Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Curhatan Pikiran dari Si Ambisius Pemburu Cahaya

23 Juni 2017   12:45 Diperbarui: 27 Juni 2017   21:19 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar sebuah kata 'kamera?' 'Fotografer?' Atau yang lebih terkonsep lagi.. 'cahaya?' Kata yang sangat tidak asing bagi telinga masyarakat. Tetapi, bagaimanapun, tetap ada perbedaan diantara penafsiran-penafsiran yang ada. Generasi tua, ibu penulis, atau tetangga sebelah yang menggantungkan hidupnya hanya pada sebuah gerobak bakso, atau pedagang takjil di ujung sana yang berpacu dengan keramaian menjual gorengan dan mie, bisa saja menganggap Fotografer sebuah profesi biasa. Perjuangannya hanya seputar mengambil gambar ria, hanya dengan bermodalkan kamera dan sebagainya. 

Banyak yang menyederhanakan apa sesungguhnya itu fotografer (disamping tidak sedikit pula yang mengetahui kamera itu tidak murah). Masih ada sikap menghargai.... Menekankan adanya kesetaraan.... melihat mereka para fotografer ( atau 'kami', dalam sudut pandang penulis) sama sepeti mereka yang berprofesi sebagai dokter, tentara, atau pegawai swasta misalnya. 

Pikiran tentang perkastaan yang unik, namun agak timpang, namun masih bisa diterima. Mengapa timpang? karena realitas sebuah profesi kefotografian tidaklah sesederhana itu. Namun lebih kompleks. Sekompleks bagaimana pedagang takjil tadi saat mengetahui lika-liku perjuangan anaknya yang tengah berusaha meraih status sebagai personil angkatan darat misalnya. Mengapa bisa diterima ? karena itu bukan apa-apa dibandingkan dengan pola pikir yang jauh lebih sempit dari pada itu. Contohnya adalah yang seperti ini.

Di suatu sore yang tenang, saya tengah akan membaca habis novel saya kala itu. Judulnya 'Misteri Soliter', karya Jostein Garder, sebuah novel filsafat yang saya gemari tatkala saya terpesona dengannya setelah saya mendengar setiap inci kata dari seorang dosen yang mencucukan pikiran saya dengan apalagi kalau bukan filsafat. Paling tidak karna itulah saya tidak anti-filsafat sejauh ini seperti mahasiswa milenial lainnya. Ternyata memang benar, filsafat memang sulit, tetapi membawa ketenangan. Namun, ketenangan yang telah saya peroleh rusak begitu saja. Bagaimana tidak, melalui aplikasi media sosial, seorang teman dengan maksud yang tersirat mengirim sebuah gambar dengan perpaduan sedikit tulisan didalamnya. Orang-orang menyebutnya meme. 

Tapi penulis tidak setuju bahwa itu juga disebut meme. Tujuan awal diciptakan meme adalah tidak ada hal lain selain berhumor. Yang penulis temukan disini adalah bahawa tidak ada satupun dari setiap inci meme tersebut yang berhasil membuat penulis tertawa. Karena yang disediakan disitu tidak lain hanyalah sebuah sarkasme belaka. Sarkasme yang secara interpersonal menusuk karakter penulis, atau siapapun yang terposisikan sebagai yang 'tersindir' oleh meme tersebut.

Meme tersebut berlatarkan seorang fotografer yang tidak saya kenali, namun yang membuat penulis berpikir bahwa itu indah adalah terdapat gambar berbagai macam jenis lensa kamera yang membuat siapapun penyuka fotografi menjadi 'terpesona'. Tentu bukan hal tersebut yang memaksa penulis menyusun essay ini. 

Melainkan karena caption yang berada mengelilingi setiap pinggiran frame gambar meme itu. Itu berbunyi : 'Ngakunya Fotografer, tetapi cuman punya satu kamera murahan.' Sebagai penyuka fotografi (sekaligus calon fotojurnalis sepertinya), secara kasar, penulis dapat mengatakan bahwa ada rasa tersinggung sekaligus miris dari hati dan pikiran penulis setelah melihat dan memaknai maksud meme tersebut. 

Disatu sisi, secara personal penulis memperoleh adanya bentuk sindiran langsung dari teman penulis, bahwa makna dan maksud dari meme tersebut dengan cara yang tidak dapat diprediksi memang secara tepat menggambarkan kondisi realitas penulis sebagai mahasiswa Jurnalistik yang tengah mendalami ilmu fotografi dan fotojurnalistik kala itu. Disisi yang lainnya, penulis merasakan adanya ironi bahwa masih ditemukan banyak orang-orang (bahkan yang 'kenyang ilmu' sekalipun) yang secara 'berat sebelah' mengukur kredibilitas dan kualitas suatu profesi hanya dari apa unsur materi yang dimiliki. Itu adalah pemikiran yang sempit, minim sudut pandang dan terlalu dependen.

Satu hal yang tak lain mendorong penulis untuk menentang ideologi naif seperti itu yakni bahwa itu merupakan bagian dari gejala diskriminasi profesi. Adalah salah apabila seseorang memandang suatu keprofesian hanya dengan berorientasi pada sisi material. Keberhasilan seseorang dalam menjajaki suatu bidang keprofesian tertentu terukur tidak hanya berdasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis, melainkan juga penguasaan softskill yang didasarkan oleh dinamika pengalaman, pengetahuan dan networking. 

Walaupun ketiga hal tersebut tentu tidak akan bisa terpraktikan secara efektif tanpa terpenuhinya unsur teknis terlebih dahulu, tetap saja, selaras dengan nasihat kuno yang dari waktu ke waktu telah ditekankan oleh generasi tua, bahwa semuanya bergantung dan dimulai dari apa yang ada didalam diri kiat sendiri. Dalam bentuk sederhananya, kembali lagi pada apa yang dialami penulis, bahwa apakah perlu memiliki semua perangkat fasilitas fotografi yang mahal (tanpa adanya kemampuan yang cukup untuk menguasai semua alat itu) agar pantas disebut sebagai orang yang menjajaki dunia fotografi ?

Kesalahan pola pikir tentang per-karir-an seperti demikian yang tadi telah dijelaskan sebelumnya, sungguh patut menjadi faktor penghambat generasi muda untuk tetap percaya diri menjajaki segala bidang kehidupan yang mereka suka. Di berbagai belahan tempat lain, adalah hal yang biasa, ketika sungguh banyak realitas dimana banyak anak muda yang sebelumnya ingin 'berkarya' ; menjadi hebat ; menjadi yang unggul dalam suatu bidang tertentu, malah sudah terlanjur terlalu merendah dan tak berkutik oleh karena adanya cara dan sudut pandang yang salah dari orang-orang disekitarnya dalam melihat dan berpikir tentang keambisiusan anak muda tersebut. Kritikan dan cemohohan verbal adalah yang paling mengambil andil disini, dimana anak muda yang serba haus akan segala hal dapat dengan mudahnya dapat menjadi kekurangan percaya diri oleh karena remehan dari orang-orang terdekatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun