Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Pelakor dan Bagaimana Menghadapinya

25 Februari 2018   15:13 Diperbarui: 26 Februari 2018   10:01 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Lyndaspann.com

Beberapa hari belakangan ini, timeline saya dipenuhi oleh video pelabrakan pelakor. Ada yang marah-marah sambil nyawerin duit (bikin pengin dimarahin Bu Dendi juga, eh..) sampai yang ngelabrak sampai jambak rambut dan dilerai satpam. Seru! Lha..

Kegalauan istri yang marah-marah sampai viral di video itu tentu saja tidak main-main. Sedih, marah, kecewa, dan entah apa lagi yang mereka rasakan akibat ulah si pelakor. Tahu kan apa itu pelakor? Perebut laki orang. Entah siapa yang memulai tapi saat ini istilah pelakor nampaknya menggantikan istilah WIL atau wanita idaman lain. Perebut laki orang. Hm.. memangnya laki-laki itu barang ya, bisa direbut?

Di kedua video yang viral itu, ibu-ibu yang lakinya (baca: suaminya) "direbut" perempuan lain tampak menyerang selingkuhan suaminya. Mengapa mereka tidak menyerang suaminya saja? Kan yang mengingkari janji pernikahan suaminya bukan si perempuan selingkuhan? Kalau suaminya nggak mau ya nggak bakal selingkuh.

Kemungkinan besar para ibu itu merasa tidak berdaya tanpa suami mereka. Bisa juga karena tidak enak dengan mertua, dan lain-lain. Jadi lebih mudah menyerang sang lawan dan mengamankan hak milik.  Padahal kan habis kerudung merah bisa datang kerudung kuning, hijau, biru kaya lagu pelangi-pelangi, atau habis mbak berambut panjang bisa yang berambut sedang, pendek atau tak berambut.

Kalau wanita berdaya, mereka bisa memberikan sang suami yang tidak setia pada selingkuhannya saat itu juga. "Nih, buat kamu aja. Gue nggak butuh laki model begini."  Lalu melanjutkan hidup.

Mau contoh nyatanya? Maia.. tuh.. Maia..

Tapi nggak segampang itu juga kan ya. Hati pasti terluka, mata ingin menangis, dan tangan ingin ngegamparin selingkuhan sama si tukang selingkuh begitu tahu kenyataan yang sebenarnya. Belum lagi kalau ingat anak-anak. 

Tapi ya... saya pernah baca entah di mana sih, kalau anak-anak akan tumbuh lebih baik dalam lingkungan yang mendukung, bukan dalam perkawinan yang tidak bahagia. Jadi kalau ibu sudah tersakiti karena bapak tukang selingkuh tapi memilih bertahan dalam perkawinan karena "demi anak-anak", coba dipikirkan ulang deh, apa betul demi anak?

Terus apa yang harus dilakukan ketika tahu kalau suami selingkuh? 

Saya punya contoh ngegap yang elegan nih. Yang ngalamin temennya temen saya (buset, temennya temen, jauh bener contohnya), dia ngegap suaminya lagi makan siang sama perempuan lain. Kebayang dong kaya gimana rasanya? 

Udah panas-dingin tuh. Tapi ibu ini berhasil menenangkan dirinya dan berjalan santai ke tempat suaminya makan. Terus dia ngambil kentang goreng punya suaminya, dimakan, sambil bilang "Eh, nggak nyangka ya ketemu di sini?" Udah, gitu aja terus ditinggal pergi. Malamnya suaminya nangis-nangis minta maaf sama suaminya. Nah, ini contoh suami yang masih agak "bener" otaknya dan dapat dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun