Mohon tunggu...
Marto
Marto Mohon Tunggu... -

Manusia sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Lampet Mulana

6 Juni 2016   12:39 Diperbarui: 7 Juni 2016   20:46 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marto Pasaribu, No Urut 81

Setelah melewati sepanjang jalan lembah, akhirnya bus yang ditumpangi tiba pada sebuah loket. Tempat pemberhentian sementara para penyetir si lancang kuning mengaso. Istirahat sejenak, menyeruput kopi untuk menjemput kembali tenaga yang sudah habis ditelan debu jalanan.

Kami segera beranjak dari dalam bus untuk meregangkan otot lalu berjalan mencari tempat yang cocok sebagai pelabuhan lelah. Insting menuntun langkah menuju sebuah kedai sederhana. Bangunan semi permanen dengan penggabungan materi yang beragam. Pondasi berupa beton dibangun di atas tebing curam penyangga danau, dinding kiri kanan terbuat dari papan dan bambu. Saujana dari kejauhan, ini mirip seperti secuil pondok nyangkut di tengah tebing dengan sudut kemiringan 45 derajat. Dan jalan rayanya akan tampak seperti ular yang meliuk-liuk turun gunung, mengitari seluruh pesisir perkampungan sekitaran danau Toba. Begitu memasuki ruangan ini, pandangan kita akan disambut oleh air danau yang tenang. Di dinding kayu depan kedai, sebuah tulisan 'Laponta Do' menyambut ramah, yang apabila diterjemahkan secara harfiah memiliki arti 'Kedai Kita'. Secangkir kopi hitam menjadi pesanan pas untuk menghangatkan badan yang menggigil diterpa angin danau.

Kawasan ini memang surganya untuk menikmati pemandangan air danau Toba dengan sejuta pesonanya. Itulah mengapa tempat ini menjadi tempat singgahan. Sering juga disebut Panatapan Parapat. Banyak hal yang akan memanjakan mata di sini. Cukup duduk santai sembari menyeruput kopi hangat, maka dalam hitungan sepersekian detik kita akan larut dalam keindahan yang mengagumkan di depan mata.

Menjelang tegukan ketiga pada kopi, pandangku beralih pada tumpukan jajanan yang barusaja tersaji di pinggan. Kuraih sebiji lalu kulepas perlahan daun pisang yang membungkusnya. Karena masih hangat, terasa wangi uapnya yang menguar menyapa lidah. Sejenak, aku menoleh sosok perempuan di sampingku, lalu tersenyum simpul. Melihat wanita itu seperti memantik memori berlari ke masa silam. Dan zapp!! Nyam-nyamm...dalam dua kali gigitan sudah ludes di mulut. Maknyus dan legit. Inilah jajanan asli daerah Tapanuli, namanya Lampet. Nikmatnya senja di Panatapan mencapai klimaks ditemani sepasang kopi hitam dan Lampet. Sempurna.

Akh sial! Baru saja dibuai candu, awak bus sudah keburu memanggil untuk naik kembali ke dalam bus. “Naik..naik! KUPJ 93 naik, biar cepat kita!” teriaknya beberapa kali diikuti dengan gegas para penumpang bus. Tak berapa lama kemudi bus perlahan berlalu menuju ke arah Siantar. Kenangan yang tadi sempat merambat di otak perlahan sirna seiring hilangnya pemandangan danau.

Beberapa saat pasca meninggalkan pesisir, perjalanan sudah mulai monoton. Tak ada lagi danau. Hampir sepanjang jalan adalah hutan lindung didominasi pohon Pinus, menjadi pemandangan menjelakkan nan mengantukkan mata. Namun ada sesuatu yang menggoda otakku, seolah diajak untuk kembali ke peristiwa setengah jam lalu. Aku teringat kembali suasana senja tadi. Suasana saat aku melirik perempuan di sampingku lalu kopi, Lampet, pemandangan dan pernik panorama sekitarnya. Tapi kutemukan Lampet yang menjadi sasaran ingatan. Ada apa dengan Lampet? Adakah dia begitu penting sehingga memiliki tempat di ingatanku?

***

Jika bagi mereka Lampet sudah tidak begitu memiliki arti, lain halnya dengan aku. Aku merasa tidak dapat lepas dari bayang-bayang masa lalu apabila bersua dengan benda kecil yang manis tersebut. Ikhwal kisah, bahwa pada suatu malam aku pernah dipertemukan dengan seorang gadis desa. Pada mulanya aku merasa bahwa Lampet hanyalah sebuah kebetulan semata. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa kehadirannya bukan sekedar kebetulan. Ibarat film, Lampet adalah pemeran utama yang tersamarkan, sementara aku dan Tiur adalah lakon pembantu yang menonjol. Tak ada Lampet maka mungkin jalan cerita hidupku kini sudah berbeda.

lampet-pinterest-5755044d729773161a69f2c1.jpeg
lampet-pinterest-5755044d729773161a69f2c1.jpeg
Ketika itu, ada sebuah pesta besar di kampung. Pesta Gotilon atau pesta panen raya. Thanksgiving ala Batak. Konon pesta ini diadakan sebagai ucapan syukur atas keberhasilan panen pertanian. Di beberapa daerah, pesta ini sering diadakan di tempat ibadah. Masing-masing keluarga akan membawa hasil panen, termasuk juga makanan seperti kue-kue, masakan, buah-buahan atau apapun yang dapat dinikmati. Semua warga berkumpul dan makan bersama. Namun seiring pergeseran demografi, acara pesta tahunan ini pun terlupakan dan perlahan sirna ditelan zaman.

--Lalu, letak keistimewaan Lampet itu apa? Korelasinya di mana, kan semua sama-sama menikmati? Sabar, ini masih akan berlanjut.-- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun