Mohon tunggu...
Marsianus Bathara
Marsianus Bathara Mohon Tunggu... Akuntan - Sound of Reality

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mendistorsi Makna People Power Secara Terstruktur

22 Mei 2019   14:12 Diperbarui: 22 Mei 2019   14:45 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gegap gempita pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden 2019 sudah hampir berakhir. Sederetan peristiwa marak mewarnai pemilu kali ini, mulai dari isu kecurangan Pemilu, para petugas KPU yang meninggal dunia, Prabowo yang melakukan gugatan hasil Pemilu, dan mungkin banyak sekali kisah di balik layar para pendukung Capres-Cawapres. Pemilu kali ini menyisakan sebuah sejarah kelam yang pasti akan dikenang di kemudian hari.

Dalam tulisan ini, saya akan lebih menyoroti soal bagaimana kata people power telah mengalami distorsi makna. People power seharusnya tidak digunakan untuk memenangkan kekuasaan. Ini berbahaya. Kita dibawa ke arah perpecahan menjadi 2 kubu. Apa yang terjadi di lapangan ketika akhirnya keputusan KPU diumumkan itu sudah dapat kita prediksi sejak kampanye dilangsungkan. Semua ini dihasilkan oleh Capres yang tidak siap dengan kekalahan yang terjadi berulang kali.

People power mengacu pada revolusi sosial damai yang terjadi di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa 20 tahun. Dengan dugaan suap dan korupsi serta kontroversi mengenai pelanggaran hak asasi manusia, rezim Marcos ditentang keras oleh Senator Benigno "Ninoy" Aquino, Jr, yang dibunuh pada tahun 1983.(sumber https://www.amazine.co/39449/apa-itu-people-power-fakta-sejarah-informasi-lainnya/).

 Ada isu yang menyangkut keadaan sosial ekonomi di negara tersebut sehingga rakyat memberontak. Hal yang mendasari pada people power seharusnya bersifat ideologis, yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara secara langsung. 

Misalnya saja korupsi pejabat publik, perampasan tanah, inflasi, pelanggaran HAM berat, rezim otoritarian, dll. Tidak pantas rakyat diajak untuk melakukan people power yang dapat mengarah ke tindakan brutal aparat demi memenangkan Pemilu. Hanya akan menyisakan darah yang tidak berguna.

Saya sebagai warga Negara Indonesia dibawah rezim Jokowi untuk saat ini juga banyak tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah. Aksi demonstrasi menuntut hak sebagai warga negara juga kerap saya lakukan, misalnya saat ikut bersolidaritas bersama petani Kendeng yang lahannya dirampas pemerintah, pembangunan bandara Kulon Progo yang menyisakan tangis warga yang dipaksa angkat kaki dari tanah dan pekerjaannya. 

Jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput, pekerja perempuan yang mendapat perlakuan buruk di tempat kerjanya, kasus Novel Baswedan yang tidak mendapat investigasi serius dari pemerintah, dan masih banyak lagi. 

Tak jarang aksi tersebut juga mendapat perlawanan tidak menyenangkan dari petugas kepolisian. Saya jadi ingat kata Pramoedya Ananta Toer ketika menanggapi kritik Goenawan Mohamad terhadap beliau yang menolak permintaan maaf sebagai wujud rekonsiliasi pemerintahan Indonesia pada rezim Gusdur, "Kulit coklat menindas kulit coklat." 

Ketika kita sudah mencapai kemerdekaan dari bangsa lain, tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan yang baik dan lapangan pekerjaan yang memadai. Itu menjadikan bangsa kita mudah dibawa di dalam kelompok-kelompok yang memiliki tujuan kekuasaan dan ekonomi. Aparat yang mendapat perintah atas nama bisnis dan kekuasaan tidak segan-segan menghabisi bangsa ini.

Kita mengalami kemunduran jaman di era yang ilmu pengetahunnya mengalami kemajuan pesat. Mengapa? Karena bangsa kita tidak dibekali kesadaran kritis dari kecil. Jelas itu sebuah kesengajaan demi lenggangnya kekuasaan. Masuknya kemajuan teknologi yang seharusnya menjadikan gerakan sipil menjadi maju dan kritis, malah akhirnya berbalik arah ke sebuah bangsa dengan sentimen ras yang mengerikan. 

Hoax diciptakan untuk menggiring opini publik. Grup-grup whats up sengaja diciptakan sebagai alat propaganda kekuasaan. Saya sengaja mengikuti satu grup whats up yang isinya para pion yang dicekoki sentimen agama yang kencang. Mengerikan memang. Gerakan sipil digiring untuk berperang melawan paham yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun