mohon Tunggu... -

Sederhana dan Konsisten (Copas from Mandawega) hehe..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Undang-undang Desa dan Kesejahteraan Perangkat Desa

24 Desember 2013   17:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang (UU) Desa menjadi polemic di senayan akhir-akhir ini. Sejumlah kalangan terutama dari para perangkat desa mendesak agar UU ini segera disahkan. Alasannya adalah agar pembangunan merata menyentuh ke desa-desa pelosok sehingga kemakmuran tak hanya berpusat di kota-kota besar saja. Selain itu, dengan adanya anggaran ini kesejahteraan para perangkat desa juga lebih terjamin. Karena menyangkut urusan ‘pejabat kecil’, maka masalah ini menjadi isu yang sensitive. Para politikus DPR memainkan perannya guna meraih simpati dari rakyat, terutama dari para perangkat desa jika UU ini jadi disahkan. Tapi juga tak sedikit yang menolak pengesahan UU ini dengan alasan semakin membebani APBN dan mungkin saja pengelolaan dana yang malah menyebabkan praktik korupsi oleh perangkat desa.

Terlepas dari bagaimana pengelolaan dana ini di kemudian hari (jika disahkan), saya lebih menyoroti tentang kesejahteraan para perangkat desa. Benarkah mereka selama ini kurang sejahtera? Berikut adalah cerita dari lingkungan saya sendiri, sebuah desa di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Cerita ini saya awali dari pemilihan kepala desa (pilkades) yang diselenggarakan bulan Juni kemarin. Ada dua kandidat yang bertarung dalam pilkades kali ini. Seorang incumbent (Pak lurah) dan seorang lagi calon baru. Keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Pak lurah punya kemampuan dan sudah terbukti dalam satu periode kepemimpinannya dan juga jaringan yang kuat dalam sistem pemerintahannya. Sedangkan sang penantang lebih unggul dalam urusan financial. Sudah bukan rahasia lagi jika praktik Money Politic jamak dilakukan dalam pilkades.

Akan tetapi pak lurah tak mau menyerah begitu saja. Dengan lihainya dia mendekati orang-orang berduit. Dan kali ini ‘korbannya’ adalah pak W. Pak W ini adalah ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), DPR di tingkat desa. Pak W ini punya seorang anak laki-laki. dilihat punya potensi meraih dukungan lebih, terjadilah proses lobbying. Pak W mau ‘membantu’ pak lurah dan sebagai gantinya kelak jika terpilih lagi, anak laki-laki Pak W ini akan dijadikan perangkat desa.

Pertarungan seru terjadi antara dua kubu ini. Tapi karena ‘kecerdasan’ Pak lurah ini memanfaatkan orang-orang yang haus akan kekuasaan maka keluarlah dia sebagai pemenang dan kembali menjabat selama enam tahun ke depan. Dan sesuai prediksi (Bapak saya yang sering cerita ini kepada saya), anak Pak W inipun kemudian diangkat sebagai Pak Bayan di desa saya.

Praktik ini tak sekali saja menimpa desa saya. Dalam pemilihan sebelumnya juga tersiar kabar bahwa Pak Lurah ini mengahruskan seseorang menyetor hingga ratusan juta agar bisa menduduki jabatan kepala dusun. Dalam struktur desa saya, saru desa terbagi dalam tujuh dusun yang dikepalai oleh kepala dusun.

Inilah alasan orang mau maju sebagai calon Kepala Desa (Kades) dengan mengeluarkan uang, bahkan ada yang sampai milyaran. Kemudian mereka menghitung berapa banyak duit yang bisa didapat dari proses pemilihan kepala dusun atau perangkat desa lain. Jika dalam satu periode kepemimpinan Kades ada delapan pergantian jabatan, jika rata-rata seorang calon menyetor 100-200 juta, sudah balik modal kan?

Lantas apa yang menyebabkan orang-orang mau mengeluarkan uang begitu banyak hanya untuk menjabat sebagai perangkat desa. Ya karena kesejahteraan seorang perangkat desa terjamin. Mereka digaji dengan sistem bengkok atau sawah. Bagian sawah yang mereka peroleh tergantung jabatan yang mereka emban. Ada satu hektar ada yang setengah hektar. Dan sawah ini berhak mereka kelola selama masa jabatan mereka selesai. Berbeda dengan kepala desa yang dibatasi beberapa tahun saja, masa jabatan perangkat desa ini adalah sampai usia pension atau 60 tahun.

Soal kinerja jangan dipertanyakan lagi jika proses rekruitmennya demikian rupa. Pelayanan ala kadarnya. Mereka lebih menempatkan diri sebagai ‘orang terpandang’ daripada sekedar pamong yang bertugas melayani urusan warga. Contoh nyata adalah dalam pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Para perangkat yang harusnya menegrti kondisi warganya, mana yang berhak dan mana yang tidak berhak menerima, tetap saja tak mampu mencegah kisruh ini. penyebabnya adalah adanya jarak anatara perangkat dan warga.

Demikianlah sekelumit opini saya mengenai polemic UU Desa ini. Yang pasti desa kami perlu bantuan yang nyata dan jelas untuk kesejahteraan rakyat. Jalan terjal sepanjang sawah perlu diperbaiki agar hasil panen segera sampai rumah. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun