Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Teuku Umar: Pahlawan Sejati atau Oportunis Zaman Perang?

25 Juni 2011   15:05 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:55 5192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat liburan biasanya saya menyempatkan diri -- satu atau dua jam -- untuk mancing, bukan mencari ikan, tetapi sekedar menengok keluasan laut demi kesegaran pikiran. Tetapi awal Juni ini angin terlalu kencang sehingga mancing di sungaipun tidak nyaman, apalagi laut. Akhirnya motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”.

Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar. Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan.

Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya. Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya?

8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60). Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan.

Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan. Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal  JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang.

Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873. Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak.

Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika? Tidak!

Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah.  Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) -- menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129). Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh.

Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total. Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala.

Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya.

Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umar pun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan. Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun