Mohon tunggu...
Maulana Malik I
Maulana Malik I Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Jakarta. Keseharian saya adalah membaca buku dan bercita-cita untuk masuk dalam tatanan perpolitikan tanah air untuk mengganti sistem yang usang.

Gross Sein Heist Massen Bewegen Konnen Besarlah seseorang yang mampu menggerakan massa! - Adolf Hitler

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dunia di Tengah Pusaran Pandemi Global: Siasat Ekonomi Politik Internasional dalam Pengendalian Pasar

11 Mei 2020   03:43 Diperbarui: 11 Mei 2020   03:42 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri." 

-F.D Roosevelt

Kecamuk pandemi global yang telah ditetapkan oleh WHO[1] (World Health Organization) sebagai organisasi internasional yang fokus dalam bidang kesehatan memberikan efek ketakutan sekaligus kekhwatiran ekonomi politik global. Hal ini didasarkan pada sebuah fakta baru yang coba langsung di respon oleh beberapa kalangan; baik ilmuwan, ekonom, dan politisi. Semuanya berlomba-lomba mencari eksistensi diri lewat pengalaman intelektualitas mereka sendiri, ada yang membuat proyeksi dan juga ada yang langsung membuat nubuat --hal yang pasti kedatangannya. 

Mengutip dari pernyataan Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus. ia mengatakan bahwa para petinggi negara ataupun pemerintahan akan membentuk sebuah pembaharuan sistem dalam bidang kesehatan, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Poin penting yang disampaikan Harari mengacu pada bagaimana negara memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap setiap masyarakat. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ivan Krastev, Ilmuwan Politik asal Bulgaria, yang menyebutkan bahwa adanya pandemic global ini (Covid -19) seharusnya negara dapat memperbaiki trust --kepercayaan- masyarakat terhadap pemerintah, karena adanya dorongan apriori hanya negara yang mampu menyelamatkan masyarakat sekarang dalam kerangka politik surveillance state --negara pengawasan[2].

 Realitas yang ada diatas---surveillance state- merupakan gambaran abstrak yang belum mampu sepenuhnya diterapkan di berbagai negara. Akan tetapi, abstraksi yang ada dapat diminimalisasi dengan hadirnya teknologi sebagai penyelamat untuk terselenggaranya ide-ide tersebut. Permasalahan hari ini tidak terbatas hanya pada tataran kebijakan publik dan sosio-politik, kegiatan ekonomi politik suatu negara juga mengalami kemandekan yang diakibatkan oleh resesi ekonomi, hingga saat ini belum diketahui kapan hal tersebut akan selesai. Padahal jika resesi terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin akan terjadi suatu tragedi ekonomi internasional yang akan melanda dunia.

Langkah-langkah dunia dalam menghadapi pandemic ini kiranya tidak main-main, cara apapun akan ditempuh demi mengembalikan dunia kmebali normal. Sejumlah negara telah menyiapkan stimulus fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi covid -19 ini, contohnya Indonesia yang akan menggelontorkan dana sebesar 436.1 T, Singapura (688.85 T), Jerman (13.125 T), Jepang (16.308 T), dan Amerika Serikat (32.800 T)[3]. Dengan jumlah uang yang tidak sedikit digelontorkan oleh negara-negara diatas, hal itu akan di transformasikan menjadi bentuk stimulus dan bantuan kepada masyarakat untuk mendongkrak perekonomian untuk setidaknya stagnan atau tidak terjun bebas. Lantas dengan adanya campur tangan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini akankah negara-negara mengalami great depression yang sempat melanda Amerika Serikat (1929-1939)? 

Great Depression season 2? 

The Economist melansir prediksi bahwa akan terjadi penurunan presentase proyeksi pertumbuhan ekonomi, bahkan disebutkan bahwa yang terjadi pada tahun 2020 ini merupakan ancaman serius bagi ekonomi global. Awal mula kemunculan Covid -19 (Corona Virus Disease, 2019), The Economist memprediksi pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 2,3%. Akan tetapi, hal ini langsung dikoreksi dengan cepat seiring melihat implikasi yang ditimbulkan pandemi global ini. Dilihat dari perdagangan internasional yang lesu, daya beli masyarakat yang turun drastis, dan kemandekan investasi, akhirnya wadah proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut merevisi angka pertumbuhan hanya berada pada angka 1,9%, yang artinya hal ini sangat bisa menyebabkan depresi besar ekonomi internasional layaknya Amerika Serikat pada tahun 1930-an[4]. 

The Great Depression (Depresi Besar) merupakan tragedi ekonomi Amerika serikat yang disebabkan anjloknya nilai saham akibat spekulasi besar-besaran. Awalnya perekonomian Amerika Serikat mengalami kejayaan pada masa itu sehingga disebut dengan era "The Roaring Twenties", kekayaan negara naik dua kali lipat. Akan tetapi, pada tahun 1929 terjadi pelepasan saham-saham secara besar-besaran hingga indeks saham Dow Jones Inndustrial Average (DJIA) jatuh hingga 11%, dan peristiwa tersebut dinamakan "Black Thursday".

Menurut Michael Bernstein dalam bukunya The Great Depression: Delayed Recovery and Economic Change in America, 1929-1939, jatuhnya pasar saham menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, menyusutnya investasi, guncangan sector industri, dan merebaknya pengangguran[5]. Hal ini menyebabkan pada dua hal; penyitaan aset melonjak dan terjadi kredit macet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun