Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

SNMPTN Jalur Undangan, Antara Keadilan dan Mahalnya Biaya Pendidikan

3 Maret 2011   19:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06 21152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1299190115130310585

[caption id="attachment_94161" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] "Ah, saya lulus sekolah mau kerja aja, bu", celetuk beberapa murid kelas XII SMUN ketika mendapat penjelasan mengenai penutupan jalur mandiri penerimaan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan dan SNMPTN ujian tulis tahun akademik 2011/2012. Jawaban yang mungkin membuat kita terperangah heran. Tapi menelisik alasan mereka yang mengatakan tidak adanya biaya untuk kuliah mungkin membuat kita mafhum, walau sulit. Mengapa memilih SMUN apabila tidak bertujuan meneruskan sekolah ? Bukankah sebaiknya mereka memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ? Mungkinkah iklan layanan masyarakat mengenai SMK tidak cukup mengedukasi ? Atau mungkin mereka masih menaruh asa untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ? Mengingat mereka adalah siswa berprestasi. Seorang peserta didik yang ingin bersekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) harus mempunyai nilai Ujian Nasional (UN) rata-rata minimal 8,7 untuk klaster 3 dan 4. Sedangkan untuk klaster 1 yang dihuni SMUN favorit, seorang siswa harus mengantongi nilai UN rata-rata  minimal : 9,5. Cukup tinggi bukan ? Jadi bagaimana nasib peserta didik  yang lulus dengan nilai UN rata-rata : 8, atau lebih apes lagi "hanya" : 7 ?  Apa boleh buat, tidak ada tempat untuk mereka di SMUN, jadi silakan cari SMU swasta. Menyikapi fenomena anak-anak berpotensi tinggi yang gamang menentukan pilihan mungkin dengan diberlakukannya SNMPTN  jalur undangan sebetulnya sudah menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memberikan kesempatan pada calon mahasiswa yang berpotensi tetapi mengalami kendala biaya. Berbeda dengan SNMPTN terdahulu, SNMPTN jalur undangan mengharuskan Kepala Sekolah untuk aktif mendaftarkan muridnya secara online ke http://undangan.snmptn.ac.id. Dalam proses ini Kepala Sekolah mempertaruhkan nama baik sekolah karena siswa tidak mengikuti test masuk , cukup nilai rapor yang menunjukkan hasil belajar selama 5 semester. Kriteria  siswa yang berhak mendapat undangan tersebut adalah :

  • Semua siswa di kelas akselerasi untuk sekolah berakreditasi A
  • Termasuk 75 % terbaik di kelas untuk sekolah berakreditasi A ( RSBI)
  • Termasuk 50 % terbaik di kelas untuk sekolah berakreditasi A (regular)
  • Termasuk 25 % terbaik di kelas untuk sekolah berakreditasi B (regular)
  • Termasuk 10 % terbaik di kelas untuk sekolah berakreditasi C (regular)

Sebetulnya cukup mudah, syaratnya prestasi akademik seorang siswa harus konsisten  dari semester 1 hingga semester 5, maka bisa dipastikan dia akan mendapat undangan dari panitia SNMPTN jalur undangan. Tidak harus juara pertama, bahkan seorang siswa yang tidak pernah melorot dari rangking 20 di kelasnya yang berjumlah 40 siswa , bisa mengikuti SNMPTN jalur undangan untuk sekolah akreditasi A (regular). Tapi tentu saja kemungkinan  terpilih oleh panitia lebih kecil dibandingkan siswa yang konsisten di urutan 5 besar kelasnya. Siswa hanya harus mengisi formulir pendaftaran yang mengindikasikan pilihan PTN nya. Calon mahasiswa bisa memilih 2 PTN dan disetiap  PTN, dia bisa memilih 3 Prodi (Program Studi). Biaya formulir pendaftaranpun sama dengan SNMPTN terdahulu  yaitu Rp 175.000. Sesudahnya siswa hanya menunggu pengumuman tanggal 18 Mei 2011. Apakah dia diterima di salah satu prodi pilihannya atau gagal sama sekali karena dia mungkin memilih prodi yang terlalu banyak peminatnya. Bagaimana dengan biaya ? tidak bisa dinafikan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri memang mahal.  Institut Teknologi Bandung memperkirakan pembiayaan sekitar Rp 27 juta/mahasiswa/tahun atau sebesar Rp 108 juta apabila mahasiswa mampu menyelesaikan pendidikan dalam 4 tahun. Jumlah tersebut sudah termasuk BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar diMuka) sebesar Rp 55 juta dan Rp 80 juta khusus SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) Tapi ada pemberian  subsidi BPPM untuk siswa berpotensi yang diterima melalui  SNMPTN jalur undangan, besarnya bervariasi antara 25 %, 50 %, atau 75 %. Bahkan untuk Prodi tertentu (Astronomi, Meteorologi dan Oseanografi), ITB memberikan Beasiswa Minat berupa subsidi 100 %. ITB juga mempersiapkan subsidi 100 % subsidi BPPM dan BPPS (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan per Semester) bagi mahasiswa baru yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Kuotanya mencapai 20 % dari total mahasiswa yang akan diterima atau sekitar 650 orang, termasuk mahasiswa baru SBM Mahasiswa kurang mampu yang masuk dalam program  Bidik Misi pemerintah juga mendapat biaya hidup sekurang-kurangnya Rp 600 ribu/bulan  sesuai Indeks Harga Kemahalan sesuai lokasi Perguruan Tinggi Negeri tersebut. Contoh mahasiswa kurang  mampu adalah Cucun, anak buruh tani dari Cimenyan, kabupaten Bandung yang lolos USM terpusat 2010 dan mendapat beasiswa Bidik Misi. Cucun yang menjadi mahasiswi SITH, ITB mendapat kunjungan dari Menteri Pendidikan Nasional, Muhamad Nuh dan Rektor ITB, Prof. Akhmaloka  karena selain dia, kakaknya Rani juga menjadi mahasiswa jurusan Kimia, ITB  dan mendapat beasiswa dari suatu lembaga. Berbeda dengan  ITB yang menutup jalur mandiri, Universitas Indonesia sedari awal memang tidak membuka jalur mandiri. Tetapi menyelenggarakan  SIMAK UI yang tahun ini akan dimulai 3- 24 Juni 2011 UI mengklaim biaya pendidikannya lebih berazaskan keadilan. Komponen biaya pendidikan S1 Reguler terdiri  dari Biaya Operasional Pendidikan sebesar RP 100 ribu hingga maksimal Rp 5 juta (Prodi IPS) dan Rp 7,5 juta (Prodi IPA). Biaya lainnya yaitu Uang Pangkal yang besarannya nol rupiah, Rp 5 juta, Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (tergantung fakultasnya, termasuk disini fakultas kedokteran). Bagi mahasiswa yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan cicilan atau pengurangan uang pangkal. Pembanding lain adalah  Unpad yang menyelenggarakan SMUP Unpad dan mensyaratkan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan sebesar Rp 2 juta ditambah Dana Pengembangan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 12 juta (sastra daerah, sastra Perancis), Rp 57 juta (Ekonomi Akutansi berbahasa Inggris) hingga Rp 177 juta (Kedokteran). Bagaimana dengan Universitas Gajah Mada (UGM) ? UGM menyelenggarakan Penelusuran Bakat Swadana (PBS).  UGM mematok  Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) terendah Rp 10 juta (Filsafat), Rp 50 juta ( Ekonomi Akutansi /Ekonomi Manajemen) hingga Rp 100 juta (Kedokteran). Mungkin yang agak melegakan, UGM menyelenggarakan beasiswa Supersemar untuk 223 mahasiswa yang mendapat minimal Rp 150.000/bulan. Sedangkan subsidi Pemerintah berupa beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) untuk 2.645 mahasiswa sebesar Rp 350.000/bulan. Selain itu juga BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) untuk 500 mahasiswa sebesar Rp 350.000/bulan. Biaya pendidikan di ITB memang tertinggi , walaupun siswa lolos masuk ujian tulis SNMPTN tetap harus membayar BPPM Rp 55 juta dan BPPS Rp 5 juta persemester. Padahal dulu banyak siswa berharap lolos SNMPTN ujian tulis karena biayanya lebih murah, tetapi sekarang tidak lagi. Untuk menjernihkan kabar yang bersliweran, KM ITB, membuka forum diskusi  Masuk ITB itu, MURAH dan Masihkah ITB untuk semua ? .  Karena peraturan Mendiknas no.34 tahun 2010 ini diterbitkan terlalu mepet dengan waktu penerimaan mahasiswa baru. Sehingga kurang waktu untuk menyosialisasikannya. Dampaknya ?  Banyak pertanyaan dan keluhan. Selain itu tidak hanya PTN tetapi pihak SMU juga tidak siap. Hanya sekolah yang berfasilitas lengkap yang mampu mendaftarkan peserta didiknya tepat waktu. Menurut kabar terakhir dari data 17.000 SMU yang tersebar di Indonesia , baru  500 SMU yang mendaftarkan peserta didiknya ke panitia SNMPTN jalur undangan. Padahal kuota jalur undangan adalah 60 % sedangkan SNMPTN ujian tulis hanya mendapat kuota 40 % Dikhawatirkan pendekatan Permendiknas kali ini juga bersifat  trial and error,  walaupun isi Permendiknas kali ini sangat bagus. Mengutip tulisan Karissa Mayangsunda Philomela/Penkesma ITB ssebagai berikut : Kita tidak pernah tahu bahwa seseorang yang biasa-biasa saja dalam mengerjakan soal tes mungkin saja memiliki potensi yang sama atau bahkan lebih besar dari orang yang terampil dan lulus dalam mengerjakan soal tes karena telah terlatih dalam menghadapi soal-soal sejenis, mendapat support lebih besar dan memiliki waktu belajar yang lebih banyak. Sementara seorang yang lain mendapat pendidikan yang biasa-biasa saja -kalau tidak bisa dikatakan seadanya-, harus berusaha membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan jarang sekali menemukan soal sejenis itu. melalui jalur ini, kemendiknas mencoba bertindak lebih bijak dengan memberikan kesempatan melalui jalur undangan di mana para siswa dapat bersaing sesuai tingkatannya dengan mempertimbangkan prestasinya di SMA. Selain itu, dalam penyeleksiannya, diterima tidaknya mahasiswa melalui seleksi jalur undangan ini ditentukan oleh ITB dan bukan oleh Panitia Nasional. Dalam hal ini ITB bisa menggunakan kriteria tambahan lainnya disamping prestasi akademik, yang oleh ITB dianggap baik dan bermanfaat untuk masyarakat secara holistik, seperti pertimbangan kebutuhan daerah, kawasan tertinggal dll.nya.  (Hasanuddin Z. Abidin: 2010) Harus diakui beberapa tahun terakhir ini, hanya peserta didik  golongan menengah keatas yang  percaya diri mendaftar kuliah di PTN  karena mampu membayar biaya pendidikan. Mereka bahkan menyiapkan diri masuk PTN dengan tak segan mengeluarkan dana puluhan juta rupiah untuk kelas platinum di tempat Bimbingan Belajar. Padahal lulusan terbaik PTN adalah hasil proses belajar sekian tahun dan bukan karena hasil instan dari tempat Bimbingan Belajar yang semakin tahun keberadaannya semakin menjamur seolah tidak percaya akan hasil proses belajar mengajar di sekolah formal. Kita berharap Peraturan Mendiknas No 34 tahun 2010 dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya, sehingga akan lebih banyak lagi peserta didik dari Sabang hingga Merauke menjadi mahasiswa ITB , UI, Unpad, UGM dan Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Mahasiswa yang ketika lulus kembali ke daerahnya dan berjuang menyejahterakan dan membangun daerah berbekal ilmu yang dimilikinya. Bukankah sesuai pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945  : Pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang Mungkin sekaranglah waktunya, peserta didik dari Nusa Tenggara Timur dan Papua menjadi mahasiswa/i  yang wara -wiri  di kampus Salemba. Ganesha, Dipati Ukur, Jatinangor dan Bulak Sumur. Semoga .......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun