Mohon tunggu...
Malisa Ladini
Malisa Ladini Mohon Tunggu... Developer Content di Media Kesehatan, Bisnis, Politik dan Hiburan -

Political Science. Bachelor: Semarang State University. Master: Diponegoro University.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bolehkah Waria Bertobat?

16 Juli 2017   23:49 Diperbarui: 17 Juli 2017   14:59 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2016/02/19/667713/670x335/cerita-ponpes-waria-digeruduk-di-yogyakarta.jpeg

Malisa kecil tidak tahu apa itu LGBT secara detail. Tapi yang saya ingat, ketika saya masih TK dan SD, saat di lampu merah ada seorang pria yang berpenampilan seperti wanita bernyanyi di pemberhentian lampu lalu lintas dan meminta uang kepada banyak orang yang sedang melewati jalan tersebut. Kemudian orangtua saya menyebutnya “waria”, dan mereka berkata “jangan dekat-dekat sama orang seperti itu”.

Semenjak saya memasuki dunia remaja dan kini mulai menjadi mahasiswa, saya sudah tidak lagi melihat adanya waria yang berkeliaran secara bebas di jalanan. Padahal dulu tempat mangkalnya pun sangat terkenal, sehingga ketika ada kepentingan dengan mereka, semua pihak di daerah saya akan menjawab bahwa “tempat tersebut ialah tempat mangkal waria”. Sehingga orangtua selalu bilang bahwa “jangan pernah ke tempat itu (tempat mangkal waria)”.

Intinya, setiap orangtua kita sangat melarang anak-anaknya berhubungan atau dekat dengan “waria”. Perlahan saya mulai belajar, memang ada aturan tegas dari ketiga agama samawi yaitu Yahudi (Jewish), Kristen, dan Islam bahwa tidak diperbolehkannya adanya hubungan sesama jenis atau sifat feminisme dari laki-laki atau pun sifat maskulin dari seorang perempuan. Larangan tersebut jelas di dalam Alkitab maupun Al-Qur’an bahwa Tuhan melenyapkan Kota Sodom dan Gomora karena rakyatnya berbuat dosa besar, yang dalam hal ini ialah termasuk dosa berhubungan dengan sesama jenis.

Akhir-akhir ini sedang marak dibicarakannya tentang pro dan kontra UUD Anti LGBT. Menyoal mengenai maraknya LGBT, menurut CIA jumlah populasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di Indonesia merupakan peringkat terbesar kelima di dunia setelah China, India, Eropa, dan Amerika. Hal ini adalah konsekwensi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia. Karena (menurut para peneliti) munculnya LGBT adalah secara alami, kecuali di Eropa dan Amerika yang semakin menjamur karena adanya kebebasan media dalam menyiarkan hal-hal berbau LGBT dan itu sehingga menularkan perilaku menyimpang antar rakyatnya.

Tepatnya pada tahun 2015, sudah dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat beserta 20 negara lainnya yang sudah lebih dahulu melegalkan pernikahan sesam jenis seperti Belanda dan Kanada. Amerika sendiri merupakan negara dengan populasi LGBT terbanyak di dunia. Sedangkan di Indonesia, 3% LGBT dari 250 juta penduduk Indonesia, ada 7,5 jutanya adalah LGBT. Bahkan menurut penelitian Litbang Kompas, ada 9,7 % diantara 5000-an gay tersebut terinfeksi HIV. Mengerikan.

Lalu bagaimana pandangan kita pada keberadaan Pesantren Transeksual di Yogyakarta? Jika pendirinya berdalih bahwa setiap warga negara berhak belajar mengenai agama yang diyakininya. Banyak pihak yang mendemo agar pesantren ini harus tutup, termasuk pihak Front Jihat Islam setempat. Berdasarkan kacamata gendar dan seksualitas yang didasari oleh iman agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), bolehkah para waria bertobat? Bolehkah para waria belajar tentang agama? Seperti yang terjadi di Pesantren Transgender di Yogyakarta.

Fenomena Tentang Pesantren Waria: Bagaimana Sikap Kita? Bagaimana Payung Hukum Negara Kita?

Pada Februari 2016 silam, negara kita sedang dihebohkan dengan keberadan Pondok Pesantren waria yang diberi nama Al-Fatah, berlokasi Bantul, Yogyakarta. Penutupan pesantren dilakukan oleh pimpinan Front Jihat Islam atau FJI dengan alasan pendirian pondok pesantren ini tidak meminta izin dan meresahkan warga.

Tapi di lain sisi, keberadaan Pesantren Waria ini dibela oleh LBH Yogyakarta, kuasa hukum pesantren yang mengklaim bahwa penutupan pesantren diangap sebagai penghakiman secara sepihak. Sebenarnya pesantren waria ini didirikan di rumah seseorang transgender yang bernama Shinta Ratri atau pemilik rumah sekaligus pimpinan pesantren tersebut. Penutupan pesantren juga disinyalir oleh adanya barang bukti berupa miras dan dianggap meresahkan warga. Padahal keberadaan pondok pesantren sebenarnya sudah ada sejak tahun 1997 yang didirikan oleh seorang transgender pula yang bernama Maryani. Kemudian kini ditangani oleh seorang yang bernama Shinta Ratri.

Fenomena transgender sebenarnya sudah ada sejak dahulu, bahkan dahulu dianggap sebagai hal yang mengandung humor. Bahkan mereka pelaku transgender justru menjadi seperti itu untuk mendapatkan uang. Seperti yang dapat kita lihat dari legendaris kawakan yang bernama Dorce Gamalama. Bunda Force merupakan seorang laki-laki yang melakukan transgender menjadi perempuan. Karena kebaikan dan prestasinya, publik benar-benar terbuai dengan sosok Dorce ini. bahkan Bunda Dorce juga pernah dipanggil ke istana oleh Bapak Presiden Jokowi pada Desember tahun 2015 lalu.

Meningkatnya jumlah LGBT di Indonesia setiap tahunnya, serta adanya rencana UU Anti LGBT yang menuai pro dan kontra membuat gerak para LGBT menjadi banyak terhambat. Bahkan di siaran televisi Indonesia pun kini sudah ada aturan untuk tidak menayangkan hal-hal yang berbau LGBT. Jika dahulu masyarakat tertawa karena melihat pelawaknya sedang memakai pakaian wanita, padahal pria, maka kini lawakan bisa diganti dengan hal yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun