Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kala Anak Muda Indonesia "Liburan"

27 Juni 2017   21:11 Diperbarui: 28 Juni 2017   09:59 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tribunnews.com

Seakan sudah menjadi tradisi semi-formal yang sungguh biasa bagi kelompok anak muda yang hidup di tengah lingkungan masyarakat urban, setiap pertengahan dan akhir tahun berebut-rebut memperoleh pengalaman destinasi, yang di mana mereka menamainya dengan sebutan frasa berhimbuhan sederhana, 'liburan'. 

Secara universal, representasi dari kata 'liburan' adalah sama, yakni memenuhi kebutuhan emosional. Kebutuhan emosinal dalam bentuk rasa senang, kepuasan dan pelepasan merupakan bagian yang hakiki dalam aspek psikologis kaum generasi muda. Maka tak jarang, ketika kesempatan yang apik datang, masa liburan membuat mereka semua menjadi 'gila'. Gila hiburan, gila pengeluaran, gila lomba pamer, dan sebagainya. Sebagai sosok yang naif dan haus akan hasrat pengalaman emosional, liburan seakan menjadi tuntutan wajib dalam hidup.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Namun, tentu tetap terdapat perbedaan persepsi dari antara mereka-mereka yang memandang 'liburan' itu sendiri. Walau hanya satu kata, 'liburan' merupakan predikat yang mewakili makna yang cukup kompleks ; dikarenakan arti sesungguhnya liburan sungguh berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain.  

Bagi generasi muda dari kalangan menengah ke atas (yang rutinitas keluarganya sudah kental akan dinamika kehidupan karir yang 'melelahkan'), liburan seakan sudah ter-sah-kan sebagai bagian dari rutinitas wajib tahunan. Liburan tidak sekadar dianggap sebagai pelepas penat, tetapi juga sebagai sarana ajang perburuan 'nilai estetis' dari pengalaman yang dijalani atau dari tempat yang dikunjungi. Bagi mereka, itu merupakan komponen penting pelengkap hidup mereka. 

Dalam konteks realitas jaman sekarang, bukanlah sesuatu yang aneh jika ditemui anak muda yang seakan membiarkan orang tua mereka yang rela 'membakar' pendapatan sendiri untuk menciptakan liburan versi mereka. Dalam situasi yang lebih ironi, hal tersebut terjadi tatkala setelah mereka sudah terlanjur menelan liur janji manis agen developer liburan atau iklan komersial destinasi wisata di televisi. Setelah tenaga dan waktu termubazir dalam berkilo-kilo kemacetan yang membuat kepala pusing pun, mereka masih berteguh pikiran menganggapnya sebagai liburan. Ya, liburan (?)  

Lain padang, lain ilalang. Sedang bagi generasi muda yang dilahirkan oleh kalangan menengah kebawah, liburan tidaklah sama dengan keharusan. Kehidupan mereka yang merujuk pada hubungan keluarga paguyuban, cenderung tidak jarang memilih alternatif lain sebagai pemenuhan kebutuhan emosional dari pada konsep liburan yang serba 'wah' pada umumnya. 

Bagi mereka, aktivitas pelepasan dapat dilakukan kapan saja, dalam bentuk apapun, di manapun, bahkan dalam ruang lingkup sosialisasi internal sekalipun. Sekadar berkumpul bersama keluarga, makan bersama atau mengunjungi lokasi tertentu yang sederhana (dan tentunya tidak memerlukan pengeluaran yang besar) namun tetap mengunggah kebersamaan, adalah sesuatu yang dirasa sudah cukup untuk dicap sebagai liburan versi mereka. Atau yang lebih sederhana lagi ? 

Seperti menciptakan rutinitas sendiri walaupun hanya berdiam di rumah? Bagi segelintir orang (menurut penelitian, pada umumnya introvert), itu juga bisa disebut sebagai liburan. Sebagai anak muda yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang sedikitpun tak berkantong tebal, penulis adalah satu dari segelintir (atau sekian banyak ?) orang introvert yang dimaksud tersebut, hehe~   

Betapa dinamisnya masyarakat muda Indonesia, terdapat perbedaan paradigma yang mendominan seperti demikian dalam menafsirkan arti liburan ; ada kapitalisme yang mengutamakan 'apa yang kami peroleh' sedangkan sisanya cenderung lebih mementingkan 'apa yang kami rasakan'.

Teruntuk Bagi Siapapun yang Jomblo dan Tak Berdompet Tebal

Dalam ruang hidup generasi muda Indonesia, kala liburan, tidak sedikit remaja dan pelajar yang meratapi nasib mereka sebagai yang terpisah dari keluarga ; sehingga secara penuh keberatan hati mereka harus menghadapi kerasnya liburan yang penuh akan hantaman kesendirian (eaaaa). Sebagai yang tak berdompet tebal, merencanakan liburan ditengah kemandirian adalah sesuatu yang cukup sulit. 

Teruntuk-utamakan bagi anak muda perantauan diluar sana, yang sangat dengan terpaksa mengisi hari libur dengan diiringi oleh kesan rentang jarak yang sangat jauh dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Terlebih, jika konteksnya adalah masa-masa liburan reguler (non-hari raya besar, kejepit, dsb) ; kesempatan untuk melepas rindu dengan keluarga adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun