Mohon tunggu...
Maria Irene Inggrid
Maria Irene Inggrid Mohon Tunggu... -

tinggal di sebuah "titik merah", namun tak lupa pada Ibu Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Berbicara Banyak Bahasa: Dimanakah Posisi dan Arti Bahasa Indonesia?

16 September 2012   10:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:23 2298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Indonesia adalah bahasa ibuku (mother tongue) dan Indonesia adalah bangsa dan negaraku. Fakta ini itu tidaklah perlu diragukan walaupun saat ini aku tinggal di luar negeri. Pertanyaan bagiku adalah apakah dengan tidak berdiam di Indonesia serta jarang berbahasa Indonesia bahasa Indonesia masih mempunyai arti bagiku? Pertanyaan yang sama juga ditujukan bagi orang Indonesia di tanah air, apakah dengan berbahasa Indonesia, bahasa yang dipakai tersebut sudah memberikan arti bagi orang Indonesia serta bagi bangsa dan negara Indonesia? Bagaimana dengan mereka yang berbicara multi-bahasa, di manakah posisi dan arti bahasa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hendak aku refleksikan melalui pengalaman berbahasaku sejak masa kecil hingga saat ini.

Aku dilahirkan di Manggarai, Flores, Provinsi NTT. Sejak hari kelahiranku, bahasa Indonesialah yang dipakai seluruh anggota keluargaku untuk berbicara denganku karena itu adalah bahasa komunikasi utama di dalam keluarga kami sehari-hari. Selanjutnya, sebagai orang Manggarai, keluargaku juga memakai bahasa Manggarai dalam percakapan sehari-hari di dalam maupun di luar rumah, walaupun tidak sesering menggunakan bahasa Indonesia. Dengan begitu, bahasa Manggarai juga menjadi bagian dari masa kecilku, menjadi bahasaku. Sebagai tambahan, sejak masih bayi ibuku juga mengajarkanku bahasa Inggris. Ia memperkenalkan doa-doa, nyanyian, kosa kata, percakapan, bacaan, dongeng dan bahkan tata bahasa Inggris jauh sebelum aku masuk sekolah. Ia selalu menyuruhku mengarang atau bercerita dalam bahasa Inggris khususnya sebagai hukuman jika aku melakukan kesalahan. Dengan demikian, ketiga bahasa itu—Indonesia, Manggarai dan Inggris—menjadi bagian dari bahasa komunikasi keseharian masa kecilku dengan tingkat kemahiran yang berbeda.

Bahasa Indonesia, tentu saja, berada pada tingkat kemahiran nomor satu dan menjadi bahasa ibuku. Mengapa demikian? Sederhana saja. Bagi seorang anak kecil bahasa bukanlah pilihan tetapi pemberian. Karena keluargaku berbahasa Indonesia, maka otomatis aku juga demikian. Namun, mengapa keluargaku yang merupakan orang Manggarai menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan bukannya bahasa Manggarai, alasannya tidaklah sederhana.

Dulu, sebelum semua pengaruh asing di luar Manggarai masuk ke tanah kami, orang-orang Manggarai yang hidup di kampung-kampung hanya mengenal bahasa Manggarai saja dengan beberapa dialek yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Lalu pada abad ke-16 hingga abad ke-19, orang-orang dari Bima-Sumbawa dan Gowa-Makassar datang menguasai wilayah ini. Maka terjadilah perjumpaan bahasa yang menyebabkan banyak kata dalam bahasa Manggarai lahir dari kedua bahasa “asing” tersebut. Diperkirakan pula bahasa Melayu juga sudah mulai dipakai secara terbatas sejak masa itu karena bahasa tersebut sudah lebih dahulu dikenal oleh orang Bima dan Gowa. Namun, karena pengaruh kedua kesultanan terbatas pada beberapa kelompok, wilayah dan waktu tertentu saja, maka penggunaan bahasa “asing”—Bima, Gowa, Melayu—sangat terbatas pula. Masyarakat masih menggunakan bahasa daerah Manggarai dengan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya.

Pada tahun 1907, Belanda secara resmi menduduki Manggarai. Sejak itu pula bahasa Belanda diperkenalkan kepada orang Manggarai. Kehadiran Belanda diikuti pula oleh misionaris Katolik yang mulai memperkenalkan sekolah untuk pertama kalinya kepada orang Manggarai pada tahun 1920. Karena misionaris yang datang berbahasa Belanda, maka, pada awalnya bahasa Belandalah yang dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah. Dalam perkembangan kemudian, bahasa Melayu (bahasa Indonesia) juga mulai dipakai di sekolah-sekolah. Di zaman kemerdekaan, tentu saja, bahasa Indonesialah yang menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Sejak saat itulah pemakaian bahasa Indonesia semakin meluas bagi orang Manggarai.

Ironisnya adalah sejak adanya lembaga pendidikan (sekolah) dan pemerintahan negara, bahasa daerah Manggarai mulai tersingkir dan terpinggirkan. Sekolah dan negara tidak memberi ruang bagi penggunaan dan perkembangannya. Malahan cenderung merendahkan bahasa daerah. Tidak ada mata pelajaran khusus mengenai bahasa Manggarai. Tidak ada buku sumber tertulis dalam bahasa Manggarai. Setiap anak diberanikan untuk berbahasa Indonesia dan bukan bahasa daerah (Manggarai). Ada pula guru yang merendahkan dan menyiksa murid jika mereka berbicara bahasa Manggarai di kelas.

Hal ini membawa dampak buruk baik bagi bahasa Manggarai itu sendiri maupun bagi para penggunanya. Bagi bahasa, monopoli penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia sekolah telah menyebabkan bahasa daerah dianggap kurang penting, tidak bernilai pendidikan dan berkedudukan lebih rendah. Bagi para penggunanya, kemahiran dalam penggunaan bahasa Indonesia telah memposisikan seseorang lebih baik, lebih pintar, lebih tinggi dan lebih hebat dari pengguna bahasa daerah. Hal ini sangat jelas dari pengalaman masa kecilku, entah di sekolah maupun di luar sekolah. Karena kebetulan aku dilahirkan di dalam keluarga berpendidikan dan tinggal di kota, ada suatu perasaaan lebih baik dan unggul hanya karena aku menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Kalau sepupu aku dari kampung berkunjung ke rumah kami, orangtua mereka dari kampung akan dengan mudah mengatakan bahwa anak mereka bodoh dan tidak bisa berbicara hanya karena anak tersebut tidak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga di sekolah, anak-anak yang berasal dari keluarga petani sederhana yang kesehariannya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi seringkali menjadi bulan-bulanan kemarahan guru, khususnya dengan cap bodoh, sekali lagi karena mereka tidak mengekspresikan kepandaian mereka dalam bahasa Indonesia. Apakah memang bahasa Indonesia dilahirkan untuk mendiskriminasi anak-anak kandung Indonesia sendiri? Apakah itu maksud tokoh pemuda mempromosikan “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia” pada tahun 1928?

Sentralisasi dalam bidang pendidikan, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama (buku, pengajaran, ujian, teks, dll) telah melahirkan anak Indonesia yang menganggap kekayaan bahasa lokalnya sebagai hal yang memalukan dan tidak bernilai. Kebijakan ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai yang dominan, menyingkirkan yang kecil dan lemah. Maka tidak heran jika sudah banyak bahasa daerah di Indonesia yang punah atau tidak lagi dikenal atau dipergunakan secara fasih oleh anak cucu pemilik bahasa itu sendiri. Barangkali ini merupakan salah kaprah terhadap nilai dan semangat perjuangan “berbahasa satu” di masa lampau.

Selanjutnya, kembali ke tingkat kemahiran berbahasaku. Setelah bahasa Indonesia, bahasa Inggris menduduki urutan kemahiran kedua. Karena bahasa ini telah diajarkan kepada aku sejak bayi, pada mulanya, aku tidak merasa bahasa ini adalah bahasa asing. Barulah lambat laun aku sadar, aku sedang dididik secara “aneh” atau “berbeda” oleh ibu. Pernah ketika hari pertama memasuki Taman Kanak-kanak, aku cukup terkejut karena tidak ada ibu guruku yang menggunakan bahasa ini di sekolah. Lalu, aku sampaikan pada ibuku bahwa aku tidak mau lagi berbahasa Inggris. Ibuku kelihatannya tidak setuju. Ia tetap saja memperkenalkan kosa kata dan berbicara bahasa itu kepadaku di samping bahasa Indonesia dan Manggarai tentunya. Bagaimanapun, ibuku telah terpengaruh oleh cara berpikir umum yang melihat bahasa asing jauh lebih berguna dari bahasa daerah. Ibuku juga mewakili pemikiran “modern” yang menerima bahwa dalam persaingan global seseorang harus bisa menguasai bahasa asing. Ia juga bagian dari orangtua yang menginginkan anaknya lebih maju. Kelak, pada waktunya, aku tahu ibuku ada benarnya; setidaknya di sekolah aku tidak mengalami kesulitan belajar bahasa Inggris. Lebih dari itu, keberanian untuk belajar bahasa asing tersebut juga mempunyai andil dalam sebagian perjalanan hidupku selanjutnya.

Selanjutnya, bahasa daerah Manggarailah yang berada pada posisi kemahiran paling akhir. Aku bahkan ragu untuk mengatakan “mahir” karena sebenarnya tidak banyak kosa kata bahasa tersebut yang kuketahui. Kendatipun aku bisa berkomunikasi dengan teman-teman dalam bahasa tersebut, namun umumnya kosa kata kugunakan terbatas, informal dan bercampur dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena keluarga kami umumnya menggunakan bahasa Manggarai sebagai “selingan” bahasa Indonesia saja, khususnya untuk mengungkapkan ekspresi yang hanya enak jika diungkapkan dengan bahasa daerah. Bahasa Manggarai tidak menjadi pilihan penting. Bahasa Manggarai juga hanya dipakai untuk berbicara dengan tetangga-tetangga, lebih-lebih dengan mereka yang kurang berpendidikan. Selanjutnya, yang paling jelas ialah keluargaku selalu berbahasa Manggarai dengan anggota keluarga kami yang tinggal di kampung. Kampung yang aku maksudkan menunjuk pada dua hal yaitu wilayah asal muasal keluarga kami dan kampung yang “dilawankan” dengan “kota”. Jadi, bahasa Indonesia identik dengan kota dan bahasa Manggarai diasosiasikan dengan kampung dan kampungan. Maka, di sini yang terjadi adalah bahasa memperlihatkan perbedaan: antara anak yang tinggal di kota dan di desa; antara orang berpendidikan dan tidak berpendidikan; antara anak pegawai/pengusaha (kelas menengah) dengan anak petani (anak kampung). Aneh tetapi nyata!

Pendidikan di daerahku kurang memberi apresiasi pada bahasa Manggarai. Tidak ada pelajaran bahasa Manggarai dalam kurikulum sekolah kami. Karena itu, sahabat-sahabatku yang cukup fasih berbahasa Manggarai sepertinya tidak punya peluang untuk memperlihatkan diri sebagai anak yang cerdas dan pandai dalam berbahasa. Kecerdasan seolah-olah monopoli mereka yang berbahasa Indonesia. Kecerdasan harus diungkapkan secara seragam. Memang, dulu kami mempunyai semacam pelajaran budaya daerah, namun, bukan bahasa Manggarai yang kami pelajari, tetapi hanya beberapa bagian kecil dari budaya Manggarai. Bahasa Manggarai tidak berarti di dalam dunia pendidikan lokalku.

Satu hal yang menarik mengenai pemakaian bahasa Manggarai di dalam keluarga dan lingkunganku adalah ketika masyarakat melakukan upacara adat mereka selalu menggunakan bahasa Manggarai. Walaupun dalam penggunaan sehari-hari bahasa Manggarai cenderung dianggap milik kelas bawah, orang kampung, dan tidak berpendidikan, ternyata bahasa ini seperti bahasa “para dewa”, bahasa komunikasi dengan lelulur, dengan roh-roh, dan dengan Yang Maha Kuasa. Luar biasa. Sayang sekali aku tidak bisa menggunakan bahasa “para dewa” tersebut. Begitulah, ketiga bahasa itu (Indonesia, Inggris, Manggarai) menjadi bagian dari kehidupan di masa kanak-kanakku.

Setamat Sekolah Dasar di Manggarai-NTT, aku mengikuti ibu yang meneruskan pendidikannya di Yogyakarta. Aku tidak hanya pindah ke dalam kehidupan dan budaya baru, tetapi juga ke dalam bahasa baru. Sebenarnya, untuk hidup di Jawa, sebagai orang Indonesia, aku tidak mengalami kesulitan apapun karena bahasa Indonesia adalah bahasa utama komunikasi. Kesulitan yang kuhadapi justru di sekolah khususnya pada saat pelajaran bahasa Jawa. Setahuku, hampir semua sekolah di Yogyakarta membuat pelajaran bahasa Jawa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Ini berbeda dengan pengalamanku di Manggarai. Orang Jawa memberi penghargaan dan perhatian yang tinggi agar bahasa Jawa tidak punah dan dapat dipelajari secara sistematis oleh generasi muda. Suatu usaha yang patut diacungkan jempol dan perlu pula diperhatikan oleh daerah lain di Indonesia.

Meski demikian, pelajaran bahasa Jawa nampaknya bukanlah pelajaran favorit para siswa, bukan pula pelajaran yang dianggap perlu dipelajari sedalam-dalamnya. Setidaknya hal ini aku pelajari dari pengalamanku. Sebagai siswa, apalagi dari luar Jawa, aku sangat takut kalau tidak lulus di sekolah. Karena itu ada niat di dalam diriku untuk les privat atau kursus bahasa tersebut. Namun, aku sangat kecewa karena ternyata kursus bahasa Jawa sama sekali “tidak laku” bagi pelajar di Jawa. Tidak ada tempat bimbingan belajar menawarkan mata pelajaran ini. Belum pernah pula aku mendengarkan guru mengiklankan diri menerima privat bahasa Jawa.

Bagaimanapun, ketiadaan itu bukannya tanpa alasan. Alasannyapun tidak sekedar pada guru atau lembaga bimbingan belajar yang tidak menawarkan bimbingan itu, tetapi alasan yang rumit, seperti halnya mengapa bahasa Manggarai, bahasa daerahku, tidak dimasukkan di dalam kurikulum sekolah. Sistem pendidikan dan tuntutan dunia yang lebih luas telah meminggirkan bahasa daerah, menyebabkan ia menjadi anak tiri di dalam rumahnya sendiri. Kemampuan berbahasa daerah sama sekali tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penguasaan mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Bahasa Jawa tidaklah penting untuk dapat lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Begitulah aku melihatnya. Maka, jangan heran pula, banyak temanku orang Jawa bukan hanya tidak mahir dengan bahasa mereka sendiri tetapi juga kurang menganggap bahasa ini penting. Aku sendiri merasa beruntung karena bisa menamatkan Sekolah Menengah Pertama tanpa pernah mengikuti remedi bahasa Jawa. Hanya ada beberapa teman saja yang tertarik dengan kekayaan lokal negerinya sendiri. Malahan, justru cukup banyak orang asing yang kini lebih mahir berbahasa Jawa. Banggakah bangsa Indonesia dengan hal ini? Inikah maksud semangat “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”?

Setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Hal itulah yang membawa aku pindah ke negeri tempat di mana aku berdiam dan belajar sekarang ini. Perpindahan ini kembali membawa perubahan berkaitan dengan bahasa. Kali ini, perubahannya lebih besar karena bahasa-bahasa negeriku menjadi kurang bahkan tidak penting sama sekali di negeri ini. Namun, apakah itu berarti bahwa bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah mati dan tidak berarti lagi di dalam diriku?

Aku harus akui bahwa bahasa Manggarai mungkin sudah hampir mati. Semua ini tentu tidak lepas dari masa laluku yang kurang mendukung untuk mencintai bahasa daerah tersebut sehingga menjadikanku tidak mahir dengan bahasa nenek moyangku sendiri. Aku adalah anak Manggarai tetapi hampir tidak bisa lagi berbahasa Manggarai. Bahasa Jawapun hampir mati di dalam diriku. Namun, sejujurnya aku kurang menyesali hal ini. Barangkali karena bahasa ini belum benar-benar menjadi bagian dari jiwaku, bukan bagian dari akar budaya asliku.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Indonesia? Sebenarnya, karena bahasa Indonesia adalah bahasa ibuku (mother tounge) maka bahasa ini barangkali tidak akan pernah mati dalam jiwa, darah, dan hidupku. Kendati belajar di luar negeri, bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa yang paling nyaman dipakai untuk mengungkapkan berbagai perasaan. Bahkan, mimpi-mimpikupun masih dihiasi dengan bahasa Indonesia. Berbicara dengan teman sesama Indonesia, menelepon keluarga, berdoa, dan sebagainya, semuanya terasa lebih indah, mantap dan enak dalam bahasa Indonesia. Kendati demikian, hidup di negeri orang mengharuskan aku untuk terus mengasah kemahiran berbahasa mereka. Maka, bisa saja secara alamiah, kemahiranku dalam berbahasa Indonesia akan tergeser pula.

Inilah aku dan pengalaman kebahasaanku. Pengalaman serupa mungkin juga dirasakan orang lain. Lantas untuk apa aku menulisnya? Selain karena cintaku pada bahasa dan negeri Indonesia, melalui tulisan berbahasa Indonesia ini, aku ingin menyampaikan beberapa harapan. Pertama, semoga jangan ada lagi bahasa daerah yang disingkirkan oleh kebijakan yang terlalu sentralistis, yang kurang memberi ruang bagi keragaman dan kekayaan daerah. Mengapa banyak anak lain yang tidak lagi mahir berbicara dalam bahasa daerah mereka sendiri? Bukankah bahasa daerah yang begitu banyak di Indonesia justru membuat Indonesia kaya dan hebat? Semoga kita tidak membuat bahasa Indonesia, apalagi bahasa asing, sebagai penyingkir kebudayaan lokal. Semoga negara umumnya, dan dunia pendidikan khususnya membuka kesadaran akan pentingnya mempromosikan penggunaan bahasa daerah agar anak negeri tidak asing di wilayahnya sendiri. Lebih dari itu, perhatian pada bahasa-bahasa daerah dapat pula membuka peluang bagi perhatian pada kemajuan dan kemakmuran daerah-daerah secara lebih luas, dengan demikian kesan bahwa ada wilayah yang tertinggal, tidak diperhatikan, atau dianaktirikan oleh pemerintah pusat juga dapat hilang.

Kedua, untuk menghadapi persaingan global, dewasa ini orang Indonesia berlomba-lomba untuk mempelajari bermacam-macam bahasa asing. Di samping bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib, cukup banyak sekolah menawarkan pelajaran bahasa asing lain seperti Mandarin, Jepang, Perancis, Jerman, Belanda, dan Korea. Berbagai lembaga bimbingan belajar juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Banyak orang percaya bahwa kemampuan memakai bahasa-bahasa asing tersebut menguntungkan mereka untuk hidup di zaman ini. Menariknya, mengapa bahasa-bahasa tersebut yang biasanya dipelajari? Menurut aku, salah satu alasannya adalah karena daya tarik dari negara-negara pengguna bahasa-bahasa tersebut. Semakin suatu negara atau bangsa dianggap lebih hebat, maju, bermutu, makmur dari negara lainnya, bahasanya juga semkin menjadi daya pikat bagi negara lain untuk mempelajarinya. Dengan kata lain, keadaan negara mempengaruhi orang asing untuk belajar mengenai bahasa dari suatu negara. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, apakah masyarakat dan pelajar di negara lain juga antusias mempelajari bahasa Indonesia? Aku berpendapat, jika negara Indonesia terus berjuang untuk menjadi negara yang baik, makmur, adil, sejahtera, dan bermutu, maka dengan sendirinya orang-orang bangsa lain akan tertarik juga untuk belajar bahasa Indonesia. Maka relevansi bulan bahasa dapatlah diperluas: bagaimana caranya agar kita bisa membangun negara yang lebih baik.

Ketiga, harus diakui bahwa bagi orang Indonesia yang memiliki aneka bahasa daerah, memang sangatlah penting untuk memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa yang mempersatukan semua warga sehingga tidak ada lagi diskriminasi, tidak ada permusuhan, dan pertentangan dalam keragaman seperti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, dalam refleksi aku, bahasa tidak sekedar urusan linguistik atau literatur saja, tetapi bahasa yang benar-benar bermakna untuk semua orang Indonesia. Bahasa yang menyampaikan pesan penting kepada seluruh warga negara. Sebagai contoh, semoga bahasa Indonesia membuat orang NTT bisa berbicara kepada segenap bangsa Indonesia bahwa masih banyak anak yang tidak bersekolah karena miskin, dan masih banyak ibu dan anak yang mati karena gizi buruk. Atau, bahasa yang membuat orang Madura menyuarakan agar jangan ada perpecahan dan konflik di wilayahnya. Atau, bahasa yang memungkinkan orang Sidoarjo bisa mengeluhkan mengenai penanganan lumpur yang belum tuntas. Atau, bahasa yang bisa mengkomunikasikan keluhan anak Papua yang menjerit miskin di negeri mereka yang kaya. Juga, bahasa yang memungkinkan TKI, pekerja, atau pelajar Indonesia di luar negeri bisa menyalurkan pengalaman buruk mereka kepada bangsa ini. Juga bahasa yang bisa menuntut para koruptor dihukum, dan sebagainya. Mungkin di sinilah baru bahasa Indonesia ada artinya bagi orang Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Aku cinta Indonesia, aku cinta bahasa Indonesia.



Oleh:

Nama : Maria Irene Inggrid

Nomor Paspor : A1344257

Alamat Sekolah : CHIJ Secondary (Toa Payoh), 626 Lorong 1 Toa Payoh Singapore 319764

Alamat Tinggal : Catholic Junior College Hostel, 127 Whitley Road Singapore 297821

Email : maria.inggrid@yahoo.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun