Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Istri

25 November 2018   21:32 Diperbarui: 25 November 2018   22:11 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[Bagian 1 ]

PERNIKAHAN aku dan Mas Rama berakhir lancar meskipun sempat kukhawatirkan karena Mas Rama duduk di pelaminan tanpa didampingi kedua orang tuanya karena tak menyetujui perkawinan kami. Kupuji keberanian Om Panji dan Tante Rini yang mau menggantikan peran ayah mertuaku, Om Krisno dan ibu mertuaku, Tante Tantri, yang tetap menentang perkawinan kami dan membiarkan Mas Rama duduk di pelaminan sendirian. Om Panji dan Tante Rini berinisiatif menjadi 'orang tua' dari mempelai pria pada hari sakral itu.

Setelah pesta pernikahan itu, aku dan Mas Rama tinggal di paviliun di samping rumah utama mertuaku selama sepekan. Mama dan Papa, kusebut saja begitu untuk kedua mertuaku, tak mengizinkan kami tinggal pada atap yang sama. Aku memanfaatkan sikap mertuaku dengan sebaik-baiknya. Kami bisa bebas berbulan madu tanpa ada gangguan dari siapa pun. Mas Rama mendapat cuti selama dua pekan dan kami benar-benar menikmati masa-masa indah sebagai sepasang suami istri.

Selama sepekan itu, Mas Rama hanya sesekali meninggalkanku sendirian di rumah untuk mengurus segala tetek-bengek kepindahan kami ke rumah yang dibeli Mas Rama untuk kami tempati.

Sesekali aku juga ikut untuk menata rumah di pinggiran kota. Bagaimanapun aku kadang merasa tak nyaman ditinggal sendirian di rumah. Karena terlalu sering menyaksikan sinetron di televisi kadang aku jadi punya pikiran-pikiran aneh seperti ibu mertuaku diam-diam menyuruh seseorang untuk menyakitiku atau bahkan membunuhku. Atau menyuruh seseorang menyelinap masuk ke dalam rumah dan menaburkan racun pada minuman atau makananku.

Meskipun sebal dengan Mama dan Papa, bisa kupahami sikap mereka. Aku, Ririen, bukan siapa-siapa. Meskipun di mata Tuhan manusia sama, aku tidak dilahirkan dari keluarga yang dianggap terhormat baik karena kedudukan maupun karena harta benda. Ayahku pernah jadi seorang pedagang kelontong dan kini sakit-sakitan. Ibuku seorang suster di sebuah rumah sakit. Kami tidak hidup dalam gelimang harta, meski juga tidak pernah kekurangan.

Di sisi lain, ayah dan ibu Mas Rama dapat dimasukkan dalam keluarga terhormat. Pak Krisno, ayah mertuaku, memiliki sejumlah perusahaan cukup besar. Ibu Tantri, ibu mertuaku, juga pebisnis dengan sejumlah butik miliknya. Tak aneh jika mereka bisa menyekolahkan Mas Rama hingga keluar negeri.

Aku dan Mas Rama berpacaran sejak kami bersekolah di sebuah SMA yang sama. Namun, begitu lulus SMA, Mas Rama yang dilarang berhubungan denganku, segera disekolahkan kedua orang tuanya di luar negeri, sementara aku cukup melanjutkan kuliah di dalam negeri. 

Namun, kuliahku jadi berantakan setelah kios kelontong milik ayahku kebakaran hebat bersamaan dengan kios-kios lain di pasar Tanah Abang. Ayah memutuskan aku, Ririen yang anak perempuan, berhenti kuliah demi dua adikku laki-laki. Aku sempat marah oleh sikap tidak adil ayah, tapi ibu berhasil memberikan pengertian kepadaku.

Setelah berhenti kuliah, kusibukkan diriku dengan melanjutkan latihan karate dan sedikit-sedikit mengajar karateka-karateka muda. Kebetulan Sempai Adnan, seniorku, menawarkan kepadaku untuk membantunya melatih di perguruan karatenya.

Cinta kami, aku dan Mas Rama, bersemi kembali setelah pertemuan kami di Bandara Soekarno-Hatta di suatu senja ketika aku kebetulan menjemput salah satu murid kami yang baru bertanding di Samarinda. Sambil memeluk Adila, karateka putri kami yang merebut medali emas dalam Kejuaraan Nasional di Samarinda, aku melihat sosok Mas Rama sekelebatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun