Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menakar Letusan Besar

4 November 2010   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:51 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola letusan Merapi 2010 ini menegaskan terjadinya perubahan dalam tipe letusan. Jika umumnya letusan-letusan Merapi selalu bertipe Merapi, yang dicirikan dengan miskinnya kandungan gas vulkanik sehingga magma yang keluar hanya meleler saja (efusif) untuk kemudian relatif tertumpuk membentuk gundukan di puncak sebagai kubah lava yang pada akhirnya ambrol/longsor sebagai awan panas, letusan 2010 sangat berbeda karena sejak awal sudah menampakkan suara ledakan/dentuman disertai semburan gas dan debu secara vertikal. Tak ada menyangsikan saat ini tipe letusan Merapi adalah vulkanian akibat banyaknya gas vulkanik yang dikandung magmanya. Pasca letusan Jumat dan Sabtu dinihari 29-30 Oktober 2010 lalu, BPPTK merilis di puncak Merapi kini terdapat kawah bergaris tengah 200 m, pertama sejak 1872. BPPTK juga menyebutkan magma letusan 2010 kali ini cenderung lebih asam, dengan kadar silikat mencapai 57 % atau meningkat dibanding biasanya yang 52-54 %. Meningkatnya keasaman magma menggelisahkan, mengingat data empirik dari sejumlah letusan besar gunung api yang telah terdokumentasi memperlihatkan korelasi sangat erat antara tingginya keasaman magma dengan besarnya letusan. Ini mendatangkan pertanyaan: akankah Merapi meletus besar? [caption id="attachment_315174" align="alignnone" width="285" caption="Mbah Petruk ? Sumber : detikcom, 2010"][/caption] Kekhawatiran letusan besar pun disuarakan dari ranah lain yang sama sekali berbeda. Citra Merapi bidikan pak Suswanto di Srumbung (Magelang) pada saat matahari terbit 25 Oktober silam (atau tepat sehari sebelum Merapi mulai meletus) memperlihatkan bentukan awan aneh yang disebut-sebut sebagai penampakan Mbah Petruk, salah satu makhluk gaib penghuni Merapi. Penampilan Mbah Petruk ditafsirkan sesepuh desanya sebagai pertanda akan terjadinya letusan besar, sementara ujung hidung yang mengarah ke Yogyakarta menandakan arah letusan besar adalah ke selatan. Penafsiran ini kemudian diperkuat oleh Mbah Ponimin, nama yang sedang menanjak pasca tragedi Maridjan. Penafsiran itu seakan menemui relevansinya tatkala pada sejak senja 2 November 2010 hingga pagi hari ini (3 November 2010) Merapi tak henti-hentinya menyemburkan material vulkaniknya. BPPTK melaporkan kegiatan Merapi kali ini amat intensif, diiringi dengan terjadinya gempa tremor vulkanik, pertanda magma memang sedang berdesak-desakan menuju kawah pengeluarannya di puncak dengan membawa energi yang besar. Hingga semalam, tingkat letusan diperkirakan 3 kali lipat letusan pertama pada 26 Oktober lalu atau setara dengan pengeluaran material vulkanik sebesar 12 juta meter kubik. Dengan asumsi suhu material adalah 600 derajat Celcius, letusan kali ini mengeluarkan energi termal 1,44 megaton TNT atau 72 kali lipat lebih besar ketimbang letusan bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Inikah letusan besar itu? Sebenarnya sulit untuk mencari padanan kata "letusan besar" mengingat klasifikasinya yang subyektif. Klasifikasi yang obyektif mendasarkan pada skala VEI (Volcanic Explosivity Index), yang didasarkan pada tinggi kolom debu yang disemburkan gunung api dan atau jumlah material vulkanik yang dikeluarkannya. Chris Newhall -salah satu vulkanolog kondang dunia yang juga pernah meneliti langsung Merapi dan kini bekerja di stasius USGS Filipina- membagi VEI ke dalam tujuh tingkatan (skala 1 sampai 7). Peningkatan satu skala VEI berkorelasi terhadap peningkatan 10 kali lipat jumlah material vulkanik. Memang untuk dua skala tertinggi (yakni VEI 6 dan VEI 7), sering dipadankan dengan istilah letusan katastrofik alias besar-besaran atau hancur-hancuran, dimana pada tingkat letusan ini gunung berapi cenderung menghancurkan dirinya sendiri sehingga membentuk kaldera alias kawah yang sangat lebar. Letusan Krakatau 1883 adalah contoh dari skala VEI 6 karena mengeluarkan 18 km kubik magma, sementara letusan Tambora 1815 menjadi contoh dari skala VEI 7 dengan keluaran 150 km kubik magma. Skala letusan gunung api dalam VEI cenderung berbanding terbalik dengan periode aktivitasnya. Sehingga, gunung yang sering meletus akan memiliki skala VEI rendah dan sebaliknya gunung yang jarang meletus memiliki skala VEI tinggi. Letusan Krakatau 1883 tadi terjadi  abad setelah gunung ini 'tidur' tanpa menunjukkan aktivitasnya sama sekali. Sementara Merapi, sebagai gunung api teraktif di dunia yang memiliki periode letusan 3-5 tahun sekali, cenderung memiliki skala VEI rendah. Dalam konteks inilah sulit untuk mengatakan adanya potensi letusan Merapi bakal meningkat ke tingkat VEI 6 atau 7 yang katastrofik itu, sehingga adanya letusan yang setara dengan Krakatau 1883 bisa dikesampingkan. Data-data selama ini menunjukkan bahwa tingkat letusan Merapi berada pada skala VEI 2 atau hanya mengeluarkan magma maksimum 10 juta meter kubik. Letusan 2006 misalnya, mengeluarkan magma 'hanya' 8 juta meter kubik. Van Bemmelen -geolog legendaris itu- menyebutkan bahwa letusan katastrofik gunung api hanya bisa terjadi jika terdapat dua faktor pendukung dalam gunung tersebut: magma yang sangat asam dan histori letusan katastrofik. Keasaman magma berbanding lurus dengan kekentalannya, dan kekentalan magma berbanding lurus dengan kemampuannya menyekap gas vulkanik. Sehingga makin asam magma, makin kuat kemampuannya menahan gas. Ini kondisi mengerikan, karena ketika batas ketahanan magma terlampaui, gas vulkanik yang tertekan hebat akan langsung dikeluarkan dengan energi yang sangat tinggi. Secara kasat mata magma sangat asam ini bisa kita lihat sebagai batu apung (pumice). Sebuah gunung berapi juga hanya akan berpotensi meletus katastrofik jika histori letusannya menunjukkan adanya peristiwa serupa di masa purba. Krakatau misalnya, ternyata punya histori letusan katastrofik di abad ke-5 dan ke-13 Masehi, ditandai dengan sisa kaldera purbanya. Pun demikian dengan gunung Tambora. Contoh lebih nyata ada pada kaldera Danau Toba, yang pernah meletus dahsyat pada 700 ribu tahun silam sebelum kemudian terjadi kembali pada 74 ribu tahun silam. Nah, Merapi ternyata tidak memiliki histori letusan katastrofik semacam itu. Di sekujur tubuh Merapi dan sekitarnya tidak dijumpai batu apung yang khas. Pun demikian pula, di sekitar gunung ini tidak ditemui sisa-sisa kaldera. Sehingga potensi letusan katastrofik Merapi bisa dikesampingkan. Namun pertanyannya sekarang, sampai sejauh mana kira-kira skala letusan Merapi? [caption id="attachment_315185" align="alignnone" width="205" caption="Endapan-endapan yang dihasilkan dalam letusan Selo (tahun 838 +/- 73 M) atau disebut juga tefra Selo seperti tersingkap di Plalangan. Letusan Selo adalah letusan berskala VEI 4 yang terjadi bersamaan dengan pembangunan Candi Borobudur, dimana Mataram Hindu sedang mencapai puncak kejayaannya. Sumber : Andreastuti dkk, 2006"][/caption] Penelitian Bu Andreastuti dkk (2006) terhadap lapisan-lapisan endapan vulkanik gunung Merapi dengan radiocarbon dating menunjukkan, selama 4.000 tahun terakhir terdapat jejak-jejak 11 letusan yang mencapai skala VEI 4 (dengan keluaran magma hingga 100 juta meter kubik). Letusan-letusan tersebut diantaranya : letusan Tegalsruni (tahun 10 SM +/- 60 tahun), letusan Ngrangkah (sekitar tahun 170 M), letusan Plalangan (sekitar tahun 255 M), letusan Jrakah (tahun 300 M +/- 50 tahun), letusan Selo (tahun 838 M +/- 73 tahun), letusan Selokopo (tahun 1500 M +/- 100 tahun), letusan Kepuhharjo (tahun 1700 M +/- 50 tahun) dan letusan Pasarbubar (angka tahun belum diketahui, namun kemungkinan tahun 1872 M). Letusan-letusan tersebut mengindikasikan bahwa aktivitas Merapi jauh lebih tinggi pada awal-awal Masehi dibandingkan sekarang, sementara pasca abad ke-16 M (atau pasca letusan Selokopo), letusan berskala VEI 4 terjadi secara rata-rata setiap 200 tahun sekali. Letusan-letusan tersebut selalu vertikal, yakni dengan tipe sub plinian atau plinian yang ditandai dengan semburan gas dan debu vulkanis membentuk kolom setinggi > 15 km. [caption id="attachment_315187" align="alignnone" width="300" caption="Penampang melintang puncak Merapi dalam arah utara-selatan. Nampak jejak kawah letusan 1872 (letusan Pasarbubar ?) yang kini telah kembali tertimbun di bawah kubah-kubah lava."][/caption] Penelitian tersebut sekaligus mematahkan mitos akan letusan mahapralaya 1006 yang selama ini dipercaya menjadi faktor penyebab terbenamnya candi-candi di seputar kaki Merapi (seperti candi Sambisari, Kedulan dan Kadisoka serta candi yang baru ditemukan di kompleks UII) dan rusaknya percandian Borobudur dan Prambanan, yang memaksa kerajaan Mataram Hindu (Medang) memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Letusan Selo dengan tegas menunjukkan bahwa letusan berskala VEI 4 terjadi hampir dua abad sebelumnya atau bertepatan dengan masa pembangunan Candi Borobudur oleh dinasti Samaratungga, ketika Mataram Hindu sedang mencapai puncak kejayaannya. Maka mahapralaya Mataram Hindu disebabkan oleh faktor lain, bukan letusan Merapi. Sehingga, tak perlu mengkhawatirkan Merapi bakal jadi seperti Krakatau 1883. Untuk 2010 ini, dengan probabilitas yang tinggi, Merapi juga tak perlu dikhawatirkan bakal mencapai letusan skala VEI 4 atau 10 kali lebih dahsyat ketimbang letusan 2006. Merapi memang sedang meletus dengan kuantitas lebih banyak dibanding 2006, dimana pada saat ini volume magma yang dikeluarkannya sudah 2,5 kali lipat letusan 2006. Para vulkanolog di BPPTK sedari awal sudah mengestimasi letusan Merapi 2010 ini mungkin akan 3 kali lipat dari letusan 2006, sehingga berada pada tingkat VEI 3 dengan keluaran magma di sekitar 25 juta meter kubik. Namun tetaplah waspada, karena banyak sekali faktor-faktor yang belum diteliti dengan lebih detil untuk memerikan perilaku Merapi, masih banyak sekali parameter yang belum diketahui terkait lasaknya gunung api ini. Tetaplah waspada, namun jangan hipersensitif ! Bahan acuan : Andreastuti dkk. 2006. Menelusuri Kebenaran Letusan Merapi 1006. Jurnal Geologi Indonesia vol. 1 no. 4 (2006) : 201 - 207.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun