Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aksi Supir Angkot Malang dan Pemerintah yang Tidak Tegas

10 Maret 2017   23:17 Diperbarui: 11 Maret 2017   18:00 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mau tak mau harus kompak juga. (Dokumentasi Pribadi)

Seperti biasanya, kehadiran para penumpang Malabar Ekspress di Stasiun Malang Kota dari Jogja pasti disambut dengan gegap-gempita. Portir, tukang becak, tukang betor, sopir taksi, hingga ojek konvensional berebut menawarkan jasanya. Namun saat mereka menghampiri saya, dengan memberi kode menepuk-nepuk perutpun mereka sudah paham. Badan lelah karena sulit tidur di dalam kereta, hingga perut yang memohon untuk diisi. Maka pujasera di depan stasiun menjadi jujugan saya.

Sempat crowded di depan Stasiun Malang Kota. (Dokumentasi Pribadi)
Sempat crowded di depan Stasiun Malang Kota. (Dokumentasi Pribadi)
Jam di hp menunjukkan angka 08.15 Wib. Pagi itu (6/3), cuaca Kota Malang cukup bersahabat. Mataharipun penuh gairah menampakkan kehadirannya. Namun sayang, terjadi sedikit keruwetan lalu-lintas saat saya akan menyeberang menuju pujasera. Puluhan armada angkot berwarna biru berajajar memenuhi sepanjang jalan menuju arah Balai Kota Malang. Sementara beberapa orang mulai membentangkan spanduk. 

"Jadi demo ya, Mas," berlagak setengah sok tahu saya bertanya pada sekumpulan sopir yang sedang bergerombol. Entahlah, naluri bloger pemburu beritapun seketika bergelegak. Menyingkirkan keinginan untuk tunaikan ibadah sarapan pagi itu.

"Yo sido, Mas. Wis kadung mandeg kabeh ngene kok. (Ya jadi, Mas. Sudah terlanjur berhenti semua begini. Jw.)," jawab salah seorang sopir yang berbadan super bongsor.

"Terus agenda hari ini apa, Mas?" tanya saya penuh kekepoan. Kemudian mas sopir gembul itupun menunjuk ke arah seorang pria yang sedang jongkok di dekat sebuah angkot.

Segera saya menghampiri pria tersebut dan sedikit berbasa-basi. Sempat menanyakan, apakah saya seorang wartawan. Sayapun menjawab bahwa saya seorang jurnalis warga. Lalu dialog diantara kamipun berjalan lancar. Sesekali disela dengan komando yang diberikan kepada teman-temannya untuk mulai berorasi.

Orasi secara berganitian dan tertib. (Dokumentasi Pribadi)
Orasi secara berganitian dan tertib. (Dokumentasi Pribadi)
Ada seberkas gurat kesedihan di wajahnya saat bercerita mengapa mereka sampai berdemo. Kali ini merupakan demo yang ke-3. Penghasilan yang menurun drastis sejak beroperasinya ojek berbasis onlen mulai dirasakan sejak 3 bulan terakhir. Belum lagi ditambah keberadaan taxi onlen yang semakin membuat mereka terpuruk. Bila sebelum beroperasinya ojek dan taxi berbasis onlen, penghasilan bersih masih bisa 50 ribu hingga 80 ribu, maka kini jauh menurun drastis. Dapat 40 ribu bersih saja sudah alhamdulillah. Itupun mereka harus narik mulai pagi hingga jelang petang.

Mereka juga sebenarnya tidak mau melakukan aksi demo. Tapi kondisi ekonomi pulalah yang menuntut mereka untuk bertindak demikian. Angkot resmi yang biaya pengurusan trayeknya tak murah, harus bersaing dengan angkutan umum (tak resmi) yang bebas trayek.

"Ini gak fair, Mas. Mosok angkutan liar seperti itu dibiarkan saja sama pemerintah. Sementara angkutan resmi kayak saya ini harus diplokotho (banyak pungutan dan retribusi) terus. Pemerintah masak gak isok tegas, Mas?" Ucapnya lirih, seolah menahan amarah. 

Ratusan angkot yg ikutan demo memenuhi jalan. (Dokumentasi Pribadi)
Ratusan angkot yg ikutan demo memenuhi jalan. (Dokumentasi Pribadi)
Lalu sayapun menunjuk pada kopi selebaran yang dia bawa. Diulurkanlah satu lembar kepada saya. Kemudian dengan agak gopoh, dia berpamitan kepada saya untuk bergabung bersama rekan-rekannya yang sudah berjalan kaki menuju Gedung Balai Kota Malang. Tanpa berpikir panjang, sayapun segera beranjak menumpang salah satu angkot yang ternyata diparkir di depan sebuah bank syariah di dekat balai kota.

Angkot yg 'ditumpuk' di depan balai kota. (Dokumentasi Pribadi)
Angkot yg 'ditumpuk' di depan balai kota. (Dokumentasi Pribadi)
Kemudian saya buka selebaran yang berisi aspirasi yang akan disampaikan kepada Walikota Malang, H. Mochamad Anton. Kelompok Paguyuban Angkot Se-Kota Malang ini menyatakan 3 butir sikap, yaitu:
  1. Menuntut keadilan dan meminta kepada Pemkot Malang untuk menegakkan undang-undang dan aturan lalu-lintas angkutan umum.
  2. Menuntut kepada Pemkot Malang untuk menolak kendaraan roda 2 sebagai kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek karena bertentangan dengan aturan yang berlaku.
  3. Menuntut kepada Pemkot Malang segera menertibkan segala jenis angkutan umum berbasis online yang melanggar aturan dan bertentangan dengan undang-undang serta peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun