Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Itu Tidak Perlu Repot

20 November 2016   23:00 Diperbarui: 21 November 2016   05:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Sebuah Perbedaan ( Dokumen Pribadi)"][/caption]
Entah kenapa saya tiba-tiba ingat dengan kalimat yang sering dilontarkan oleh almarhum Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur : "Gitu aja kok repot?". Rasa-rasanya kalimat tersebut benar dan tepat untuk sebagian besar rakyat Indonesia saat ini. Kegaduhan yang sekarang terjadi tidak saja karena pengaruh media sosial, tetapi juga karena bangsa ini suka repot dan (mungkin) merepotkan diri.

Sikap yang suka repot tersebut menggerus sifat-sifat toleran yang sebelumnya dimiliki bangsa ini. Bagaimana bisa punya toleransi jika masih repot mengurusi agama dan kepercayaan orang lain? Bagaimana tahu arti Bhinneka Tunggal Ika kalau merasa paling benar? Bagaimana bisa memaknai arti persatuan Indonesia jika saling ngotot? Sayang sekali jika bangsa kita menguras energi hanya seputar ini. Sungguh miris! Kita harus menghadapi realita bahwa kita berbeda-beda bukan untuk saling menghina tapi untuk saling terbuka.

1. Toleransi itu tidak repot

Untuk bisa toleran, sebaiknya kita tidak repot-repot mengurusi agama orang. Tapi apa yang terjadi? Beberapa pemimpin agama lebih populer dengan kotbah berisi serangan-serangan terhadap agama lain. Padahal sebenarnya sederhana saja. Jika tidak percaya Allah Tritunggal ya sudah! Jika tidak percaya Yesus adalah Tuhan ya sudah! Jika tidak percaya Muhamad adalah nabi ya sudah! Jika tidak percaya dengan arwah leluhur ya sudah! Toh tidak ada yang memaksa untuk percaya, bukan? Tidak perlu repot menjelek-jelekkan iman dan kepercayaan orang lain. Gitu aja kok repot!

 Untuk kita yang masih suka repot-repot, ada satu pertanyaan yang perlu kita renungkan : Apakah dengan menyerang dan menjelek-jelekkan agama lain menambah imanmu dan membuatmu lebih dekat dan mengenal Allah?

2. Toleransi itu membutuhkan kedewasaan iman

Jujur saja, saya bukan ahli dalam agama yang saya anut. Saya pun masih manusia dalam hal iman. Kadang rajin, kadang juga tidak hehe.. Tetapi yang saya pahami adalah bahwa iman yang dewasa itu saling mengasihi, dan tidak membenci, apalagi mencaci maki.

Namun yang terjadi di media sosial adalah nggak tua, nggak muda semuanya ngotot dan merasa benar. Rasa-rasanya seperti anak kecil kalau kita masih saling meledek : "Eh, ngapain tuh orang Katolik kalau berdoa pake tutul-tutul bathuk (membuat tanda salib)?". Atau mungkin meledek : "Ih kasian ya orang Islam mau berdoa aja harus pake njengkang-njengking(posisi sujud)? Duh, please stop deh hal-hal yang seperti itu. Kendalikan lidah! Bukankah ada pepatah Jawa : "Ajining diri dumunung ono ing lathi" yang artinya harga diri seseorang itu terletak pada mulutnya. So, mulai sekarang daripada berkomentar negatif lebih baik perdalam agama masing-masing. Nggak ada gunanya komen yang seperti itu, kecuali saling menyakiti dan merusak "hati" kita sendiri.

3. Toleransi itu mau berdialog dengan sesama
Jaman dahulu kala, berhubung saya awam tentang agama Islam saya bingung dengan teman yang seperti dikejar-kejar waktu untuk sholat. Seperti panik dan takut telat untuk sholat. Waktu itu ada jadwal kuliah di fakultas lain. Nah, dengan polosnya saya bilang : "Ya sudah sholatnya di fakultas B aja daripada telat kuliah." Eh, di luar dugaan teman saya itu ketus banget jawab : "Emang bisa diatur-atur sendiri?". Jujur ya saya terkejut bukan main dengan jawaban tersebut. Setelah tanya teman yang lebih terbuka, ternyata sholat itu sudah ada waktu-waktunya dan juga batas toleransinya. Dari situ saya belajar kalau teman bertanya tentang agama kita, ya sebaiknya jelasin baik-baik. Tidak perlu ketus dan marah-marah. Namanya juga tidak tahu.

Nah, dialog antar agama itu penting juga supaya kita tidak berburuk sangka. Misalnya : umat Katolik sering latihan paduan suara di rumah-rumah. Itu bukan ibadah. Hanya latihan nyanyi saja. Jadi jangan sampai digerebek dicurigai menjadikan rumah sebagai gereja. Dan sepertinya masih banyak contoh masalah berburuk sangka ini.

Orang yang toleran itu mau berteman, bertetangga, dan bergaul dengan semua orang tidak memandang agamanya. Tidak menutup diri dari orang lain karena menutup diri menimbulkan "benteng" yang berujung berburuk sangka terhadap agama lain. Berdialog itu bukan berarti mendalami agama lain. Tetapi lebih kepada keterbukaan jika ada pertanyaan yang mengganjal. Menurut saya lebih baik begitu daripada dipendam dan menjadi asumsi pribadi dan berburuk sangka. Ya nggak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun