Mohon tunggu...
samsul arifin
samsul arifin Mohon Tunggu... -

Engineer, writer, religist, quranaholic, reader,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hikmah Terpetik dari Film "Sang Kiyai"

10 Juni 2013   09:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:16 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kemarin (09/06/2013) saya dan keluarga menyempatkan melihat film yang sedang banyak di ceritakan di kalangan santri NU khusunya, Sang Kiyai. Film ini menarik minat saya dan keluarga karena tentu saja kami sekeluarga adalah warga nahdhliyyin dan sekligus santri yang nyantren di beberapa pesantren NU.

Ada beberapa catatan, atau mungkin hikmah yang bisa saya sendiri petik setelah menyaksikan film ini.

Pertama, meski sama dalam hal menceritakan tokoh central ormas besar islam di Indonesia, perbedaan antara Sang Pencerah dengan Sang Kiyai adalah ada di setting waktunya. Kalau di Sang Pencerah, diceritakan dari KH. Achmad dachlan kecil, remaja sampai menuntut ilmu di timur tengah. Sedangkan di Film Sang Kiyai, yang diceritakan adalah saat Hadaratusysyaikh Hasyim Asy'ari sudah memimpin pesantren Tebu Ireng Jombang, sampai dengan beliau meninggal. Padahal kalau mau ditelusur, andai saja setting film dimulai dari masa beliau menuntut ilmu, akan lebih menginspirasi.

Kedua, disitu terlihat betapa tawadhu dan loyalitas santri kepada seorang ulama besar. Bahkan dengan bangganya mereka, bisa mendampingi sang kiyai, sampai perjuangan mereka membuahkan hasil dengan dibebaskannya sang kiyai. Juga budaya pesantren yang kental, terlihat ketika Harun memutuskan untuk keluar dari pesantren, maka dianggap sebagai pembangkangan, (oleh diri Harun sendiri). Padahal Sang Kiyai pun sebenarnya tetap saja legowo, dan mengetahui pergolakan batin santrinya. Si Harun juga sebenarnya masih memiliki rasa tawadhu kepada sang Kiyai, namun dia terlanjur malu dan tidak punya muka untuk menghadap sang Kiyai. Sampai akan bersalaman dan mencium tangan kiyai saja dia malu, dan hanya berani mencuri cium sorban sambil menangis (pada saat adegan ini saya sempat menitihkan airmata). Begitulah budaya luhur di Pesantren, masuk dengan permisi, maka selayaknya juga keluar harus dengan pamit. Meskipun ada permasalahan sekalipun, keluar tanpa restu kiyai adalah sesbuah pembangkangan yang besar, dan hanya akan memunculkan kegundahan santri tersebut di kemudian hari. Budaya ini tidak akan dimengerti oleh orang yang belum pernah mengalami hidup di pesantren salaf.

Ketiga, adalah budaya sami'na wa atho'na di pesantren yang cenderung sendiko dhawuh (ikut perintah) saja, kadang tanpa berfikir logis, pokonya ikut Pak Kiyai. Ini terlihat ketika si Harun memutuskan untuk berjuang dengan caranya sendiri, tidak dengan cara teman-temannya di pesantren. Secara logika, langkah Harun masuk akal, namun secara  cara pandang pesantren, Harun salah. Karena dalam prinsip para santri, Sang Kiyai lebuh tajam mata hatinya, tau yang nanti akan terjadi, berprediksi matang, tidak dengan emosional tapi strategis. Ini juga terlihat saat akhir film setelah peperangan, Harun baru tersadar, bahwa Kiyainya punya cara pandang yang jauh ke depan, melebihi cara pandang orang pada umumnya, apalagi sekelas santri seperti Harun. Hal ini juga yang masih banyak dipegang teguh warga nahdliyyin, ketika almarhum KH Abdurrahman Wachid mengambil keputusan yang nyleneh, mereka berpedoman bahwa otak kita belum sampai untuk memahami pemikiran Gusdur. Gusdur sudah berlari, kita masih berjalan, bahkan merangkak.

Ini hanya opini pribadi saya, dari sudut pandang anak pesantren udik di Jawa. Mungkin demikian juga pendapat para santri yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun