[caption id="" align="alignnone" width="401" caption="Pancasila"][/caption]
“ Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah yang berujung dengan tewasnya tiga orang di Cekeusik Pandeglang Banten, Minggu (6/2) adalah kasus yang di rekayasa  untuk kepentingan tertentu. Banyak kejanggalan yang menunjukan peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah tetapi seperti sengaja dibiarkan meletup “.
Demikian berita head line Koran Kompas Jumat (11/2/2011) yang membuat kita terkejut, terkesima dan kemudian meneteskan air mata. Aksi kekerasan massa yang mengatasnamakan agama dan telah menimbulkan korban jiwa dan harta, sesungguhnya hanya sebuah rekayasa ?.
Seirama dengan Koran Kompas, Media Indonesia pada hari yang sama juga memberitakan bahwa aksi kekerasan massa mengatasnamakan agama di Cekeusik Banten merupakan rekayasa belaka. Selanjutnya, masih menurut Media Indonesia, tujuan rekayasa ini adalah untuk mengalihkan issu kebohongan yang dilontarkan tokoh lintas agama beberapa waktu yang lalu. Isu itu telah membuat gerah penguasa dan bisa berkembang menjadi konflik vertikal, sehingga dicoba dialihkan menjadi konflik horizontal. Menyimak pertanyaan – pertanyaan anggota komisi VIII dalam Rapat Kerja antara Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama RI dan Kapolri pada Rabu (9/2) malam, dengan agenda pembahasan mengenai tindak kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,  maka beberapa pertanyaan tersebut terarah kepada kecurigaan bahwa tindak kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cekeusih adalah kasus yang direkayasa. Ada anggota Komisi VIII yang mempertanyakan sikap aparat keamanan yang terkesan membiarkan terjadinya aksi kekerasan massa di Cekeusik dan mempertanyakan bagaimana dalam waktu singkat orang membludak, padahal Cekeusik adalah perkampungan yang sepi. Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menjurus kea rah kecurigaan dan praduga .
Rekayasa kasus untuk pengalihan isu sungguh sangat menyakitkan, apalagi bagi warga yang menjadi korban. Rekayasa kasus yang menyulut menguatnya sentimen SARA adalah pilihan yang tidak bertanggungjawab karena dapat memudarkan rasa kebangsaan dan merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Konflik berbau SARA dapat menurunkan nasionalisme di dalam masyarakat, apalagi dalam era globalisasi ini dimana nilai-nilai global hampir mengaburkan nilai-nilai ideologis bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila telah mengamanatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa semua warga negara harus saling menghormati antar pemeluk agama dan harus menghormati antar umat beragama. Bila kasus kekerasan massa di Cekeusik benar merupakan  kasus yang direkayasa, hal ini berarti merusak nilai-nilai Pancasila untuk menghindarkan  suatu situasi yang tidak diinginkan.Betapa tragisnya !
Indonesia negara pluralistik yang rawan konflik, oleh karena itu, penting menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan Pancasila perlu kembali dilakukan. Apalagi dalam kondisi kekinian, dimana masyarakat kita sedang mengalami disorientasi nilai. terapung -apung dalam gelombang ketidakpastian hidup, tercerabut dari akar budayanya dan gugup memasuki budaya globalisasi . Dalam kondisi ini, nilai-nilai Pancasila harus kembali menjadi pegangan.