Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku dan Secangkir Kopi di Vatikan

30 April 2019   12:16 Diperbarui: 2 Mei 2019   03:03 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Città del Vaticano, merupakan negara terkecil di dunia. Negara di dalam kota Roma ini "memanggil" jutaan peziarah setiap hari untuk menikmati gedung gereja yang megah, museum, lukisan, dan patung-patung karya pemahat tersohor dunia. Tidak sedikit orang datang hanya sekadar untuk melintasi lapangan San Pietro atau duduk menikmati secangkir kopi di cafe sekitarnya. 

Semua orang datang untuk kopi, wisata, dan hangatnya matahari Italia. Bom Paris tidak mengurangi antusiasme turis berkunjung ke negara mungil ini. Rasa nyaman juga makin meningkat karena dengan mudah kita melihat polisi atau tentara di setiap sudut kota. Caffè, memang merupakan pusat orang Italia merayakan hidupnya.

Mereka bisa duduk berjam-jam untuk secangkir kopi yang memang nikmat. Biasanya mereka ngobrol dengan nada suara tinggi dan gesture yang mengasyikkan sampai akhirnya secara refleks, kami pun melakukan hal yang sama. Sering kami, duduk-duduk berdiskusi sambil menikmati secangkir kopi di cafe-cafe ekonomis di sekitar Vatikan, sambil sesekali menirukan tangan dan gaya bicara orang Italia. 

Fenomena yang menarik di sekitar Vatikan adalah kita dapat dengan mudah menjumpai pengemis, bahkan pencopet. Kebanyakan dari mereka adalah para imigran yang berasal dari Eropa Timur. Mereka rata-rata tidak memiliki izin tinggal di Italia. Tidak memiliki rumah dan pekerjaan. Mereka jarang sendirian, biasanya mereka duduk berkelompok di depan Basilika megah atau gereja, mengharapkan dentingan recehan keberuntungan sepanjang hari. 

Di antara mereka, ada seorang bapak tua. Duduk persis di samping kampus tempat saya belajar. Setiap pagi beliau duduk di bawah pohon rindang, ditengah cuaca yang dingin menyengat. Tidak bersalju, tapi kali ini cukup dingin. Duduk dengan jaket seadanya. Di depannya, di tanah, ada topi yang terbuka berisikan beberapa receh uang logam. 

Dia memang "meminta" perhatian, tapi tanpa bicara. Dia pasti lapar dan kedinginan setiap pagi, tetapi setiap kali berpapasan, dia hanya tersenyum dan mengucapkan 'buon giorno', 'buona giornata'. Selamat pagi, semoga hari ini menyenangkan.

Di suatu pagi saya dan seorang suster duduk bersama dia, lalu dari tasnya dikeluarkan jatah bekalnya. Sambil ngobrol sebentar, suster pelajar itu pun memberikan sebungkus makanan dan jaket yang dipakainya kepada si bapak tua ini. Apakah dia kenal dengan bapak ini? Apa yang akan dimakannya nanti siang di kampus? Mungkin di komunitasnya banyak makanan?

Peristiwa ini mengajak saya untuk melakukan hal yang sama. Duduk bersama orang lain dan berbagi, mungkin menjadi slogan mahal untuk era modern ini. Mengapa "mahal"? Cukup mudah kita temukan para tunawisma di Italia. Kebanyakan dari mereka adalah imigran yang berimigrasi karena perang atau masalah finansial di negaranya. 

Saat ini Badan Imigrasi Dunia mencatat sekitar 102.802 jiwa. Ada memang yang menempati fasilitas penampungan sementara milik pemerintah. Selebihnya tidak memiliki dokumen yang pasti. Mereka tidak tersapa, lapar, haus, dan kedinginan. Kita bisa menjumpai tidur di pinggiran jalan, terowongan, gang, bahkan berbaring di depan pintu masuk gereja.

Perjuangan mereka untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, terkadang tidak seimbang dengan keterampilan, faktor umur, dan kemampuan berbahasa. Krisis ekonomi Italia turut mempersempit ruang gerak mereka. Bahkan kaum pekerja muda Italia sendiri, pada akhirnya memilih "kabur" dari Italia demi hidup yang lebih baik. Jika pemilik tanah pergi? Siapakah yang mengurus tanah dan para "tamu" ini?

Kenyataan ini memang memaksa kita untuk ADA bagi mereka. Duduk bersama orang yang tidak mampu memang sulit. Ada frame atau kerangka modernisme yang cenderung memandang orang secara ekonomis. Untung rugi. Sulit sekali kita hadir, bagi orang yang mungkin tidak berpengaruh bagi kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun