Mohon tunggu...
Marganda H. Hutagalung
Marganda H. Hutagalung Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Partner di DARE Law Alliance dan Direktur Eksekutif TaktiKata Consulting

Seorang advokat yang juga suka menulis. Kunjungi situs kami di darelaw.co.id dan taktikata.com untuk berkonsultasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pikirkan Sejenak sebelum Mengagungkan Pahlawan

29 Juni 2016   00:52 Diperbarui: 29 Juni 2016   18:09 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: sportsdebatenetwork.com)

Di tahun 2045 nanti, kita mungkin tidak akan lagi menghargai pahlawan kita sebesar yang kita lakukan sekarang. Kesimpulan ini diutarakan dalam Skenario Indonesia 2045, sebuah prediksi futuristik buatan Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia (Lemhannas). Skenario ini menyatakan bahwa rasa hormat dan kebanggaan terhadap pahlawan nasional--dan kemauan untuk mengikuti jalan mereka--tidak akan lagi memotivasi pemuda Indonesia dalam menghadapi tantangan zamannya.

Keadaan ini tidak mesti berarti buruk. Mungkin ini adalah hasil dari kemajuan dalam berpikir kritis dan kebebasan untuk mendapatkan informasi. Semakin hari semakin banyak dari kita yang mempertanyakan norma. Kita semakin skeptis pula terhadap istilah 'pahlawan.' 

Dalam hal teknologi dan teknik investigasi kriminal, di masa sekarang kita telah mengalami banyak kemajuan. Hal-hal ini dulu sering dihambat oleh kekuasaan politik yang terpusat. Namun sekarang, penyebaran kekuatan antara partai-partai politik--yang menumbuhkan rivalitas politik--seakan mempersilakan penegak hukum untuk menyasar siapapun. Akibatnya, siapapun yang memiliki skandal akan segera muncul ke permukaan, tidak peduli seberapa terhormat dan mulia posisinya.

Jangan pula lupa apa artinya 'kebebasan' untuk media massa dan media sosial. Kebebasan memberi mereka keleluasaan untuk mencelupkan diri dalam setiap urusan. Berkat internet, setiap kegiatan memalukan yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dapat tersebar dalam hitungan detik. Seorang legislator akan mengalami kesulitan pada saat ingin menyembunyikan perselingkuhannya ataupun rasa kantuknya ditengah sidang parlemen.

Ini memicu sebuah pertanyaan: bagaimana jika para pahlawan masa lalu hidup diantara kita saat ini? Apa yang akan kita temukan saat meneliti kehidupan mereka dengan teknologi dan kebebasan yang sekarang kita punya? Skandal apa yang akan terungkap? Atau akankah mereka dapat tetap terhormat?

Selain bertambahnya kemampuan untuk mendeteksi kesalahan tokoh masyarakat, moralitas kita juga telah berevolusi. Kesalahan yang kita maklumi di masa lalu tidak lagi ditolerir hari ini.

Di Bab 28 dalam buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kita dapat melihat kisah A.K. Gani, seorang menteri di Indonesia pada awal masa kemerdekaan, yang kebetulan sering menyelundupkan banyak emas, perak dan karet. Apa yang ia lakukan mungkin tidak dicerca pada masa itu--kontribusinya semasa perjuangan bahkan memberinya gelar pahlawan nasional. Namun, menteri manapun di Indonesia pada hari ini sama saja melakukan bunuh diri (secara politis) bila ia berani menyelundupkan apapun. Tentu wajar bila pada poin ini anda mulai mempertanyakan pantas atau tidaknya menjadikan pahlawan nasional sebagai sumber utama moralitas.

Jelas beresiko bila kita terlalu mengidolakan pahlawan kita (perhatikan kata 'terlalu'). Mungkin banyak detil yang tidak kita ketahui tentang kehidupan mereka. Mereka juga mungkin telah melakukan hal-hal yang tidak etis bila diukur dengan standar saat ini.

Tentu saja, sejauh bukti-bukti mendukung, kita selayakya menghargai dan menghormati pengorbanan yang telah diberikan oleh para pahlawan ini. Kita tidak boleh lupa bahwa kebebasan yang kita nikmati hari ini adalah buah dari perjuangan mereka. Namun, itu tidak berarti bahwa kita harus mengorbankan sikap skeptis dalam memutuskan siapa yang kita hormati (dan hal-hal yang patut dihormati dari mereka) berdasarkan bukti, sembari menahan godaan untuk mengklaim bahwa kita mengetahui hal-hal yang sebenarnya tidak kita ketahui.

Mari kita kembali ke prediksi Lemhannas. Prediksinya secara umum menyamakan pudarnya kebanggaan terhadap para pahlawan sebagai gejala pudarnya patriotisme. Ini tidak benar. Kedua hal tersebut tidak selalu berhubungan.

Kemauan para pemuda mengalahkan setiap tantangan hidupnya bisa saja berakar dari alasan-alasan lain, misalnya keinginan untuk mempertahankan kebebasan yang mereka nikmati sehari-hari ataupun untuk menjaga orang-orang yang mereka sayangi. Ini patriotis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun