Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Curhatan Kecil Mahasiswa, Kala Pertama Kali Menyusun KRS

19 Agustus 2017   12:03 Diperbarui: 19 Agustus 2017   13:13 3236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem Kartu Rencana Studi, penggunannya sudah bukan menjadi rahasia lagi bagi dunia akademik perguruan tinggi Indonesia. Sistem itu memungkinkan sekaligus menuntut setiap Mahasiswa sebagai motor penggerak utama institusi perkualiahan untuk menciptakan perencanaan dan manajemen jadwal aktivitas akademik mereka sendiri. Seakan tidak pantas hanya disebut sebagai sebuah sistem ; fasilitas ; ataupun perencanaan, bagi kalangan pelajar tinggi tertentu, KRS sejatinya adalah lebih dari itu. Masih ingat betul ketika penulis memegang status sebagai Mahasiswa (baru) semester satu, yang baru beberapa bulan menginjakan kedudukan di kampus.. 'Cerira horror' yang pertama kali meneror pikiran penulis adalah HANTU DINAMIKA KRS.

Kala itu masih begitu kental beberapa tren pengunaan bentuk-bentuk analogi yang digunakan hampir setiap Mahasiswa pejuang KRS untuk menggambarkan paradigma itu. Ya.. Pejuang KRS, itulah salah satu dari bentuk analogi yang dimaksud, tepatnya yang satu itu untuk merepresesentasikan kalangan Mahasiswa tertentu yang tak pernah tidur depresi dan kepenatannya kala mengisi KRS. Analogi lain yang paling sering digunakan adalah 'KRS adalah perang'. Dikala kami mangisi KRS, disaat yang bersamaan pula kita sedang menghadapi sebuah perang. Karena seyogyanya mengisi KRS adalah soal rebut merebut, pasti Kompasianer muda berpikir perang yang dimaksud seperti perang perebutan. Padahal, sekali lagi, lebih dari itu. Sudah seperti pertempuran abad pertengahan atau era kolonialisme saja, bagi Mahasiswa tertentu aktivitas KRS adalah lebih dari sekadar perang perebutan, melainkan sebuah perang dimana setiap perajurit (Mahasiswa) didalamnya dituntut untuk memiliki kompetensi, keberanian dan persenjataan yang cukup untuk melakukan ekspansi. Jika dalam perang sasaran ekspansi adalah wilayah dan manusia, lalu bagaimana dengan KRS ? Tentu saja mata kuliah dan ruang kelas.

Ada banyak aspek pertimbangan yang menjadikan itu sebagai sebuah perebutan, namun kebanyakan Mahasiswa mempersempitnya kearah satu alasan prioritas, yakni ketersediaan kelas dan mata kuliah dapat menjadi sesuatu yang begitu terbatas. Tak jarang ditemukan Mahasiswa yang menyamankan segala cara untuk memenangkan perang, mulai dari hadir di lingkungan kampus sejak awal pagi, sampai rela duduk menatap komputer selama berjam-jam berharap terdapat ketersediaan kelas yang mereka impikan. Mau bagaimana lagi, nasib satu semester penuh kedepan dipertaruhkan lewat tindak-tanduk selama mengisi KRS.

Bagi spesies Mahasiswa berdidealisme tinggi, masalah belum selesai sampai disitu. Bagi sebagian besar dari mereka, peperangan KRS tidak selalu hanya tentang merebut dan mengekpansi mata kuliah atau ruang kelas, tetapi juga tentang pentingnya riset mengenal karakteristik dosen. Bagi mereka, ketersediaan ruang kelas atau mata kuliah adalah belum lengkap, apabila mereka belum berhasil menempatkan kedudukan mereka kedalam payung pengasuhan dosen favorit buruan. Mahasiswa seperti ini tidak hanya menaruh keputusannya dalam memilih jadwal kelas dan mata kuliah berdasarkan penyesuaian dengan selera kenyamanan dalam berkuliah, namun juga berdasarkan penilaian mereka dalam melihat kualitas dosen. Dari situlah, penulis kini tidak lagi mengherankan ketika menemukan beberapa Mahasiswa yang rela mengambil mengambil kelas pagi seminggu penuh, bahkan sampai kelas sore sekalipun, hanya karena kelas-kelas itu memiliki jargon dosen yang diimpi-impikan.

Yang menjadi masalah adalah, ukuran untuk menunjukan baik atau buruknya kualitas otoritas dosen dalam berhibah ilmu begitu subjektif. Sederhananya, jika rekan penulis mengkategorikan dosen A sebagai dosen berkualitas baik, belum tentu juga demikian bagi penulis sendiri. Beberapa kawan penulis menilai seorang dosen berdasarkan sejauh mana keadilan dan kemurahan hatinya dalam memberikan nilai. Merujuk pada pengalaman empirik penulis, tidak sedikit Mahasiswa yang mengeluhkan ketidakmampuan dosen dalam memporsikan nilai secara fair kepada para Mahasiswanya, yang dimana pada akhirnya hal tersebut berdampak tidak menyenangkan pada nasib keberlanjutan perkembangan IPK mereka. Secara logika, tentu mengalami penjatuhan IPK oleh karena kerada-radaan otoritas dosen (disamping kita sudah berusaha semaksimal mungkin) adalah sesuatu yang patut disesalkan. Siapapun pasti lebih mengutamakan sikap objektif dari pada subjektif, terutama dalam hal memporsikan nilai. Namun, terlalu objektif tentu juga tidak menguntungkan. Penulis juga pernah mendengar keluhan beberapa teman dari kelas yang berbeda, bahwa objektivitas dosen yang berlebihan dalam memberikan nilai hanya akan menciptakan dunia perkuliahan dengan kesan serba empirik (dengan kata lain 'serba ikut apa kata buku, presentasi, dsb').

Di lain waktu, penulis juga menemukan kawan seperjuangan yang justru serta merta menjadikan 'kadar niat mengajar' sebagai parameter dalam menilai kualitas dosen. Penulis menyadari betul, bahwa pada era modernisasi yang identik dengan keinstanan dan kemalasan seperti ini pun, generasi mudanya justru masih menjunjung tinggi pentingnya kedisiplinan, tak terkecuali dalam melihat kebiasaan dosen. Selama menginjak semester 2, terdapat satu dosen yang tak pernah lari dari bahan pembicaraan oleh karena rekam jejak kedisiplinannya yang telah merugikan banyak Mahasiswa dari berbagai segi. Misalnya, yang paling banyak menjadi ajang pergosipan, yakni soal kehadiran. Dalam kasus tertentu, dosen yang dimaksud sering kali mengajukan pembatalan kelas, yang dalam satu semester jumlahnya sangat banyak dan sungguh tidak bisa dianggap normal. Karena dalam budaya perguruan tinggi setiap pembatalan kelas harus disusul dengan pengajuan jadwal kelas yang baru sebagai penggantinya (biasa disebut dengan KP/Kelas Pengganti), kebiasaan jelek dosen seperti itu hanya akan menumpuk banyak 'utang KP' bertebaran ; yang pada akhirnya itu tidak jarang menyeret Mahasiswa-mahasiswanya pada ujung jurang kebenturan jadwal sana dan sini. Lagi-lagi, stress tidak dapat dihindari. Situasi terburuk adalah ketika beberapa Mahasiswa merelakan jadwal absennya karena berbenturan dengan kepentingan akademik dan non-akademik lain yang lebih bersifat darurat.

Sebagai Mahasiswa yang selalu berusaha belajar untuk menjadi adaptif dan terbiasa terhadap manajemen waktu, penulis justru tidak terlalu memikirkan tetek bengek itu. Satu-satunya yang menjadi keluhan terberat penulis adalah soal perbedaan sudut pandang. Hampir di setiap semester, pasti penulis harus berhadapan dengan satu dosen sungguh berbeda selera sudut pandang dengan penulis. Apalagi, jika mata kuliahnya berorientasi kearah disiplin ilmu yang tidak sepenuhnya empirik, dapat dikaji lewat banyak pendekatan, seperti misalnya sosial dan kemanusiaan. Salah satu contoh sederhananya, ketika hendak menyelesaikan suatu kasus permasalahan atau sekadar menjawab pertanyaan. Meskipun konteks jawabannya hampir sama, tetapi jika disampaikan kembali dengan selera sudut pandang penulis yang berbeda dengan dosen, tetap akan dianggap sebagai jawaban yang tidak tepat. Hal tersebut penulis rasa sungguh menekan kebebasan kami dalam menciptakan gaya pemahaman kami sendiri dalam melihat materi perkuliahan. Penulis secara pribadi pun hanya bisa pasrah, karena akan sangat tidak mungkin bukan meneliti satu persatu dosen berdasarkan bagaimana cara dia berpikir dan bersudut pandang ?  

Memang, dalam hal nilai-menilai, itu semua tidak terlepas dari yang namanya perspektif seseorang dalam melihat seseorang lain,yang dimana dalam hal ini mereka (seseorang yang dimaksud itu) adalah Mahasiswa dan dosen. Bahkan banyak Mahasiswa yang terluntang-luntang meratapi diri mereka memperoleh dosen yang tidak selaras dengan ukuran dan kriteria kualitas yang diharapkan. Bagi Mahasiswa yang adaptif, mungkin itu bukan menjadi masalah yang terlalu besar. Tetapi, tentu beda cerita dengan Mahasiswa yang sungguh bergantung pada lingkungan pendukung dalam menentukan keberhasilan akademiknya.

Namun, terlepas dari itu semua, tentu orientasi perjuangan setiap Mahasiswa adalah cepat lulus dengan lancar sesuai dengan target waktu yang ditentukan. Dari situlah penulis sangat jarang menemukan Mahasiswa yang rela membuang lalu menunda jadwal kelasnya ke semester berikutnya hanya karena tidak berhasil memperoleh kesempatan diajarkan dosen favorit. Jika pun ada, sebaiknya mereka harus di bukakan pikirannya dengan pembelajaran tentang betapa pentingnya bertahan pada rangkaian proses (sekalipun itu tidak mengenakan) demi tercapainya sebuah tujuan. Secara logika, tentu saja lebih baik bersyukur sudah memperoleh jatah kelas, sekalipun tidak kebagian dosen yang dihharapkan, dari pada menunda kelulusan lebih jauh akibat idelisme murahan itu. Jadilah Mahasiswa yang adaptif, yang tidak bergantung pada otoritas dosen (tarutama dalam hal kemurahan hati memberikan nilai) dalam mengajar dalam rangka mengupayakan IPK yang tinggi. Lulus nomor satu, dan IPK nomor dua, selama masih bisa dikontrol fluktuatif angkanya agar tetap di ambang memungkinkan untuk lulus.      

Pahit manis KRS adalah segelintir dari sekian banyak proses perjuangan teknis bagi anak muda dalam menjadi insan berilmu.  Setap generasi, setiap angkatan pasti akan merasakannya, bahkan selalu dikenang dan diingat kesannya oleh peralumnian yang sudah menjajaki dunia karir sekalipun.     

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun