Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pagi yang Lain

8 Desember 2016   07:11 Diperbarui: 8 Desember 2016   08:01 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
weldayawelda.blogspot.com

Tapi sebelum kumulai bicara, Elan, kau tak boleh lupa lagi bahwa aku bukanlah orang yang romantis juga puitis – sebagaimana selalu kau harapkan. Maka seperti yang mesti terjadi, aku hanya mampu meriwayatkan ulang apa yang telah kita lakukan baik bersama maupun tidak dengan penuh perasaan syukur dan bahagia, karena aku telah menyimpannya demikian rapih dalam ingatan yang kujaga setiap hari. Dengan ingatan-ingatan itu aku merangkai banyak sekali makna yang telah kupecah lalu kurakit dan kususun menjadi bentuk terbaik yang kuinginkan, agar kelak dapat kuberi padamu sebagai persembahan.

Sayangnya, kau kerap sekali lupa itu, Elan. Kau benar-benar pelupa.

Aku hanya ingin berbicara soal pagi ini dimana aku merasa lain pada sinar matahari yang menyerbu dari balik tirai jendela kamar yang barusan kusibak. Rumpun melati di halaman yang tampak cantik  dari dalam kamar – yang dulu kau bersikukuh menanamnya – tak banyak membantu kala daun jendela terkuak. Biasanya aku segera merasa tenang hanya dengan sekali hirup saja, tapi pagi ini memang pagi yang berbeda. Dengan sinar matahari yang berbeda, juga harum melati yang berbeda.

“Kau terlalu sensitif.” kau tiba-tiba berdenging di telingaku.

Aku merasa tengah tersenyum kecil. Aku tentu saja mengingat kalimat itu sebanyak aku mengingat tingkah konyolku yang kerap membuatmu kesal. Seperti terlalu sering meminta maaf bahkan hingga berkali-kali atas satu kesalahan yang kubuat, lalu kau memaafkanku, lalu aku terus saja merutuki diri dan menyesali betapa bodohnya aku. Lalu kau menenangkanku dan meyakinkan bahwa kesalahan itu hanyalah hal kecil yang tidak terlalu penting, tapi aku tak berhenti meminta maaf. Lalu kau menjadi lebih kesal, dan mengulang pernyataan yang sama meski dalam kesempatan yang berbeda.

Ah, kau memang pelupa, Elan. Benar-benar pelupa. Tapi aku tidak. Meski aku tak sempat berhitung berapa banyak kalimat yang sama muncul dalam peristiwa berbeda.

Tapi, sepelupa apapun kau, aku tahu kau akan selalu ingat itu. Puisi. Sesuatu yang kau kagumi habis-habisan. Aku ingat, kau selalu membawa buku-buku puisi dalam tasmu kemanapun bepergian. Juga dalam ponselmu, barangkali juga dalam dompetmu. Kau mengingat setiap detil rima dari puisi-puisi kesukaanmu. Juga nama-nama penyairnya, juga judul satu persatunya. Meski anehnya kau kembali lupa bahwa aku tak bisa menulis puisi apalagi menjelma puisi agar menjadi sesuatu yang selalu kau ingat sampai kapanpun.

Aku hanya tengah mengupayakan satu hal, Elan, menjadi sesuatu berarti yang tak lagi akan kau berhitung waktu saat bersamaku. Meski kuakui kadang aku mengantuk saat kau justru penuh gairah di hadapanku membongkar habis sebuah puisi, mencacahnya sampai lumat dan kau berhasil menyesap makna terbaiknya. Tapi aku tak akan tertidur, Elan, tak akan pernah. Sebab aku tak ingin kehilangan binar sempurna di dua bola hitam pekat itu. Tak selalu aku dapatkan binar itu, tidak juga saat pertemuan pertama setelah pisah berminggu-minggu. Hanya pada puisi kau jatuhkan binar itu, Elan, hanya pada puisi. Aku tak ingin kehilangannya, walau harus berperang melawan kebosanan.

Mungkin aku telah sekian lama berdiri di tepi jendela ini. Memperhatikan helai-helai daun melati yang rapat berbaris tak beraturan, yang beberapa titik di antara hijaunya dipercantik oleh kelopak putih. Aku waktu itu merasa terbang tinggi sekali, saat kau datang tiba-tiba di muka pintu rumah membawa rumpun melati yang masih kecil dalam pot pelastik hitam.

“Kau suka melati, kan? Kita harus menanamnya di dekat kamarmu, agar ia membesar dan mengirim pesan damai setiap kali kau membuka jendela.” katamu waktu itu sebelum aku sempat kembali memijak bumi karena amat takjub. Seperti puisi-puisimu, kau begitu puitis, Elan.

Dan kakiku mulai terasa seperti kesemutan. Aku belum minum air putih, juga belum mencuci muka. Jika kau tahu pasti kau tak akan suka. Tapi aku ingin berlama-lama di sini, mencari-cari harum tenang melati yang belum kutemukan sejak tadi. Meski akhirnya aku menyerah, aku lelah, aku harus duduk. Maka kuputuskan kembali ke tempat tidur, Elan. Sekedar menekuk lutut yang kelelahan terus dipaksa tegak lurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun