Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Polemik Freeport: Buah Simalakama Pemerintah

19 Februari 2017   06:41 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:59 4926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangkauan koneksi Freeport McMoran (Sumber: Annual Report Freeport McMoran 2010).

Seperti yang kita ketahui, perpanjangan kontrak Freeport yang diajukan sejak tahun 2015 lalu menuai pro dan kontra. Masyarakat Indonesia (termasuk saya) dibuat bingung karena tidak mengetahui secara detail mengenai bagaimana sebenarnya pokok masalah dari Perpanjangan Freeport, lalu kemana masalah ini akan dibawa. 

Menarik ketika kemarin lusa, tepatnya tanggal 17 Februari 2017, mantan staf khusus Kementerian ESDM 2014-2016, Bapak Muhammad Said Didu memberikan penjelasan (kultwit) selama kurang lebih 4 jam di akun Twitter pribadinya untuk menjelaskan persoalan Freeport yang bak buah simalakama bagi Pemerintah. Twitter tersebut ditandai dengan hashtag simalakama (#simalakama). Penjelasan dari Bapak Muhammad Said Didu terangkum dalam 100 tweet berhashtag #simalakama yang menjelaskan duduk perkara Freeport dan memberikan kita informasi yang sebelumnya terpencar-pencar dan tidak digambarkan secara utuh.

Disini saya akan mencoba menulis polemik Freeport berdasarkan tweet dari Bapak Muhammad Said Didu pada 17 Februari 2017 dengan sedikit perubahan redaksi supaya lebih nyaman dibaca serta memperjelas beberapa poin yang dibahas secara singkat dalam kultwit tersebut. Subjektivitas penulis pasti ada dalam proses perubahan redaksi, namun saya akan berusaha menyampaikannya dengan seobjektif mungkin.

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Kebijakan tentang Freeport hampir selalu menjadi polemik (masalah) bahkan menjadi topik pembahasan politik tingkat tinggi. Salah satu puncak pembahasan mengenai Freeport adalah kasus anggota DPR yang diduga meminta 20 persen saham perseroan dan meminta jatah 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka Papua via telepon, yang dikenal dengan kasus #papamintasaham pada tahun 2016. Kasus ini hanyalah bagian dari beberapa pihak yang selama ini sudah menjadi "benalu" di Perusahaan Freeport McMoran.

Tidak sedikit supplier di Freeport McMoran yang sebenarnya dipegang atau diatur oleh tokoh-tokoh besar dan kuat di negeri ini, baik dalam hal pengadaan bahan bakar, bahan peledak, batu bara, penyediaan pasokan makanan, maupun alat-alat penunjang. Seperti kita ketahui bahwa perpanjangan kontrak Freeport McMoran selalu menjadi masalah krusial yang dihadapi oleh Pemerintah. Siapapun Pemerintahan yang sedang menjabat, saat tiba waktu perpanjangan kontrak, selalu akan menghadapi dilema yang membutuhkan ketegasan seorang pemimpin. 

Pada masa pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah sudah mendapatkan masalah terkait izin ekspor konsentrat karena menurut UU Minerba, Freeport dilarang melakukan ekspor konsentrat. Saat ini, ketika pemerintahan Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla,  selain masalah izin ekspor konsentrat, muncul pula masalah perpanjangan kontrak.  Walaupun sebenarnya kontrak perusahaan Freeport McMoran baru akan selesai pada tahun 2021, tapi pihak Freeport meminta kepastian perpanjangan kontrak sejak tahun 2015. Permintaan itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mendapatkan kepastian investasi tambang bawah tanah dan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di wilayah PT. Petrokimia Gresik, Jawa Timur.

Ada dua simalakama yang dihadapi Pemerintah saat itu, yaitu : 1) Perpanjangan Kontrak vs Peraturan Pemerintah dan 2) Perpanjangan Kontrak vs Investasi. 

Simalakama pertama, jika sesuai dengan Kontrak Karya, Freeport sebenarnya dapat meminta perpanjangan kontrak kapan pun, sampai tahun 2041. Sementara PP Nomor 77 tahun 2014 (bukan Undang-Undang) menyatakan bahwa permohonan perpanjangan kontrak, hanya bisa dilakukan 2 tahun sebelum masa kontrak habis. Artinya jika mematuhi PP tersebut, PT. Freeport McMoran baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada tahun 2019. PP ini mengatur "perpanjangan kontrak" bukan "kontrak". Hal ini berlawanan dengan yang tertulis dalam Kontrak Freeport, yang menyatakan bahwa kapanpun PT. Freeport bisa meminta perpanjangan, dan Pemerintah tidak bisa menghalangi perpanjangan tanpa alasan. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa jika dihalangi, maka pihak Freeport dapat mengajukan masalah ini ke Arbitrase Internasional. Perlu diketahui bahwa Kontrak Freeport dengan Pemerintah sangat kuat karena adanya persetujuan DPR, sehingga seakan-akan setara kedudukannya dengan Undang-Undang.

Simalakama kedua, jika tidak diberikan kepastian perpanjangan kontak pada tahun 2015, maka investasi dengan PT. Freeport McMoran tidak bisa dilanjutkan. Investasi yang membutuhkan kepastian kontrak sejak tahun 2015 adalah investasi tambang bawah tanah dan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Jika Freeport saat itu mengajukan perpanjangan sesuai haknya, sebagaimana yang tertulis dengan kontrak, maka pemerintah pasti akan menghadapi simalakama yang lain (simalakama baru pertama). Sambil "membujuk" agar Freeport tidak langsung mengajukan perpanjangan, maka dilakukan perundingan tuntutan pemerintah jika diperpanjang. Terdapat minimal 7 tuntutan pemerintah dan Pemerintah Daerah pada saat itu, yaitu : 1) pengembalian lebih dari 50% areal tambang pada pemerintah, 2) peningkatan penerimaan negara/daerah, 3) percepatan pembangunan smelter, 4) pengalihan Bandara Freeport ke Pemerintah Daerah, 5) peningkatan penggunaan produk dalam negeri, 6) peningkatan tenaga kerja lokal, dan 7) divestasi saham secara bertahap. Saat semua tuntutan tersebut sudah dapat disepahami, maka proposal tersebut akan dibahas di pemerintah untuk mendapatkan jalan keluar (win-win solution). 

Disinilah awal kekisruhan mulai terjadi, karena pelaksanaan investasi tersebut membutuhkan perubahan Peraturan Pemerintah, tepatnya revisi PP Nomor 77 tahun 2014. Saat itu, seorang Menteri ngotot bahwa tidak boleh ada perubahan aturan sebelum tahun 2021, sehingga masalah ini berujung pada ketidakpastian. Ketidakpastian ini menggerakkan para pe-lobby yang seakan-akan bisa membantu perubahan PP tersebut. Itulah awal mula kasus #papamintasaham yang pada intinya menjanjikan pada pihak Freeport adanya bantuan untuk mendapatkan keputusan dari pemerintah lewat jalur lobby terhadap pihak-pihak yang menolak. Karena terus tidak ada kepastian keputusan, maka semua rencana investasi tambang bawah tanah dan smelter tidak berjalan alias mandeg. Dalam proposal tahun 2015, sudah diperkirakan bahwa jika tidak ada kepastian perpanjangan, maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mulai tahun 2017, dan dipastikan bahwa pembangunan smelter akan berhenti. Hal yang paling krusial adalah "mendeknya" perekonomian Wamena dan Papua. Disaat ketidakpastian berlangsung itulah, muncul para pe-lobby mencoba masuk ke PT Freeport serta terjadi lobby tingkat tinggi termasuk papa dalam #papamintasaham. Karena masalah Freeport ini sangat strategis, dipastikan bahwa semua yang dilakukan Menteri ESDM saat itu, Bapak Sudirman Said sesuai dengan arahan Presiden. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun