Mohon tunggu...
Mohamad Sastrawan
Mohamad Sastrawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Matraman

http://malikbewok.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Perang Asimetris, Mewaspadai Konflik Pilkada

20 Maret 2017   07:55 Diperbarui: 20 Maret 2017   18:00 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.bantubelajar.com

Di Indonesia, konflik sosial bisa disebabkan oleh apapun, termasuk perhelatan pemilu kepala daerah. Perbedaan dukungan bisa melahirkan pertikaian antar pendukung, apalagi jika diberi bumbu SARA sebagai pemicu. Dalam kajian pertahanan negara, apapun penyebab konflik memiliki keterkaitan erat dengan pertahanan negara. Salah satu poin paling krusial yang dibahas adalah Perang Asimetris berkaitan dengan konflik horisontal di tengah masyarakat. Perspektif militer memainkan peranan erat dalam kondisi sosial kemasyarakatan saat ini.

Berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an; runtuhnya Marxisme dan Leninisme sebagai ideologi  revolusioner; dan bangkitnya  lingkungan keamanan baru di Era globalisasi mempengaruhi spektrum fungsi militer di seluruh dunia. Yang muncul di permukaan adalah transformasi  yang oleh John Lewis Gaddis disebut “the ‘Long Peace’ of the 20th century Cold War to a situation that US Pentagon describes in its 2006 US Quandrennial Defence Reviews as ‘Long War’ against the diffuse forces of an Islamic global insurgency”. Yang terakhir ini  menyebabkan terjadinya difusi atau penyebaran dan diversifikasi senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD), terjadinya turbulensi global dan meluasnya kekhawatiran terhadap meningkatnya intensitas serangan terorisme. (Evans, 2007).

Di sini mulailah muncul indikasi terjadinya perubahan tentang hakikat dan pendekatan perang dan puncaknya adalah terjadinya serangan teroris berupa peristiwa 11 September 2001 di AS, yang telah menyinggung kehormatan AS sebagai pusat keunggulan ekonomi (World Trade Center), keunggulan politik (Capitol Hill) dan keunggulan militer (Pentagon), yang justru menjadi fokus serangan teroris. Perubahan seumpama dari ‘symphony orchestra’ menjadi ‘jazz playing’ dengan segala improvisasinya dan munculnya hal-hal yang tak terduga. Spektrum konflik menjadi global dan untuk menanganinya harus ada kerjasama multinasional dan antar lembaga. Dalam hal ini nampak bangkitnya fenomena perang yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara yang melakukan globalisasi kekerasan informal, privatisasi kekerasan atau perang yang mengganggu ketertiban dunia yang disebut sebagai “asymmetrical or non-traditional warfare”.

Perang asimetris sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Orang mulai disadarkan kembali terhadap pendekatan perang ini setelah terjadi serangan terorisdi Amerika Serikat 11 September 2001 dan berbagai kejahatan terorisme yang terjadi di berbagai Negara serta perang gerilya di Iraq dan Afganistan melawan tentara koalisi (Amerikadan NATO), sehingga menyadarkan berbagai negara terhadap intensitas jenis perang baru, yaitu perang asimetrik (assymetrical warfare).  (Snow, 2007).

Sun Tzu, seorang jendral, ahli strategi dan taktik dalam bukunya The Art of Waryang ditulis pada Abad ke-6 (500 BC), mengajarkan antara lain: “When the enemy advances, we retreat; when the enemy halts, we harras; When the enemy seeks to avoid battle, we attack; when the enemy retreats, we pursue”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan:“as flowing water avoids the heights and hastens to the lowlands, so an army avoids strength and strikes weakness -----All warfare ----is based on deception”. Selanjutnya dinyatakan bahwa “When I have won a victory, I do not repeat my tactics but responds to circumstances in an infinite variety of ways”. (Lambarkis, 2002).

Pendapat ini antara lain dipraktekkan dalam perang saudara di China selama 20 tahun lebih  dan kemudian diadopsi oleh seorang sejarawan Vietnam yang kemudian menjadi jendral yaitu Vo Nguyen Giap dalam melawan Perancis dan Amerika antara tahun 1945-1975. Ratusan tahun sebelumnya dengan strategi yang sama bangsa Vietnam telah mengalahkan Kublai Khan dan tentara
 Mongol. Cara yang digunakan digambarkan sebagai “unorthodox, unconventional and unanticipated”.

Bagi AS, salah satu pengalaman yang sangat berharga terjadi pada “battle of La Drang Valley”, November 1965. Tentara AS yang unggul segalanya pada akhirnya kalah karena North Vietnam Army (NVA) menggunakan taktik asimetris dalam bentuk “guerilla tactics of ambush and hit and run attacks by small units that could avoid American consentrated firepower”. (Snow, 2007).

Hakikat Perang Asimetris.

Untuk memperoleh gambaran tentang apa yang dinamakan perang asimetris (asymmetrical warfare) beberapa ahli menyatakan sebagai berikut: “Asymmetric warfare can describe a conflict in which the resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact and attempt to exploit  each other’s  charateristics weaknesses. Such struggle often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the weaker combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity and quality. Such strategies may not  neccessarilly militarized”. Contoh perang gerilya, terorisme, dan operasi partisan. Dalam hal ini berbeda dengan perang simetris (symmetrical warfare) dimana dua atau lebih kekuatan memiliki kekuatan dan sumber militer yang sama dan menyandarkan diri pada taktik  yang juga sama dan yang berbeda adalah rincian dan pelaksanaannya. (Snow, 2007).

Vincent Gouding menggambarkan pendekatan perang baru ini dengan menyatakan “weaker opponents have sought to neutralized their enemy’s  technological and numerical superiority by fighting  in ways or on on battlefields  that nullify it”.

Contoh perang asimetris misalnya apa yang dilakukan bangsa Indian melawan tentara Amerika, perang gerilya pejuang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda (ingat buku Jendral Nasution), Mao Zedong melawan Chiang Kai Shek (Maoist mobile-guerrilla warfare strategy), perang Vietnam antara tentara Vietnam Utara (NVA) dan Vietcong melawan Perancis dan Amerika, Al Qaeda, Taliban melawan tentara Rusia di Afganistan dan kemudian melawan tentara koalisi di Afganistan dan Pakistan, terorisme di Iraq, perang saudara (internal war) melawan pemerintah di beberapa Negara seperti di Darfur, Aceh masa lalu, Afrika, Myanmar, Columbia, Gerilya Chechen melawan Rusia dll. Ingat juga cerita agama bagaimana David mengalahkan Goliath.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun